Kamis, Mei 13, 2010

Pertemuan Terakhir dengan Luluk...

Pertemuan Terakhirku dengan
Luluk Khumaidah
(By: Dahlan)

Namaku Dahlan. Orangtuaku memilih nama itu dengan doa agar aku mendapat kelancaran dalam hidup. Dahlan merupakan singkatan dari mudah-mudahan lancar. Aku masuk di Pabelan pada 1980. Aku satu angkatan, masuk di tahun yang sama, dengan Luluk Khumaidah. Aku punya sedikit cerita tentang pertemuan terakhirku dengannya di Lamongan. Aku berharap ceritaku berikut punya manfaat. Kalau ternyata tidak, buang jauh-jauh sejauh tenaga bisa membuangnya atau kubur dalam-dalam sedalam dasar jurang ceritaku ini.

Berita Luluk Khumaidah meninggal dunia sungguh mengagetkan aku. Rasanya baru beberapa hari lalu aku bergurau dengannya. Saat itu aku dapat pekerjaan di Lamongan sekitar sepuluh hari. Aku harus meneliti dan mewawancarai keluarga Amrozi almarhum dan tokoh-tokoh “garis keras” lainnya. Selama di Lamongan, aku mencuri waktuku untuk bertemu dengan beberapa alumni Pabelan. Aku merasa tidak sopan jika tidak menemui mereka. Usia perpisahanku dengan mereka sudah lebih dari dua puluh tahun. Selain dengan Luluk Khumaidah, aku bertemu dengan Luluk Mursyidah dan Aisyah. Aku juga bertemu dengan semua suami dan anak-anak mereka. Rumah mereka saling berdekatan dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Di antara rumah-rumah mereka, terdapat rumah Fahimah. Aku tidak datang di rumahnya meskipun ia memintaku untuk melakukannya. Untuk itu aku harus minta maaf kepadanya. Ada dua alasanku tidak bisa memenuhi permintaannya. Pertama, ia tidak ada di kampung halamannya. Sekarang ia tinggal di Bekasi bersama suami dan anak-anaknya. Kedua, aku sudah bertemu dengannya saat ta’ziyah pada wafatnya Syarifah Azma beberapa bulan lalu. Semula aku juga ingin bertemu dengan Arimbi dan Miran. Niat tersebut tidak terwujud, karena pekerjaan utamaku di Lamongan melarangku. Aku tidak boleh berlama-lama terlarut dan terhanyut dalam kerinduan suasana Pabelan dulu.

Aku tidak tertarik untuk membicarakan pekerjaan utamaku di Lamongan. Aku lebih tertarik, khususnya, untuk menjelaskan kisah pertemuan terakhirku dengan Luluk Khumaidah, dan dengan beberapa alumni Pabelan yang telah kusebut di atas. Sekitar seminggu sebelum pergi ke Lamongan, aku menelpon Luluk Khumaidah. Aku mengabarkan kepadanya bahwa aku punya rencana pergi ke Lamongan. Aku bertanya kepadanya: apakah aku bisa bertemu dengannya? Apakah aku bisa mampir ngombe (sekadar numpang minum) di rumahnya? Ia menyatakan dengan bahasa yang secara singkat berarti: monggo (silakan). Ia bertanya kepadaku: kapan aku akan datang? Aku menjawab belum tahu. Aku berjanji kepadanya akan memberi kabar lebih lanjut, kalau sudah ada jadwal tugas yang pasti.

Dua hari sebelum pergi ke Lamongan, setelah aku mendapat kepastian pekerjaanku, aku menelpon Luluk Khumaidah. Ia tidak mengangkat hand phone-nya meskipun aku sudah menelponnya beberapa kali. Akhirnya aku mengirim pesan pendek (sandek), istilah lain dari short message service (SMS), ke Luluk Khumaidah. Aku kabarkan kepadanya bahwa aku pasti akan pergi ke Lamongan. Lewat sandek aku juga bertanya kepadanya bagaimana jalan darat yang bisa aku lalui untuk menuju ke rumahnya. Hingga menjelang detik-detik kepergianku ke Lamongan, aku tidak menerima jawaban sandek darinya.

Aku tidak mungkin mengubah jadwalku, hanya karena runtutan cerita di atas. Aku tidak bisa menolak pekerjaanku. Dua hari sebelum pergi ke Lamongan, sempat terlintas dalam pikiranku untuk pergi ke Surabaya melalui jalur udara. Kemudian meneruskan perjalanan darat ke tempat tujuan. Aku terpaksa membatalkan niatku pergi dengan pesawat sesuai kontrak kerjaku, karena: tidak ada deadline jam kapan harus datang di tempat tujuan; bosan naik pesawat ke banyak tempat yang berbeda, dan yang lebih penting; tidak ada kenikmatan perjalanan tanpa bisa menghirup asap nikotin.

Aku memutuskan pergi ke Lamongan dengan kereta api. Aku tidak naik bus. Ia tidak memberikan kemewahan suasana perjalanan dengan menghirup asap nikotin, kecuali saat ia berhenti di restoran atau di pom bensin. Awalnya aku ingin naik Sembrani. Aku batal menaikinya karena ia tidak berhenti di Lamongan, tetapi di Bojonegoro dan Surabaya. Keduanya masih terlalu jauh dari tempat tujuan kepergianku. Aku memutuskan untuk naik Gumarang, karena ia berhenti di tempat tujuan kepergianku. Aku naik Gumarang kelas eksekutif.

Kereta Gumarang berangkat dari Stasiun Senen pada 19.00 dengan tujuan akhir Surabaya. Seperti yang sudah aku sampaikan di atas, sampai menjelang keberangkatanku ke Lamongan aku masih menunggu jawaban dari Luluk Khumaidah. Aku kira waktu itu ia sedang sibuk, sehingga tidak sempat mengirim sandek ke HP-ku. Aku berpikir begitu, karena aku pun akan melakukan hal yang sama jika sedang sibuk dan banyak tugas yang mengejarku.

Saat Gumarang mau meninggalkan Stasiun Senen, tiba-tiba aku teringat pada Fahimah. Aku segera menelponnya, minta tolong kepadanya untuk memberikan nomor HP teman-teman di Lamongan. Tidak lama kemudian di layar HP-ku muncul nama Luluk Mursyidah disertai dengan nomor HP dan alamat rumahnya. Aku langsung menghubunginya. Sayang ia tidak mengangkat HP-nya. Kemudian aku mengirim sandek kepadanya: aku sudah di atas kereta api dalam perjalanan menuju Lamongan, dan akan tiba pada 04.30 pagi. Aku juga bertanya jalan darat yang harus kulalui untuk pergi ke rumanya. Beberapa saat aku menunggu respon, tetapi hal itu tidak datang. Sambil menunggu jawaban, aku menikmati makanan yang kubeli di Stasiun Senen. Setelah selesai makan aku pergi ke gerbong restoran. Aku mau menikmati asap nikotin.

Di gerbong restoran, hasratku menikmati kepul asap nikotin terpuaskan. Aku sebenarnya juga bisa menikmatinya di antara sambungan gerbong. Aku tidak memilih alternatif terakhir, karena akan merasa seperti orang hilang: sendirian dan tidak ada hiburan. Ada pun di gerbong restoran, selain menikmati hasil jerih payah buruh kebun tembakau dan cengkeh, aku bisa menonton televisi atau bernyanyi karaoke bersama penumpang lainnya. Di gerbong ini banyak orang datang dengan tujuan beragam: makan, minum (kopi, teh, susu, soft drink, bir, wine), sekadar jalan-jalan, menonton televisi, menyanyi karaoke, menikmati asap nikotin, dan lain-lain.

Di atas gerbong restoran pikiranku lupa dengan teman-teman Pabelan di Lamongan. Aku sudah berusaha menghubungi mereka. Mungkin mereka sedang sibuk, sehingga tidak bisa memberikan respon dan jawaban. Waktu itu aku berpikir, kalau pun pada akhirnya aku tidak bisa berkomunikasi dan tidak bertemu dengan mereka, aku tidak perlu menyesali diri. Aku pergi bukan untuk menemui mereka. Aku pergi karena aku punya pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku harus fokus terlebih dahulu dengan tujuan utama kepergianku. Kemudian memikirkan pertemuanku dengan mereka. Aku merasa yakin bisa menemui mereka, karena punya sebuah alamat yang jelas: Luluk Mursyidah di Pesantren Karangasem, Paciran, Lamongan.

Saat mataku tidak bisa diajak kompromi lagi untuk terus menikmati suasana di gerbong restoran, aku pun memutuskan kembali ke gerbong eksekutif. Aku merasa ngantuk dan ingin segera tidur. Jam di tanganku menunjukkan angka 23.40. Sebelum menjemput impian indahku, aku menyempatkan diri menemuiNya dalam keadaan darurat: shalat sambil duduk di kursi.

Usai shalat aku teringat pada posisi HP-ku. Aku segera mengambilnya di saku celanaku. Ternyata HP-ku dalam keadaan silent selama aku di atas kereta api. Di layar monitornya terlihat ada beberapa missed calls dari nomor yang sama. Terlihat juga ada satu sandek, yang menganjurkanku turun di Stasiun Babat, bukan di Lamongan, jika aku mau ke Paciran. Aku segera membalas sandek tersebut, meminta maaf bahwa aku baru tahu ada sandek yang terkirim ke HP-ku. Tidak lama kemudian sinar di monitor HP-ku berkedip, tanda ada orang yang menelponku. Aku mengangkatnya. Di seberang sana terdengar suara perempuan, yang sudah lebih dari dua puluh tahun aku tidak bertemu dengannya: Luluk Mursyidah. Di tengah pembicaraanku dengannya, ia memintaku untuk berbicara dengan suaminya. Inti pembicaraanku dengan mereka berdua adalah penjelasan atas sandek yang terkirim: alasan anjuran kepadaku untuk turun di Babat.

Aku merasa lega usai bicara dengan mereka berdua di telpon. Tugas utamaku di Lamongan sudah terbayang jelas: nama-nama yang menjadi nara sumberku, materi wawancara, obyek yang harus diamati, dan lain-lain. Selain tugas utama tersebut, aku merasa senang karena yakin bisa bertemu dengan teman-teman Pabelanku dulu, termasuk dengan Luluk Khumaidah, yang memberiku inspirasi dalam cerita ini.

Sulit mengungkapkan secara utuh suasana batinku saat bertemu dengan teman-temanku: Luluk Mursyidah, Aisyah, dan Luluk Khumaidah. Di antara tiga nama tersebut, aku menemui Luluk Mursyidah terlebih dahulu, karena dialah yang memberiku petunjuk perjalanan untuk mencapai rumahnya. Setelah bertemu dia, aku menemui Aisyah dan kemudian Luluk Khumaidah. Pertemuanku dengan dua nama terakhir ditemani Luluk Mursyidah disertai keponakan dan suaminya.

Khusus tentang pertemuanku dengan Luluk Khumaidah, aku sengaja tidak bertanya mengapa ia tidak membalas sandekku. Aku merasa tidak sopan dan pasti akan mengganggu obrolan, jika aku membicarakan hal tersebut. Saat bertemu dengannya aku merasa kaget dengan tubuhnya. Ia sedang hamil. Ia tidak menutupi kenyataan tersebut. Ia menyatakan usia kehamilannya sudah tua dan mendekati hari kelahiran janinnya. Sempat terlintas dalam pikiranku untuk bertanya tentang kehamilannya. Tapi aku langsung mengurungkan niatku tersebut. Aku khawatir salah bicara, yang akan mempengaruhi substratum psikologis dan janinnya. Aku putuskan untuk membatasi pembicaraanku dengan Luluk Khumaidah seputar “kerinduan pada suasana” di Pabelan dulu. Setelah hampir seperempat abad aku tidak bertemu dengannya, ada satu bahasa tubuhnya yang tetap abadi: senyum manisnya.

Demikianlah catatan ini aku buat. Aku sengaja membuatnya untuk mengenang temanku: Luluk Khumaidah. Aku merangkai kata demi kata di dalamnya di Hotel Aryaduta Palembang, saat aku ada pekerjaan di kota yang terkenal dengan Pempek. Di kota ini aku sebenarnya ingin bertemu dengan alumni Pabelan. Namun usahaku sia-sia: nomor yang ada tak bisa kuhubungi, telponku tak diangkat, dan sandekku tak cepat terbalas. Bahkan ada seorang alumni yang kuminta tolong, tapi ia tak percaya kalau aku adalah alumni Pabelan. Mungkin ia bercanda. Pusing kepalaku memikirkan semua masalah tersebut, maka aku putuskan untuk membuat catatan ini. Selamat tinggal Luluk Khumaidah. Semoga ilmu yang kau tinggalkan di alam fana ini bermanfaat bagi masyarakat banyak. Semoga anak-anakmu setia mendoakanmu di alam baka sana. Semoga Allah menerima semua amal jariahmu. Dan akhirnya kau pun kembali ke pangkuanNya dengan khusnul khotimah. /f

Label:

2 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

saya minta maaf kepada dahlan yang terlambat membalas smsnya sewaktu ke palembang. Mungkin kalau segera dibalas bisa silaturahmi dengan teman pabelan di sana.

Kami senang membaca kesan pertemuan terakhir dengan luluk..bahkan kami terus menanti tulisan lainnya. Syukran ya../n

13 Mei 2010 pukul 21.47  
Anonymous Anonim mengatakan...

Ingatan saya pada Luluk meskipun tdk banyak tapi cukup mendalam. Ia cerdas, hapalannya kuat, di kelas sll tenang, fokus pada peajaran, tulisannya juga rapi.Di kelas Saya senang bertanya kpdnya krn jawabannya sll menyenangkan, dan saya respon dg pujian khas Pabelan 'ahsanti'. Tp kalau di luar kelas sy tdk pernah berkomunikasi krn ia terlalu sopan. Kesan saya ia bukan orang jawa timuran,yang agak beda dengan Fahimah atau Sayrifah (almrh). Dan saya, Seperti halnya Dahlan juga msh terkenang senyumnya yg malu-malu itu. Selamat Jalan Luluk Khumaidah./RM

14 Mei 2010 pukul 07.24  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda