Wadah silaturahmi Angkasa-Era (angkatan 1981) dan Alumni KMI Pabelan
Sabtu, Mei 29, 2010
Silaturahmi dengan Rina di Thailand
Korespondensi Via Facebook dengan Rina Yuni: "Rin, kayaknya senin tgl 24, jam 4 sore aku mendarat di Thailand untuk transit di Thailand semalam, paginya menuju Nepal. Kayaknya menginap dekat-dekat hotel bandara. Will let you know. Minta email dan HP mu ya.Mana yang sering kau buka tiap hari?" Rina : Hai Yun, mampir makan malam tgl 24 kalo sempet dirumah. Apartemenku di Chatrium Charoenkrung Road Soi 70. Kalau mau bisa juga nginap tempatku Yun ada kamar kosong kok.Facebook yang tdk selalu. Let me know. Yuni : nanti aku kabari kelanjutannya ya. Seberapa jauh dari airport? apakah suasana politik aman untuk masuk tengah kota? ada saran naik apa ke tempatmu? Rina : maks 45 menit pake taxi dari bandara naik tol turun exit chan road udah langsung depan apartemen 1 km an. maks. thb 300 termasuk tol. Kalo BTS turun stasiun saphan thaksin jalan ke pier dibawahnya naik kapal chatrium tiap 15 menit ada kapalnya. aman karena tidak dilokasi kerusuhan dan langsung pake tol. Kalau BTS sementara ini tidak jalan sampai belum tahu. sepi-sepi aja ini ditempat kita jalanannya juga. Hope to see you or hear from you soon. Yuni : "Say, aku gak tahu punya nyali gak ya ke rumahmu sendiri. Aku menginap di Plai Garden Boutique (2 km dr bandara), Kalau ada yg jemput aku aku pingin banget ketemu dirimu, tapi kalau memang anak-anakmu gak memungkinkan ditinggal, pie ya enake? apalagi situasi politik gak jelas dan katanya banyak jalan ditutup.... jadi aku kalau dijemput mau banget, tapi kalau segalanya belum memungkinkan, pasti aku suatu kali akan ke Thailand dan pasti kita ketemu. Gmn enaknya? biasanya aku blusak blusuk sendiri sih, tapi situasi keamanan ini bikin aku keder dikit. kabari ya...kalau aku gak balas, pesan via sms aja ya say, atau titip pesan via Jane, kalau aku bermasalah jawab sms".
Akhirnya pertemuan terjadi juga, nekad bertaksi sendiri dengan dituntun Rina dan diyakinkan Rina bahwa situasi politik aman. Rina dan suaminya sangat welkam, disiapkan taksi, kamar kosong yang siap dipakai, dan tentu kerahaman dan keangatan keluarga ini bikin nyaman. "Suamiku suka masakanku Yun, dan maunya yang masih fresh, tapi untung makannya nggak susah.". Sebetulnya bukan untuk pertama kali bertemu dengan Rina dan suaminya. Th 2000 atas jasa mbak Ida Munawwaroh yang menyurati kami dari Indonesia memberi info alamat kami masing-masing di Belanda, akhirnya kami bisa bertemu di apartemennya di Amsterdam.
Ini lobby apartemen Rina di Chatrium Bangkok Thailand, apartment yang rapi dan cantik. "Kami sempat lama nunggu dapat tempat disini, tepi sungai dan bersebelahan dengan hotel, sehingga tetap terawat. Coba kamu datang siang Yun, aku ajak ke salon dibawah, kamu bisa menicure pedicure".
Rina dengan 3 putranya Ray, Daren dan Terry. Ketiganya pintar dan licah-lincah. Anakku yang pertama suka baca, yang kedua suka sport, yang ketiga suka bicara dan romantis". Sayang Darren sedang sibuk sama papanya menikmati stroop waffel kesukaannya, dan merayu maminya minta chocolate lagi.
Rina sedang memanggilkan taksi untuk tamunya yang akan kembali ke hotel. Bahasa Thailand Rina sudah fasih. "aku suka Yun tinggal disini, dekat sama Indonesia kalau mau mengunjungi bapak ibu, orangnya juga hangat-hangat. Kebetulan aku dapat PRT orang Sunda, jadi ada yang bantu-bantu. Dia pernah aku ajak keliling-keliling ke Eropa, dan dimana-mana tempat kami travel nyaris aku ajak". "Wah Rin, asik banget PRT-mu keliling dunia, Misri kalah, dia senengnya bolak-balik Mekkah". Nuansa balkon di rumah Rina dengan temaram malam. "Kalau tahun baru dari sini gratis lihat kembang api Yun". lalu kami ngobrol sekilas ttg kegiatan masing-masing, tentang keamanan di Thailand, dll. Lalu obrolan dilanjut didalam, diperkenalkan dengan anak-anak. Pokoknya setiap sudut rumah rapi dan tertata.
Rina dan suaminya sudah mempersiapkan untuk ngajak dinner di Chatrium river side restoran. Tapi suaminya menyengaja tidak ikut, membiarkan kami ngerumpi sampai puas di restoran yang romantis. "Jadi Rin, kalau di Pabelan kita makan dipinggir kali, disini kita bilang river side". Obrolan 2 jam lebih ngalor ngidul, satu persatu kawan ditanya. "Enak ya Yun, bisa sering ngumpul. Aku selalu buka Angera, lihat foto-fotonya, inget kawan-kawan lama, silaturahmi sama kawan2 Pabelan selalu lain rasanya, menyenangkan". Sesekali obrolan terhenti karena ada kapal indah lewat. Angin semilir kadang galak membuat seru. Wis iso masak opo wae Rin. "Aku udah bisa masak (sambil menunjuk yang kami santap), Phad thai Mie Thailand, Thom Yum Khung (Soup asam pedas udang), Tom yum Kai (soup asam pedas ayam) dll". Yang bener Rin, bumbu racik sendiri opo wis dadi? "Racik sendirilah". Hebatt..reuni Pabelan kita undang Rina masak sup Thailand yuk.
Inilah kota malam Bangkok yang selalu ditatap Rina dan keluarganya setiap malam. Foto dari balkon keluarga yang tentram dan sejahtera ini. Alhamdulillahh... jadi terasa Rina mengamalkan petuah almarhum bapak kita tentang jadi ahlul bait yang luar biasa: gupuh, saguh dan suguh.... Malam indah di sudut Chatrium. Thank Rin/Yc
Sebagian teman2 mungkin ingat dengan "Sri Agustina" yang akrab dipanggil dengan "Iis". Dia angkatan Angera/ 81, sempat sekamar dengan beberapa teman Angera saat santri baru. Meski cuma setahun merasakan sebagai santri Kyai Hamam, namun kenangan Iis tentang Pabelan gak pernah hilang. Iis rajin silaturrahmi dengan kawan2 Angera/ alumni baik yang di Yogya maupun Semarang dan sekitarnya, bahkan saat acara pertemuan raker IKPP beberapa waktu yang lalu, Iis menyempatkan diri datang. Iis bersuamikan "Susilo", menetap di Yogya sudah sekitar 7 tahun, dikaruniai 2 putra dan 3 putri yang manis2.
Nampak foto: Iis bersilaturrahmi dengan Ambar Chasyati dan Nurhidayati/Nunung yang juga warga Yogya/f
Masih ingat dengan wajah2 di foto full gaya ini? Untuk berfoto dengan tampilan keren bisa di "Pemuda Studio foto" bisa juga sekitar Pondok di sela2 kegiatan sehari2. Itung2 rilex abis cuapeek ngafal muthala'ah... Paling atas nampak foto adik kelas kita (Nona Aftarbibi sama siapa ya?), sedang di bawahnya foto kakak kelas kita yang pernah jadi pembimbing kita, yang gaul, lucu2 abis. Ada mbak Baroroh, mbak Dewi Yamina, siapa lagi???? Hayo! /f
Pertemuan Terakhirku dengan Luluk Khumaidah (By: Dahlan)
Namaku Dahlan. Orangtuaku memilih nama itu dengan doa agar aku mendapat kelancaran dalam hidup. Dahlan merupakan singkatan dari mudah-mudahan lancar. Aku masuk di Pabelan pada 1980. Aku satu angkatan, masuk di tahun yang sama, dengan Luluk Khumaidah. Aku punya sedikit cerita tentang pertemuan terakhirku dengannya di Lamongan. Aku berharap ceritaku berikut punya manfaat. Kalau ternyata tidak, buang jauh-jauh sejauh tenaga bisa membuangnya atau kubur dalam-dalam sedalam dasar jurang ceritaku ini.
Berita Luluk Khumaidah meninggal dunia sungguh mengagetkan aku. Rasanya baru beberapa hari lalu aku bergurau dengannya. Saat itu aku dapat pekerjaan di Lamongan sekitar sepuluh hari. Aku harus meneliti dan mewawancarai keluarga Amrozi almarhum dan tokoh-tokoh “garis keras” lainnya.Selama di Lamongan, aku mencuri waktuku untuk bertemu dengan beberapa alumni Pabelan. Aku merasa tidak sopan jika tidak menemui mereka. Usia perpisahanku dengan mereka sudah lebih dari dua puluh tahun. Selain dengan Luluk Khumaidah, aku bertemu dengan Luluk Mursyidah dan Aisyah. Aku juga bertemu dengan semua suami dan anak-anak mereka. Rumah mereka saling berdekatan dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Di antara rumah-rumah mereka, terdapat rumah Fahimah. Aku tidak datang di rumahnya meskipun ia memintaku untuk melakukannya. Untuk itu aku harus minta maaf kepadanya. Ada dua alasanku tidak bisa memenuhi permintaannya. Pertama, ia tidak ada di kampung halamannya. Sekarang ia tinggal di Bekasi bersama suami dan anak-anaknya. Kedua, aku sudah bertemu dengannya saat ta’ziyah pada wafatnya Syarifah Azma beberapa bulan lalu. Semula aku juga ingin bertemu dengan Arimbi dan Miran. Niat tersebut tidak terwujud, karena pekerjaan utamaku di Lamongan melarangku. Aku tidak boleh berlama-lama terlarut dan terhanyut dalam kerinduan suasana Pabelan dulu.
Aku tidak tertarik untuk membicarakan pekerjaan utamaku di Lamongan. Aku lebih tertarik, khususnya, untuk menjelaskan kisah pertemuan terakhirku dengan Luluk Khumaidah, dan dengan beberapa alumni Pabelan yang telah kusebut di atas. Sekitar seminggu sebelum pergi ke Lamongan, aku menelpon Luluk Khumaidah. Aku mengabarkan kepadanya bahwa aku punya rencana pergi ke Lamongan. Aku bertanya kepadanya: apakah aku bisa bertemu dengannya? Apakah aku bisa mampir ngombe (sekadar numpang minum) di rumahnya? Ia menyatakan dengan bahasa yang secara singkat berarti: monggo (silakan). Ia bertanya kepadaku: kapan aku akan datang? Aku menjawab belum tahu. Aku berjanji kepadanya akan memberi kabar lebih lanjut, kalau sudah ada jadwal tugas yang pasti.
Dua hari sebelum pergi ke Lamongan, setelah aku mendapat kepastian pekerjaanku, aku menelpon Luluk Khumaidah. Ia tidak mengangkat hand phone-nya meskipun aku sudah menelponnya beberapa kali. Akhirnya aku mengirim pesan pendek (sandek), istilah lain dari short message service (SMS), ke Luluk Khumaidah. Aku kabarkan kepadanya bahwa aku pasti akan pergi ke Lamongan. Lewat sandek aku juga bertanya kepadanya bagaimana jalan darat yang bisa aku lalui untuk menuju ke rumahnya. Hingga menjelang detik-detik kepergianku ke Lamongan, aku tidak menerima jawaban sandek darinya.
Aku tidak mungkin mengubah jadwalku, hanya karena runtutan cerita di atas. Aku tidak bisa menolak pekerjaanku. Dua hari sebelum pergi ke Lamongan, sempat terlintas dalam pikiranku untuk pergi ke Surabaya melalui jalur udara. Kemudian meneruskan perjalanan darat ke tempat tujuan. Aku terpaksa membatalkan niatku pergi dengan pesawat sesuai kontrak kerjaku, karena: tidak ada deadline jam kapan harus datang di tempat tujuan; bosan naik pesawat ke banyak tempat yang berbeda, dan yang lebih penting; tidak ada kenikmatan perjalanan tanpa bisa menghirup asap nikotin.
Aku memutuskan pergi ke Lamongan dengan kereta api. Aku tidak naik bus. Ia tidak memberikan kemewahan suasana perjalanan dengan menghirup asap nikotin, kecuali saat ia berhenti di restoran atau di pom bensin. Awalnya aku ingin naik Sembrani. Aku batal menaikinya karena ia tidak berhenti di Lamongan, tetapi di Bojonegoro dan Surabaya. Keduanya masih terlalu jauh dari tempat tujuan kepergianku. Aku memutuskan untuk naik Gumarang, karena ia berhenti di tempat tujuan kepergianku. Aku naik Gumarang kelas eksekutif.
Kereta Gumarang berangkat dari Stasiun Senen pada 19.00 dengan tujuan akhir Surabaya. Seperti yang sudah aku sampaikan di atas, sampai menjelang keberangkatanku ke Lamongan aku masih menunggu jawaban dari Luluk Khumaidah. Aku kira waktu itu ia sedang sibuk, sehingga tidak sempat mengirim sandek ke HP-ku. Aku berpikir begitu, karena aku pun akan melakukan hal yang sama jika sedang sibuk dan banyak tugas yang mengejarku.
Saat Gumarang mau meninggalkan Stasiun Senen, tiba-tiba aku teringat pada Fahimah. Aku segera menelponnya, minta tolong kepadanya untuk memberikan nomor HP teman-teman di Lamongan. Tidak lama kemudian di layar HP-ku muncul nama Luluk Mursyidah disertai dengan nomor HP dan alamat rumahnya. Aku langsung menghubunginya. Sayang ia tidak mengangkat HP-nya. Kemudian aku mengirim sandek kepadanya: aku sudah di atas kereta api dalam perjalanan menuju Lamongan, dan akan tiba pada 04.30 pagi. Aku juga bertanya jalan darat yang harus kulalui untuk pergi ke rumanya. Beberapa saat aku menunggu respon, tetapi hal itu tidak datang. Sambil menunggu jawaban, aku menikmati makanan yang kubeli di Stasiun Senen. Setelah selesai makan aku pergi ke gerbong restoran. Aku mau menikmati asap nikotin.
Di gerbong restoran, hasratku menikmati kepul asap nikotin terpuaskan. Aku sebenarnya juga bisa menikmatinya di antara sambungan gerbong. Aku tidak memilih alternatif terakhir, karena akan merasa seperti orang hilang: sendirian dan tidak ada hiburan. Ada pun di gerbong restoran, selain menikmati hasil jerih payah buruh kebun tembakau dan cengkeh, aku bisa menonton televisi atau bernyanyi karaoke bersama penumpang lainnya. Di gerbong ini banyak orang datang dengan tujuan beragam: makan, minum (kopi, teh, susu, soft drink, bir, wine), sekadar jalan-jalan, menonton televisi, menyanyi karaoke, menikmati asap nikotin, dan lain-lain.
Di atas gerbong restoran pikiranku lupa dengan teman-teman Pabelan di Lamongan. Aku sudah berusaha menghubungi mereka. Mungkin mereka sedang sibuk, sehingga tidak bisa memberikan respon dan jawaban. Waktu itu aku berpikir, kalau pun pada akhirnya aku tidak bisa berkomunikasi dan tidak bertemu dengan mereka, aku tidak perlu menyesali diri. Aku pergi bukan untuk menemui mereka. Aku pergi karena aku punya pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku harus fokus terlebih dahulu dengan tujuan utama kepergianku. Kemudian memikirkan pertemuanku dengan mereka. Aku merasa yakin bisa menemui mereka, karena punya sebuah alamat yang jelas: Luluk Mursyidah di Pesantren Karangasem, Paciran, Lamongan.
Saat mataku tidak bisa diajak kompromi lagi untuk terus menikmati suasana di gerbong restoran, aku pun memutuskan kembali ke gerbong eksekutif. Aku merasa ngantuk dan ingin segera tidur. Jam di tanganku menunjukkan angka 23.40. Sebelum menjemput impian indahku, aku menyempatkan diri menemuiNya dalam keadaan darurat: shalat sambil duduk di kursi.
Usai shalat aku teringat pada posisi HP-ku. Aku segera mengambilnya di saku celanaku. Ternyata HP-ku dalam keadaan silent selama aku di atas kereta api. Di layar monitornya terlihat ada beberapa missed calls dari nomor yang sama. Terlihat juga ada satu sandek, yang menganjurkanku turun di Stasiun Babat, bukan di Lamongan, jika aku mau ke Paciran. Aku segera membalas sandek tersebut, meminta maaf bahwa aku baru tahu ada sandek yang terkirim ke HP-ku. Tidak lama kemudian sinar di monitor HP-ku berkedip, tanda ada orang yang menelponku. Aku mengangkatnya. Di seberang sana terdengar suara perempuan, yang sudah lebih dari dua puluh tahun aku tidak bertemu dengannya: Luluk Mursyidah. Di tengah pembicaraanku dengannya, ia memintaku untuk berbicara dengan suaminya. Inti pembicaraanku dengan mereka berdua adalah penjelasan atas sandek yang terkirim: alasan anjuran kepadaku untuk turun di Babat.
Aku merasa lega usai bicara dengan mereka berdua di telpon. Tugas utamaku di Lamongan sudah terbayang jelas: nama-nama yang menjadi nara sumberku, materi wawancara, obyek yang harus diamati, dan lain-lain. Selain tugas utama tersebut, aku merasa senang karena yakin bisa bertemu dengan teman-teman Pabelanku dulu, termasuk dengan Luluk Khumaidah, yang memberiku inspirasi dalam cerita ini.
Sulit mengungkapkan secara utuh suasana batinku saat bertemu dengan teman-temanku: Luluk Mursyidah, Aisyah, dan Luluk Khumaidah. Di antara tiga nama tersebut, aku menemui Luluk Mursyidah terlebih dahulu, karena dialah yang memberiku petunjuk perjalanan untuk mencapai rumahnya. Setelah bertemu dia, aku menemui Aisyah dan kemudian Luluk Khumaidah. Pertemuanku dengan dua nama terakhir ditemani Luluk Mursyidah disertai keponakan dan suaminya.
Khusus tentang pertemuanku dengan Luluk Khumaidah, aku sengaja tidak bertanya mengapa ia tidak membalas sandekku. Aku merasa tidak sopan dan pasti akan mengganggu obrolan, jika aku membicarakan hal tersebut. Saat bertemu dengannya aku merasa kaget dengan tubuhnya. Ia sedang hamil. Ia tidak menutupi kenyataan tersebut. Ia menyatakan usia kehamilannya sudah tua dan mendekati hari kelahiran janinnya. Sempat terlintas dalam pikiranku untuk bertanya tentang kehamilannya. Tapi aku langsung mengurungkan niatku tersebut. Aku khawatir salah bicara, yang akan mempengaruhi substratum psikologis dan janinnya. Aku putuskan untuk membatasi pembicaraanku dengan Luluk Khumaidah seputar “kerinduan pada suasana” di Pabelan dulu. Setelah hampir seperempat abad aku tidak bertemu dengannya, ada satu bahasa tubuhnya yang tetap abadi: senyum manisnya.
Demikianlah catatan ini aku buat. Aku sengaja membuatnya untuk mengenang temanku: Luluk Khumaidah. Aku merangkai kata demi kata di dalamnya di Hotel Aryaduta Palembang, saat aku ada pekerjaan di kota yang terkenal dengan Pempek. Di kota ini aku sebenarnya ingin bertemu dengan alumni Pabelan. Namun usahaku sia-sia: nomor yang ada tak bisa kuhubungi, telponku tak diangkat, dan sandekku tak cepat terbalas. Bahkan ada seorang alumni yang kuminta tolong, tapi ia tak percaya kalau aku adalah alumni Pabelan. Mungkin ia bercanda. Pusing kepalaku memikirkan semua masalah tersebut, maka aku putuskan untuk membuat catatan ini. Selamat tinggal Luluk Khumaidah. Semoga ilmu yang kau tinggalkan di alam fana ini bermanfaat bagi masyarakat banyak. Semoga anak-anakmu setia mendoakanmu di alam baka sana. Semoga Allah menerima semua amal jariahmu. Dan akhirnya kau pun kembali ke pangkuanNya dengan khusnul khotimah. /f
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un... Telah berpulang ke rahmatullah, sahabat kita Luluk Khumaidah alumni angkatan 80, di Lamongan, Rabu, 6/5/10 karena pendarahan saat melahirkan putra ketiga. Berita ini sungguh mengagetkan, karena kita mengenalnya sebagai sosok sahabat yang manis, selalu ramah ceria dengan siapapun. Beberapa waktu yang lalu (sekitar suasana lebaran) tim angera (Yuni) sempat silaturrahmi berkunjung ke rumahnya di Lamongan dan bertemu Luluk sekeluarga. Foto ini diambil Yuni saat silaturrahmi tersebut. Nampak senyum manis Luluk selalu menghiasi kenangan kita tentangnya. Dalam kesempatan ini, angera menyampaikan belasungkawa dan duka mendalam. Semoga amal baik Luluk, perjuangan ikhlasnya sebagai seorang ibu diterimaNya dan dalam husnul khotimah, amin ya rabbal 'alamin.. Kepada keluarga yang ditinggalkan, semoga diberikanNya kekuatan dan ketabahan, amin.../f
Kita pasti ingat dengan ustadz/ guru kita Drs. A. Farid Ismail, MH yang sekarang berdinas di Mahkamah Agung pusat (Jakarta). Kemaren Sabtu, 1/5/10) Pak Farid berduka atas meninggalnya ayahanda beliau di usia 84 di Ngadirejo Temanggung.
Beberapa dari alumni menyempatkan layat, di antaranya Pak Rajasa, mbak Maria, Mbak Atun, mbak Isti, kak Arif, kak Fajar, kak Syafi'i, kak Azet, Lily, Pak Fandi, mbak I'ah (isteri pak Zuhad), beberapa guru pondok seperti: mbak Zur'ah, Pak Muhlisin dan lain-lain. Adapun dari pihak pondok: Kyai Ahmad Mustofa, Kyai Ahmad Balya dan Bu Nyai Nuki. Nampak foto, beberapa alumni/ guru sedang dijamu sebagai penghargaan Pak Farid atas kehadiran mereka yang telah berdoa untuk alm. Dalam kesempatan ini, angera menyampaikan duka mendalam dan doa, semoga amal ibadah alm. diterimaNya dan beliau menjadi husnul khotomah, amin../f
Mungkin sebagian ada yang kenal Nurdin Syafi'i, kakak kelas kita (angkt'77). Hari2 kakak kita ini dipenuhi aktifitasnya sebagai guru dan ustadz yang bersahaja, hidup tentram bersama isteri dan dua putera di sebuah desa di Payaman Secang Magelang. Tempat ini telah menyatukan dirinya dengan masyarakat dalam pengamalan ilmu penuh ikhlas.
Seangkatan dengan Nurdin Syafi'i, kakak kelas kita yang akrab dipanggil "Agus" ini sibuk mengelola bengkel mobil dan motor (lengkap dengan onderdilnya) di Parakan Temanggung, sedangkan sang isteri juga seorang pedagang sukses. Jenuh menjadi seorang karyawan kapal pesiar, ia banting setir ke bidang perbengkelan dan onderdil dan ternyata menghantarkannya pada kesuksesan demi kesuksesan. f/
Minggu 18/4/10 rumah kakak kelas kita Abd.Rosyid (angkt 80) meriah oleh alumni. Abd.Rosyid selain sebagai guru Muhammadiyah 7 Yk juga aktif bisnis, sedangkan sang isteri adalah karyawan perusahaan swasta di Yk. Seperti bulan sebelumnya di rumah kak Nurkholis SH (meski bulan itu tanpa foto) suasana kebersamaan begitu terasa. Paguyuban Ikpp tidak sekedar acara ketawa-ketiwi, tapi secuil usaha ikhlas alumni untuk saling menguatkan. Simpan pinjam, kredit sepeda motor, saling kunjung dalam keadaan suka-duka (sakit, kematian, bencana gempa, pesta, dll), share pengalaman, share bisnis seperti yang ditampilkan Abd.Rosyid cs hari itu, dll, mungkin hanya sebagian kecil dari hikmah "panca jiwa pondok" yang dibangun dengan segudang doa-harapan alm.Kyai Hamam. Sukses untuk Ikpp Yk. Terima kasih untuk Abd.Rosyid sekeluarga atas keihklasannya sebagai tuan rumah. /f