Sabtu, September 19, 2009

Cerita dari Negeri Impian

oleh:

Rina Rahmawati


Minal aidin wal faizin mohon maaf lahir batin. Selamat berlebaran buat teman teman.
Bentar lagi aku mudik lebaran walaupun cuman seminggu tapi, hatiku senang bisa berlebaran di kampung halaman.


Seorang teman istimewa dari tempat aku mondok di Pabelan minta aku menulis
tentang Thailand tempat dimana sekarang aku tinggal. Bukan Yuni si hitam manis lokomotif namanya kalo tidak bisa menjadi yang terdepan yang bisa menjadikan orang lain tergerak dan bergerak mengikuti irama langkahnya. Aku bilang menulis itu perlu sepi sedangkan dirumahku sekarang selalu ramai. Bukan prioritasku untuk mencari sepi dan mengunjungi ilham buat menulis sekarang ini. Tapi gara-gara permintaan Yuni aku jadi tergelitik untuk mengetik tulisan lagi. Ilham tidak perlulah aku cari, nanti juga datang sendiri. Yang penting mulai. Sepi, aku bisa kadang kadang berkunjung padanya kalau anak-anak tukang bikin ramai rumah sedang ke sekolah di pagi hari. Maka jadilah aku menyetujui permintaan Yuni untuk kembali menulis dan berbagi cerita.

Teman mantan pacar yang sekarang menjadi suamiku dulu ketika kita masih tinggal di Jakarta sering
memanggilnya dengan “Khun”. Saat itu terdengar aneh untukku dia dipanggil dengan nama depan begitu. Sekarang tidak aneh lagi karena orang sekantornya setiap hari memanggilnya dengan khun juga. Ternyata khun itu semacam “bapak” di negeri asalku, “meneer” di negeri asal suami dan “mister” dinegeri Obama. Dimulai dengan panggilan kesayangannya itu jualah kiranya yang membawa kita terdampar untuk bekerja dinegeri dimana orang orang dipanggil dengan khun. Negeri dimana tuk tuk (semacam bajaj di Jakarta dan India ) masih hilir mudik dengan lincahnya dan bebas asap hitam dengan berhiaskan bel kliningan bergantungan dikaca depan. Negeri dimana rambutan, jeruk pamelo (aku suka sebut jeruk bali ), sawo, lengkeng, longan segala macam pisang dan durian dijajakan dijalanan. Negeri dimana pasar bisa berdampingan dengan indahnya dengan gedung pusat perbelanjaan ber ac yang sering disebut department store atau mall kata orang Jakarta. Negeri dimana rakyatnya bisa makan kenyang karena cukup punya beras dan bisa makan tidak kenyang karena banyak pilihan makanan penutup atau dessert dari cendol, nasi ketan dipakein santan dan mangga, segala macam bubur, kue, kripik sampai es krim. Jangan tanya yang aku tidak suka. Susah sekali menjawabnya. Kalau apa yang aku suka dari Thailand aku bisa bercerita panjang. Kita bisa mulai dengan pasar tempat aku bisa menawar harga. Kalau cuman angka angka aku masih bisa dengan bahasa lokal jadi menawar bukan masalah. Mereka para penjual juga panjang akal, barang yang dijajakan kebanyakan sudah dipasang tulisan harga jadi teman bisa melihat tanpa perlu bertanya. Asal tahu saja sudah enam
tahun aku tinggal di Thailand bahasa yang bisa aku tangkap hanya itu itu saja. Sawadde kaa (khrap kalo yang bicara laki-laki ) dan khap khuwn kaa cukuplah buat menyelamatkan muka. Yang lain ya angka satu dua tiga dan jangan lupa kanan kiri untuk yang suka naik taksi atau tuk tuk.

Pasar di Bangkok yang biasa aku kunjungi lokasinya tidak jauh dari tempat aku tinggal namanya lai lai sap. Kalo diartikan katanya sih semacam tempat (jin kalo di Indonesia) buang duit. Lokasinya ibelakang gedung kantor pusat Bangkok Bank ( Bank besar di Thailand ) di Silom. Jadi kalau mau kesana teman jangan pas jam makan siang. Bisa berdesakan dan saling senggol dengan orang kantor yang bejibun keluar makan siang sambil belanja atau cuci mata saja. Kalau mau pergi pagi saja atau setelah jam makan siang. Aku biasa datang dengan teman atau kawan-kawan pagi jam sepuluh ( itu jam bebas kita sebelum jarum jam menunjukkan angka dua, kita sudah mesti di rumah, siap menjemput sekolah tukang bikin onar kerumah he he…(Tidak semua. Anakku ketiganya laki-laki, mereka perkecualian. )

Oya di Pasar Lai Lai Sap semua dijual, berjejer, dijajakan. Dari segala makanan, bermacam kue termasuk buah buahan, sayuran, mainan, pakaian, pernak pernik, make up, tas, buku tulis sampai sandal sepatu dan tutup rambut juga ada ( itu shower cap yang buat mandi kalau tidak mau rambut basah ). Favoritku dan teman-teman adalah kios ( toko kecil ) pakaian dan kios mainan anak anak. Pakaian dari yang seratus baht tiga sampai yang ribuan baht harganya ada semua. Biasanya mereka jual celana rok kaos baju lokal tergantung musim. Musim tahun baru cina mereka jualan baju krah tinggi warna merah. Musim tahun baru Thailand mereka jualan baju tradisional Thailand kemben kebaya sarung. Musim panas ada perayaan minta air hujan bajunya kembang warna warni semua. Ada merah hijau kuning ( favoritku oranye warna kebangsaan suami tapi mereka tidak pernah punya).

Nah selain pasar yang aku suka tentang Bangkok khususnya adalah soal transportasi. Maklum seumur umur aku tidak pernah nyupir sendiri kecuali sangat amat terpaksa. Contohnya terpaksa itu ya untuk ujian SIM ( SIM sih aku punya dari Indonesia tapi kan punya SIM bukan berarti biasa menyetir di Indonesia ) atau ada yang maksa aku untuk pegang setir alias kemudi. Harap maklum, sewaktu kerja juga aku tahunya diantar dijemput saja. Jadinya penting buatku untuk bisa berkomuter alias keliling kota pergi dari satu tempat ketempat lainnya dengan mudah, lancer dan aman tanpa menyetir kendaraan sendiri. Di Bangkok it’s not a big deal. Taksi di Bangkok bagus, banyak yang baru dan murah dibanding Jakarta ( jangan bandingin sama taksi di Amsterdam ya yang alamak mahalnya ) Yang lebih penting para supir di Bangkok termasuk yang sopan dan tidak pelit kembalian. Mereka hampir tidak pernah dengan sengaja mengajak penumpang keliling kota seperti yang sering terjadi dengan taksi di Jakarta (Dulu jaman aku masih tinggal disana. Mudah mudahan sekarang tidak lagi). Kalau tidak pakai taksi karena jamnya pergi bareng dengan jam kerja dan sekolah alias jam macet kita bisa pake BTS atau Sky Train yang bisa dengan cepat melaju diatas kemacetan kota. Sky train di Bangkok ACnya mak cesss. Masuk kereta langsung dingin. Para turis bule aja yang cuek. Mereka biasanya berbaju ‘you can see’ di Bangkok karena kepanasan. Agak rapet sedikit tertutup kalau sudah sampai Grand Palace yang menyediakan sarung bagi yang berbaju pendek selutut. Dari sky train kita bisa melihat pemandangan hijau kota dari atas termasuk Dusit Golf Club yang ijo royo royo dan Lumpini Park yang banyak pohon rindangnya. Dari metro underground kita cuman bisa lihat tembok gelap tapi cepat dan kadang kadang perlu kita pakai kalau mau ke tempat yang agak jauh dipinggiran Bangkok. Sekarang setelah pindah apartemen ditepi sungai, aku ada pilihan kalau bepergian. Tidak harus pake mobil dan kena macet tapi bisa lewat jalur sungai dengan kapal dan sambung sky train lanjut jalan kaki ke tempat tujuan. Biasanya pintu keluar disambungkan langsung dari stasiun ke pintu mall. Kalau tujuan selain mall ya tinggal cari stasiun terdekat saja. Begitulah cerita sukanya tinggal dan jalan-jalan di Bangkok. Kemana mana gampang, transportasi dan jalannya bagus. Pemerintah Bangkok kan paling rajin bikin jalan dan jembatan. Itu yang aku senang juga. Ke Pattaya yang 180km dari Bangkok tidak sampai dua jam bermobil. Hua Hin yang 200km lebih bisa tiga jam sampai. Lha aku kalau mau pergi dari Kudus ke Jogya yang hanya 180km bisa lima jam baru sampai. Kudus Semarang yang 50km kalau jalan lancar bias ditempuh sampai dua jam. Bagaimana aku tidak betah di Bangkok? Hobiku kan memang jalan jalan dan plesiran. Jadi jangan salahkan aku kalau menjadi betah dan lama tinggal disini.

Oya teman, penduduknya atau orang Thai aku bilang sangat toleran dan santun. Toleran karena mereka tidak keberatan ada pasar bejejer dengan mall. Ada anjing dijalanan mereka tidak keberatan malah dikasih makan (ini yang jadinya diprotes karena menambah angka populasi anjing jalanan di Bangkok) Ada cewek jalan dengan bule juga tidak disuitin apalagi diteriakin he he he.. (pernah lho menimpaku di jakarta dulu ) Ada gay (cowok suka sama cowok) dan lady boy (cowok suka dandan kayak cewek) juga mereka cuek saja tidak berkeberatan dan tidak ada yang demo soal bikin undang undang tata tertib buat mereka. Yang ini sih sudah bukan wilayahku lagi. Soalnya aku bukan penggemar mereka. Kalau artis bollywood semacam Syah Rukh Khan, Hrithik Roshan, Aamir Khan bolehlah aku dikatakan penggemar (dulu sih Amitabh Bachchan sewaktu mondok di Pabelan he he… )

Benar betul orang Thai itu santun. Disamping santun dengan sesama, mereka sangat hormat dengan pemuka agamanya ( monk atau pendeta budha ). Santunnya orang Thai itu cerdas. Contohnya, mereka welcome dengan turis ( farang ) tapi bayar uang masuk tempat rekreasi atau tujuan pariwisatanya bisa berlipat-lipat daripada yang mereka bayarkan ( yang ini sudah diprotes ‘farang’ dibilang tidak fair ). Misalkan di Snake farm kalau orang Thai mau masuk dipungut bayaran karcis 25 baht yang turis bisa 250baht (nominal persisnya aku lupa). Ocean World, Dusit Zoo semua ada dua tarif. Ya harap maklum soal bisnis dan uang, orang Thai pakarnya berhitung. Bagi yang punya ijin kerja di Thailand jangan lupa selalu membawa serta kopinya supaya kalau mau plesir bisa murah bayar karcis masuknya. Cuaca di Bangkok bisa dikatakan ada tiga musim. Musim panas dan kering dari Februari sampai Juni. Hujan, lembab dan basah Juni sampai November dan sejuk, kering bulan November sampai Februari. Maksudnya musim panas itu ya bisa kering tidak ada hujan dan panas sampai 40C. Musim hujan ya sama seperti di Indonesia hujan setia setiap saat. Bisa hujan setiap hari, jamnya saja yang gonta ganti. Yang enak kalau pas bulan November sampai Februari. Angin sejuk berhembus dari Cina dan cuacanya seperti summer di Eropa. Cerah, sekitar 26 celcius suhu udaranya. Bunga bermekaran, kembang anggrek dimana mana dan musim durian juga. (Soal durian nanti kita bahas sendiri saja ya he hehe…)

Sebenarnya kalau mau ditambah di Bangkok itu susah cari orang merokok ditempat umum ( termasuk di Pub/Bar dan restoran ) karena sudah menjadi peraturan dan atau larangan. Penghijauan lumayan digalakkan walaupun belum seperti di Eropa tapi oklah masih ada Lumpini Park dan pohonnya lumayan rindang tidak seperti Monas ( ah tak usahlah aku selalu membanding banding kan tanah kelahiran dengan negeri orang namanya tidak patriotis nanti ). Demikianlah teman ceritaku tentang negeri impian. Nanti kapan kapan aku akan ganti kilas balik cerita sukaku sampai terdampar di negeri orang. Mudah mudahan kelanjutan ceritaku tak sampai menunggu diminta sama Kajol eh si item manis eh yang punya nama Yunich. Bersambung alias to be continued…(RR)
Bangkok, 24 Juni 2009.
Rina

Label:

9 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

Rina, aku bangga dan senang membaca dua tulisanmu, sangat bagus isi dan pilihan katanya. Apalagi sang penulis sesama santri Pabelan, dan juga berasal dari kota yang sama, yaitu Kudus (omahku Ploso).

Sehari menjelang Lebaran (Idulfitri hari Minggu) aku dan keluargaku tiba di Kudus. Semoga, kalau jadik mudik (seperti ceritamu) juga mengalami adanya perubahan jarak tempuh Semarang- Kudus sekitar 50 km, yang sudah bisa ditempuh kurang dari satu jam karena jalannya sudah lebar, mulus dan hanya sebagian kecil yang masih dua lajur berpapasan dengan kondisi fisik jalan masih bergelombang.

Hanya dua malam di sana. Pada Lebaran ke dua (Senen) aku bersama keluargaku (tiga anakku) meninggalkan kota Kudus, menuju Wangon, Puwokerto (kampung halaman istriku, Isna yang mungkin Rina juga kenal dia saat masih nyantri di Mbelan), mampir di Kretek, Wonosobo, tempat adiknya Isna.

Sebenarnya berat hari itu berangkat, karena di rumah kak Zaenal Anwar di Gebog (kakak kita di Pabelan yang suaranya bagus kalau ngaji) hari itu ada acara kumpul teman-teman kita waktu di Mbelan dulu anggota Konsulat Karesidenan Pati (Jepara, Kudus, Padi, Tayu, Juawa, Rembang, dan Blora). Kangen lho, sudah lama tidak jumpa mereka. Tapi, apa boleh buat, agenda kita terikat oleh agenda anak-anak, keluarga dan pekerjaan.

Lebih jauh membaca tulisan keduamu, kok belum disinggung soal Masjid dan kegiatan keagamaan Islam di Bangkok (saya harap ada di tulisan ketiga nanti). Setahuku di sana banyak masjid, kalau tidak salah melihat di kanan kiri jalan dari Bandara Svarnabhumi ke pusat kota Bangkok ada sekitar 8 masjid yang cukup besar.

Waktu itu aku berkesempatan ke Bangkok pada 17-19 Januari 2008 atas penugasan dari kantor tempatku bekerja untuk mengikuti acara nasabah LippoBank (sebelum marger dengan Bank Niaga). Kalau waktu itu aku tahu Rina di sana, tentu bisa dicari info telepon dan alamatnya untuk jumpa kenalan dengan keluargamu.

Barangkali hotel menginapku dekat apartemenmu, yaitu di Hotel Lebua di Silom Road Bangrak, Bangkok. Buatku cukup berkesan, karena berkesempatan menonton cultural show Siam Niramid, kunjungan ke pusat perkebunan dan pabrik wine PB Valley di Khao Yai (wow, selama perjalanan aku sangat menikmati pemandang di kanan kiri jalan, karena bisnya bertingkat dan aku duduk di bagian depan).

Juga berkesempatan makan siang di Great Horbill Grill, singgah di pusat pembuatan perak dan kulit Gems Jewellery, dan mengikuti jamuan makan malan eksklusiv di Breeze Resto, tempat terbuka di Lt.52 hotel Labua sehingga bisa leluasa melihat pemandangan kota Bangkok dari ketinggian pada malam hari dan juga ke Suan Lum Night Bazaar cari kaos yang bergambar gajak dengan tulisan Bangkok, pesanan anak-anakku.

Besoknya mampir ke pasar yang kamu bilang berdampingan dengan supermarket/mal, yang menjual berbagai barang, terutama souvenir yang rame diburu para turis, tapi aku lupa namanya. Di sina aku lihat banyak perempuan berkerudung yang menjual makanan halal, dengan tulisan “halal” atau “muslim food” yang mencolok.

Sayang aku tidak sempat mampir di salah satu masjidnya, tetapi aku sempat ngobrol dengan beberapa komunitas muslim di sana, tempat tinggalmu sekarang. Semoga di tulisan Rina yang ketiga nanti banyak dikupas. Saya tunggu dan tentu jamaah Angera lainnya juga.

Maaf sidang pembaca Angera, agak narsis neh.
Nuruddin

24 September 2009 pukul 17.59  
Anonymous Anonim mengatakan...

Sebagai salah satu jamaah angera siap menunggu lanjutan ceritamu. Apa yang disinggung kak nurudin bagus juga dan sangat dinanti. Kali aja kapan2 kita kesana, sudah tahu tempat halal dan haram. Jadinya nggak bingung lagi terutama kulinernya. Oya, kalau ngga salah teman kita mondok dulu ada dari Thaland, armeena long puteh. Kalau dia ada di kampung asalnya, mudah2an bisa ketemu.(nuri)

24 September 2009 pukul 18.13  
Anonymous Anonim mengatakan...

apa iya bangkok menyimpan cerita tentang kehidupan beragama, khususnya kehidupan umat islam? kalaupun ada umat islam di bankok, mungkin hanya dalam bentuk an imagined community dan bukan dalam bentuk a real community. cerita kehidupan umat islam mungkin lebih tepat diletakkan dalam konteks masyarakat pattani. atau mungkin MBAK RINA punya pengalaman sendiri? please let us know and the story on bangkok must be continued. by masdar wong wonosobo

25 September 2009 pukul 00.36  
Anonymous Anonim mengatakan...

Rina belajar jurnalistik dimana, sih? Kok reportasenya tidak kalah dengan wartawan Tempo dan Kompas, sekalipun. Terus semangat menulis,ya, Rin./RM.

25 September 2009 pukul 19.40  
Anonymous Anonim mengatakan...

Rin, yg upload tim angera yg lain, krn 3G internet connectionku gak jaln di kampung,kecuali BB. Jd aku minta tim lain.tapi kok beberapa kali namaku disebut terlewat keedit. Jadi malu tersipu nih.... Btw,lanjuuutttt rin. Kak nurudin cerita2 jg dong ttg sesuatu yg membuat yang lain merasa tercerah dan tersegarkan. Hidup kudus. Luv.yuni

25 September 2009 pukul 20.51  
Anonymous Anonim mengatakan...

Mantap abis... Teruskan Rin... We love u full.. (fatra)

27 September 2009 pukul 13.43  
Anonymous Anonim mengatakan...

cerita ka' Nurudin sama persis dgn yg saya alami.....hanya ketika Ananda Jehan 1,5 th terbangun menangis.... terbangun pula saya..! AbiRizky

28 September 2009 pukul 08.55  
Anonymous Anonim mengatakan...

Aduh, maaf dan terima kasih. Maaf tidak bisa langsung bersalaman lebaran,terima kasih atas komentarnya. Saya belajar menulis dan mengetik memang dari Pabelan. Kalo dibilang tidak kalah dengan wartawan mudah mudahan tidak berlebihan dan itu karena jasa Bapak kita yang membelikan ana mesin ketik dan dulu mengenalkan ana dengan para wartawan KR di jogya. Sayang tulisan ana di KR waktu itu tidak terdokumentasi hilang begitu saja, mesin ketik hijaunya juga (RR)

28 September 2009 pukul 11.42  
Anonymous Anonim mengatakan...

wah aku terlambat....membaca tulisanmu yang ku rindu...maklum aku baru aja jadi upik abu...hehe lebaran usai semua berjalan seperti biasa lagi bisa santai mencerna tulisan indahmu di negri gajah putih.....sangat enak dibaca...membawa terpesona dengan negri impianmu....masih banyak yang kau simpan...aku tunggu yang banyak lagi....salam sayang minal 'aidzin wal faa idzin...maaf lahir bathin. Ida Muna.

28 September 2009 pukul 22.12  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda