Selasa, Juni 16, 2009

CERPEN sebuah Intermezo

TERSESAT
Oleh: Fatrawati Kumari

Suara itu sangat berisik, bergemuruh seperti deburan ombak besar, mendengung (ngiung-ngiung) seperti suara kerumunan tawon yang siap menerkam pengganggunya, bergema memantul di setiap pojok dinding kamar. Suara-suara itu adalah suara hari2 pertama yang ku dengar saat terjagaku di kamar ini. Aku merasa sangat tidak familiar. Aku ingin kembali ke suara yang biasa ku dengar di pagi hari. Suara gemertak panci, wajan, rebusan air dan langkah pelan ibuku menyiapkan sarapan untukku dan keluarga. Aku berusaha berada dalam suara itu, tapi tak bisa. Aku sudah terlanjur ada dalam suara asing ini. Aku tak bisa keluar lagi.

Aku memilih mengalah dan membiarkan telingaku mendengarkan semuanya. Ku coba cermati suara apa yang massif ini seraya ku buka lebar-lebar mataku. Ku sibak selimut loreng-lorengku yang kemaren baru dibelikan ibuku di pasar Muntilan. Ku amati sekelilingku dan ku cari sumber suara itu. Perasaanku tak menentu ingin segera tahu “apa kah ini?”. Rasa penasaran kian menjadi, gusar tak jelas arah. Beberapa lama mataku melihat ke setiap sisi kamar. Ku lihat, banyak teman-teman baruku mengenakan rukuh/ mukenanya, memegang sesuatu dan membacanya dengan mulut yang komat-kamit. Sekarang aku baru mengerti suara apa yang sekarang menguasai pendengaranku dan kesadaranku saat ini. “Masya Allah!”, entah aku sekedar berguman heran atau takjub. Suara itu adalah suara orang mengaji (tadarus). Ya, aku kini tahu. Mereka, teman-teman baruku itu sedang “mengaji” yang dilakukan usai solat subuh.

Meski dari segi waktu bersamaan, namun karena mereka melakukannya secara individual, maka suara, intonasi, gaya dan cengkok yang mereka hasilkan menjadi sangat beragam, sesuai kemampuan dan style mereka. Ada yang super cepat, lancar buru-buru seperti dikejar-kejar penjahat. Ada yang santai gontai. Ada yang lembut mendayu. Ada pula yang sangat lambat, kombinasi, antara gaya mengeja, terbata-bata alias kurang lancar. Mungkin jika aku mengaji, akan mirip dengan gaya yang terakhir ini, sebab guru ngajiku di kampung tak pernah mengenalkanku dengan ilmu “tajwid”. Kata guruku, “yang penting lancarkan dulu lidah kalian nanti hati kalian akan mengikuti”. Itulah yang membuat ngajiku jelek.

Kembali telingaku mengarungi suara itu. Melodi dengan notasi hati, terukir dalam huruf-huruf, terlafal rindu akan keabadianNya. Semua suara, semua gaya dan cara mereka berpadu jadi satu rangkaian, membentuk sebuah nada irama gado-gado, bergemuruh…. antara suara badai laut dan gerombolan tawon….. Tuhan ! Hatiku berteriak keras, aku bertanya-tanya sendiri: “mengapa aku mesti mendengar ini di sini, di tempat ini?”. Aku memang mencintai suara ini, karena suara ini adalah suara Tuhanku yang berkelana melewati lidah tenggorokan bibir teman-teman baruku, tetapi yang aku sesalkan, kenapa mesti di tempat ini? Kenapa di sini aku sendiri, terpisah dari keluargaku? Tidak di rumahku saja? Di rumahku ada segalanya: ada ayah, ibu, adik-adikku, juga ada teman-teman, guru.. Andai waktu bisa diputar terbalik beberapa hari saja, aku ingin kembali pulang ke rumahku. Jika diijinkan untuk kembali beberapa hari sebelum sekarang, aku berjanji, akan melakukan apa saja, asal aku jangan dipisahkan dari mereka. Aku rindu ibuku dengan segala omelan dan cara sayangnya padaku. Aku rindu ayahku yang bekerja keras demi aku dan adik-adikku. Aku rindu mereka semua.

Keadaan yang menyedihkan ini memaksaku untuk membuat perbandingan antara sekarang di tempat ini dan kejadian beberapa hari yang lalu, di rumahku. Mungkin perbandingan ini tak akan ada jika aku tak berada di sini. Sebelumnya, aku merasa semua baik-baik saja. Jika aku di rumah, aku merasa punya keluarga, jika aku di sekolah, aku merasa punya guru dan sahabat yang baik. Aku merasa sangat nyaman. Apalagi, baru sebulan yang lalu aku menjadi pelajar di sebuah SMPN favorit di kampungku, tentu berat bagiku untuk meninggalkannya. Sepeda baru yang selalu menemaniku ke sekolah harus ku tinggalkan. Begitu juga Rini teman barengku bersepeda.

Sekarang semua keindahan itu lenyap oleh gemuruh suara dan hiruk-pikuk kamar ini. Aku tak mau mendengar, melihat, merasakan dan mengalami lagi kenyataan ini. Yang ku mau hanya mereka, suara ibuku yang memanggilku minta ku membantunya menjaga adik atau suara tangis adikku karena ku ganggu. Yang ku mau hanyalah hari-hari indahku diantara keluarga. Air mataku menetes deras membasahi selimut lorengku, mengaliri bantalku….. Perasaan berkacamuk antara sedih, pilu, marah, sebal dan ketidakmampuanku melawan takdirku. Takdir, mungkin merupakan istilah yang paling tepat bagi keadaanku saat ini, meski aku tak terlalu mengerti maksud yang sebenarnya. Bagiku, takdir kurang lebih sama dengan nasib, yaitu sesuatu yang mesti ku jalani.

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara teman baru yang kasurnya bersebelahan denganku. Kalo nggak salah, namanya Sri Agustina berasal dari Cirebon. “Mbak, ayo bangun, jangan tidur terus, apa habis nangis ya?, kok matanya merah dan bantalnya basah?”. Ku jawab sekenanya: “Nggak apa-apa kok”. Teman baru itu bersuara lembut mewanti-wantiku lagi agar segera mandi dan solat subuh, sebab nanti siang akan diumumkan pembagian kamar dan sederetan kewajiban sebagai santri. “Udah, ayo cepat mandi, mumpung kamar mandinya banyak yang kosong, nanti keburu penuh diambil orang. Beberapa hari ini, ku amati kamu menangis terus. Lama-kelamaan matamu bengkak lho. Kita semua disini senasib kok, sama-sama jauh dari keluarga. Nanti kalo udah ada pendamping, gawat! kamu malah bisa dimarahi mereka, sebab kata orang-orang, pendamping itu orangnya tegas dan seram”. Teman itu kembali berusaha memberi penjelasan. Ku lihat wajahnya putih, segar berseri dan ceria, sangat siap menjadi seorang santri. Sementara aku? Ku dengar sekilas, katanya, aku sudah beberapa hari di sini? Entah lah. Air mataku kembali deras mengalir, melebihi air bah atau Niagara air terjun terpanjang di dunia. Ku harap, airmata akan membanjiri seisi kamar agar aku dapat mengapung seberangi laut dan tiba di rumahku…..
**cerpen ini ditulis saat reuni angera plus sktr 1 th yl (posting oleh nuri)

Label:

9 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

hebat, cerpennya bagus banget, maaf, tentang apa to? saya belum baca je, soalnya komentar dulu baru baca, he he (ilyas)

16 Juni 2009 pukul 21.12  
Anonymous Anonim mengatakan...

ini bukan cerpen ilusi yg akan membawa ke alam mimpi, tapi kenyataan yg pernah terjadi pada seseorang yg pernah terdampar disatu tempat, yg semula tidak kita ingini, ayo teruskan cerpennya..! bagaimana merangkai hari2 ketika bertemu dgn pujaan hati, hingga sejenak bisa melupakan keluarga yg jauh dari sisi kehidupan saat itu... lanJutKan! ( Maaf bukan promosi pilpres JK lho ) AbiR

17 Juni 2009 pukul 10.48  
Anonymous Anonim mengatakan...

Mas Ilyas....isinya adalah tentang seorang "muallaf" yang tiba2 mendengar lantunan ayat suci al-Qur'an he he he.......
Salut buat patra yang bisa mengundang kembali masa silam dalam rangkaian katanya yang sangat baik...
CECEP

17 Juni 2009 pukul 11.04  
Anonymous Anonim mengatakan...

Cihui...basah basah basah sluruh mataku.emang fatra itu muallaf. Tandanya orang ngaji dibilang tawon. Dulu emang bakatnya nyanyi terus,lagunya diulang melulu bermain layang2 sambil joget.tiap tashliyah muhadoroh selalu dia didaulat tampil. Muallaf juga ; yunche

17 Juni 2009 pukul 19.10  
Anonymous Anonim mengatakan...

Aku memang "muallaf" sampe sekarang lho. hehe. fatra

18 Juni 2009 pukul 05.33  
Anonymous Anonim mengatakan...

Ada nama SRI AGUSTINA muncul dalam cerpen mbak Fatra, sueeerr sdh lama banget aku melacak keberadaan beliau.
Timur ke barat selatan ke utara tak juga aku temukan,oh..Tuhan..!!
Bagi yg tahu si GEULIS dr Cirebon, please tell me, I look for her, I miss her. Kami pernah sekost,sngt akrab, pernah sama2 dikerjai "hantu", dsb.dsb.
thx: NFS

18 Juni 2009 pukul 19.42  
Anonymous Anonim mengatakan...

Aku juga kangen sama sri agustina. Yang ku ingat, dia anak yang lembut, cantik n baik hati. Mdh2n teman2 yang ada di sktr cirebon suatu saat bertemu dia. Kalo gak salah dia mondok sampai kelas 2 ato kls 3 ya? Ttg cerita cerpen, memang menggambarkan ketidakbetahanku di Pabelan. Aku gak betah kira2 sampai setahun (hampir tiap bangun tidur aku nangis melulu). Di kelas 2 baru aku mulai betah. Ceritanya super cengeng ya? tapi memang itu kenyataannya. hehe. NFS siapa ya?

19 Juni 2009 pukul 07.48  
Anonymous Anonim mengatakan...

Tersesat ? Ya, tersesat di jln yg benar. Terdampar? Mungkin lebih tepat kali ya? Bgm Fat ? Rajasa.

19 Juni 2009 pukul 07.57  
Anonymous Anonim mengatakan...

Betul Pak Raj, kayaknya paling pas "terdampar", tapi udah terlanjur "tersesat", hehe. Trm ksh pak Raj guruku yang baiiik. fatra.

20 Juni 2009 pukul 09.35  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda