Kertas Pink dan Tuhan Bersaing di Pesantrenku: Roman Kecil si Santri Kecil.
By: Yuniyanti Chuzaifah
“Solihah, Wiqoyatun,Nur Fadilah, lalu..lalu..lalu...deretan nama dipanggilnya tak berekor seperti Nazi sedang mencacah orang Yahudi dimasukkan ke kamp konsetrasi! Tegas dan pasti! Lalu aku berpindah tanya, “sudah ada yang daftar”?: “Sudah! Ada Azizah, Nokilah, Nur Hikmah,Wawang, Mamah..”
Oh ya itu konsulat Tegal! Yang pertama konsulat Batang Pekalongan. Oh my God! Kapan aku dapat giliran mandi, kalau setiap mandi harus ngantri melompati rantai konsulat yang tak berujung begini? Bahkan yang sudah mandipun didaftar biar tidak ada lubang orang untuk menyelip. Lalu kucari Misri, Fatra, Uus, Waty, Dini, Any, Hetty, Bina, mbak Nina..Alhamdulillah, ada salah satu mereka! Lalu aku blussss!! masuk tanpa salam dan mandi berdua atau bertiga..yang penting basah oleh air kuning agak anyir dengan tembok lumut yang melekat dihela nafasku.
Sore itu kupakai Citra lotion yang pada masanya serasa pakai lotion product Van Der Bilt, Nina Richie, Rituals karena Citra si kuning adalah pelopor lotion warna non pink yang menyerbak ngrasuk kekulit remajaku yang baru injak 12-an kala itu. Ini aku yang kecil karena kurang gizi, maklum waktu kecil susah makan dan sakit gigi tak pernah henti. Ini aku yang hitam bersisik kering dan temblong-temblong karena alergi pinycilin malpraktek dokter dikulitku, Ini aku yang datang dari sebuah pelosok desa kecil tapi sangat bersurga. Betapa tidak? Ayahku selalu memanggilku cemening dan menganggap aku princess kecil yang selalu dipujanya. Ibuku yang tak pernah verbal bilang mencintaiku tapi rela menaruh kembang ditempat pencilku untuk menghentikan isaknya dan meyakinkan dirinya bahwa aku akan terlindungi oleh kembang magic itu selama aku nyantri. Lalu ada kakekku yang selalu memujaku sejak kecil bahwa aku manis..dan itu belum cukup baginya. Selalu dia tambahkan kalimat sama dan berulang untuk meyakinkan entah siapa: “wong putih dipandeng pisan cukup, wong ireng sak tleraman ra ketok, ning yen dipandeng metu manise”(orang putih kalau dilihat sekali cukup, tapi orang item, dilihat sekilas “nothing”tapi kalau tambah diamati…manisnya akan timbul”). Ya, tenaga cinta mereka membuat aku tumbuh menjadi orang yang sangat percaya diri, merasa teduh dan secure diterima siapapun, dan lupa bahwa aku punya tubuh yang tidak kompetitif ini.
Melanjutkan soreku diteras depan Nusa Indah sambil menikmati gemericik kolam kunci, aku duduk menanti maghrib. Aku ingat, pakai kaos putih bermotif setengah lingkar meronce sekitar leher, dengan bawahan batik yang kujiplak dari baju Uus dan kujahit di pak Rapi belakang Kalpataru. Pak Rapi (nggak tahu siapa nama aslinya, karena santri selalu semena-mena panggil orang, seperi mbak Burjo dll) pernah rame dituduh ke Belanda, padahal istrinya nyebut Blondo Muntilan yang dikira santri Jakarta, Blondo itu Jawanya Belanda.
Balik ke aku lagi..aku merasa sore itu punyaku, kuraup semua keceriaan yang melintas. Sambil santai aku diminta kawan menjelaskan soal fiqh, kuajari santai karena Tuhan mengetahui lemah fisikku dan sedikit mencharge otakku. Lalu tiba-tiba konsentrasiku diinterupsi kawan yang mendekat:
Ïni ada surat”.
“Dari siapa?
“Buka aja coba..”, sambil mukanya meledek bikin penasaran.
Dug,dug,dag,dig,..huh, setengah nyawaku seperti ditarik ulur dari pori-pori ubun-ubunku.
“Surat pink! Harum! Bersaing sama lotion citraku”. Lalu aku pura-pura tenang. Kembali kujelaskan Fiqh ke temanku, kukumpulkan semua konsentrasi untuk mentransfer dan menjubelkan penjelasanku agar merangsek cepat masuk kememori pemahamannya. Cepat! Cepat! Desak tak sabarku! Waktu rasanya ingin kulipat, bukan menit,bukan detik..pokoknya sessi fiqh harus diusai!!
Aku masuk kamar menggegas, mungkin nabrak Marfuáh atau Rugaya Basyarewan NTT yang sering “sedeng”teriak menakutkan, atau aku mungkin juga nginjak kaki Endang kakak Riana Idayanti yang centil seksi dan kegenitannya melebihi usianya. Aku lupa bahwa disana ada Lily Ahmad gadis Manado yang punya setrika listrik merah, koper kosmetik merah, lemari raksasa dipojok yang merajai asrama, teringat rambut panjangnya dan hobinya yang heboh itu. Aku juga lupa ada Lia, Sumiyati yang hobinya ndeprok seperti model yang mau dilukis tapi ditinggal tidur pelukisnya berjam-jam. Aku juga menembus pandang Nuri kawan Riau yang kalau main pimpong jago tapi kalau mencibir tujuh windu masih melekat, ingat Meimun yang anggun tapi kalau tidur kayak kincir Angin Belanda, aku juga nggak peduli ada pendampingku mbak Oti, mbak Yayah, mbak Mastoyah..aku lupa..lupa ada mereka disekelilingku…Aku tak ingat Fatra, karena dia di kamar berdikari..sesekali senyum saat berpapas.
Aku hanya ingin menyudut, memasukkan kepalaku ke lemari kayu kecil yang dibeli ayah ibuku di pasar Muntilan, aku singkirkan termos kecil yang aku beli di toko Kompliit untuk memberi ruang kepalaku menyelinap untuk membaca surat itu. Kubuka pelan, tapi tak sabar..ada yang tersobek sedikit..wow..berlembar-lembar! Surat tebal…pasti aku tak bisa selesaikannya sebelum maghrib..Kubuka, kulihat deretan huruf rapi..kubayangkan surat ini ditulis di sebuah asrama sebrang sana, atau dieja sambil bersembunyi atau menyepi di pinggir kali Pabelan yang penuh bongkahan batu dari perut Merapi itu, atau barangkali nulisnya nyuri-nyuri dikelas saat guru menjelaskan mutholaáh…
Aku lupa kalimat-kalimatnya….tapi puisinya menggila dimasanya. Aku seperti terbang naik Adam air yang melesat keatas, lalu nyungsep menghilang kedasar laut lalu ditarik Tuhan ke langit lalu dipelanting ke salju Antartika…...wow! Ini rasanya kali pertama aku dapat surat cinta! Kubuka lembar, lembar, lembar. Ups, Azan mulai menggegas. Ya, azan yang biasa aku suka, kali ini hampir kumarahi muázinnya karena tak pengertian. Ingin rasanya loudspeakernya aku matikan dan pura-pura tak dengar. Yah, aku menyerah, aku lipat rapat surat ajaib itu, lalu kuletakkan diselipan baju-bajuku.
Sore ini aku “musyrik”, karena “menyekutukan” Tuhan. Tuhan kali ini ada pesaingMu, karena rasa aneh didadaku ini. Yang ada bukan Dia semata lagi , karena disaat apel dengan Tuhan, totalitasku berkurang. Tapi salah siapa? Aku tak meminta rasa ini Tuhan! Untung ada lagu “tulil”(ilahi lastu-lil firdausi ahla) syair Abu Nawas yang rintih lirihnya bikin nyawa menunduk “Tuhan aku tidak layak jadi penghuni Surga Firdaus, tapi aku juga tidak sanggup dengan siksa api neraka”. Syair ini menetralkan musrikku..aku menengadah menikmati temaram sore, membiarkan matahari redup mengistirahat, kumanjakan diri melihat daun kelapa menari menjentikkan jari-jari ujung lidinya, kusapa dengan mata ramahku kepak burung terbang diatas kubah masjid itu dan aku biarkan diriku bercengkerama bisu dan hangat dengan penghuni langit diatas sana, bertanya? Ada apa ini? Ada apa ini?
Selepas maghrib dihalaman masjid, saat jamaáh santri pulang, debu juga mengepul seru. Mengaji saatnya! Saat aku mengambil qurán kulirik surat itu lagi, kusentuh pelan untuk meyakinkan diri, ya masih ada aman disana! Lalu bel makan malam berdentang. Awalnya masing-masing punya piring, tetapi siwaktu memakan buas piring-piring itu. Karena kohesi pertemanan juga membuat kami para santri memilih gaya bohemian tak sopan. Kami makan dinampan besar, saling bersenggol dan berebut jari, untung belum pernah terjadi jari teman termakan masuk mulut dikira lauk. Aku makan sama mbak Wiwik Nurul Azmi, mbak Elok Andini dan pernah sama mbak Lily (begitu aku panggil dia waktu itu, karena sopanku dan karena kecilku, sampai semua aku panggil mbak. Ada mbak Meimun, mbak Ida..mbak Iánah, mbak Nina, kabeh mbak!. Aku tawarkan sambal buatan ibuku dari kampung, lalu Lily mengeluarkan sambal ikan roa yang bikin duapuluh tahun tak lupa. Pedas, kering dan mengesan. Sampai-sampai waktu aku ke Manado, aku borong disalah satu toko di Airport jelang pesawat sudah mulai siap menggeliat. Sayang tinggal 4 dan kecil-kecil! Untung aku sudah sibuk bertanya bagaimana cara buatnya sama teman-teman, katanya pakai kacang kawangkoa segala! Ah, aku kangen sejarahnya…aku tak ingin memasaknya, aku mau rasa yang sama!
Habis makan malam, sholat isya’berjamaah dikamar yang berpenghuni 40-an orang itu. Berdesakan dan seru. Lalu setelah itu satu orang maju, seperti sedang pelatihan satpam..yang didepan mbengok (teriak) yang duduk bareng-bareng ngikutin kayak bikin yell! Sedang apa mereka? Yah, kami sedang menghafalkan mufrodat/vocab yang kami cicil tiap hari dua kata, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Otot leher sampai mengeras seperti besi 1 inch dan peluh keringat mencucur cukup cepat bikin mukena bau. Semua demi 2 kata yang aku sudah hafal sejak 2 kali disebut tadi, tapi dipaksa puluhan kali! Sampai kadang aku pura-pura buka mulut ikut tapi nggak bersuara menipu. Uh, kapan selesai mufrodat ini? Yah..di Pesantren ini semua orang diterima, yang hafal satu kata dalam seminggu juga akan hepi disitu. Awalnya aku merasa ini sekolah macam apa? Belakangan pas banyak baca buku pendidikan baru tahu, bahwa tanaman hebat akan bagus apabila disemai dilahan subur dan berdekatan dengan aneka tanaman yang rendah maupun besar ketimbang monokultur! Belakangan aku tambah berdecak untuk kyai dan pesantrenku, setelah ratusan decak lain bermunculan, sayang tak tersusun menjadi melodi natural.
Habis mufrodat, rantai ritual wajib masih panjang! Kami semua wajib belajar. Suasana seru! pada centang perentang memilih tempat belajar sendiri-sendiri. Ada yang diatas tumpukan kasur, ada yang didalam lemari, ada yang dipinggir kolam kunci, ada yang diteras sambil lihat santri putra melenggang, ada yang bawa tikar lilin kayak orang mau piknik dan camping seminggu lengkap dengan snack seabreg. Pas iseng aku tengok temenku yang picnik ini , nggak sampai 30 menit rupanya sudah lelap tidur deket kelas waru, ditemani lilin yang melumer bosan. Nyamuk nggigitpun dikira cubitan kecil sukaannya. Lalu ada temenku Baroroh yang sulit tertakhukkan prestasinya, karena kalau menghafal sampai mendelik, bola hitam matanya hilang..sampai aku ketakutan kalau nggak balik. Lalu ada Marfuah (lagi) yang belajarnya didepan kaca, bawa sisir, mlintir –mlintir rambut dan giban-gibig kepala melulu, sampai bikin aku bingung. Tapi dia cerdas kalau bernyanyi. Setiap kita bilang “dimana ya sajadah”..dia akan nyahut dengan lagu yang ada kata “dimana”. Pokoknya soal lagu dia boleh bersaing sama Nia Daniaty atau Iis Sugianto. Baroroh kalah!
Lalu kapan surat pinkyku kubaca? Dia masih menggeletak disana..aku takut ketahuan pendampingku, katanya akan disita..Ah, mahal kalau surat bersejarah itu terampas dan tak akan sempat kubaca. Tapi masak pendamping sejahat itu. Kami pernah protes dengan lagu yang bikin para pendamping marah. Syairnya masih mengiang sampai sekarang “mbak pendamping juga jatuh cinta, apalagi anak buahnya..jatuh cinta...karena panah asmara!!
Huh...indah dunia. Santri juga bisa jatuh cinta, santri juga manusia, santri juga punya usia. Kenapa “kealiman” diartikan harus beku terbekam dan teredam? Terimakasih Tuhan, cintamu telah aku nikmati, melalui surat pink Kau ingin bilang, cintai Aku seperti getar rasa ketika pinky itu datang. Ya..si pinky bukan PINGI! Pak tukang kekar, yang kelelakiannya tak diaku karena bisu itu...Oh Pinky and Pingi..Sejarahku, sejarah kami santri putri terekam aman dimemorimu.
Leiden, 25 Maret 2008.
Menara Witte Rozen straat 44.
Label: Galeri karya alumni