Jumat, Agustus 28, 2009

Diary Rina: Pabelan, pada suatu hari

By : Rina Rahmawati

Pabelan, pada suatu hari…

Sebenarnya bukan mauku untuk pergi dari rumah secepat itu. Entah apa yang menghantuiku saat itu. Ada kesedihan barangkali karena aku tak dapat melanjutkan ke sekolah negeri seperti teman temanku saat itu. Kekecewaan yang terpendam karena Bapakku yang mengharuskan aku supaya menuntut ilmu disekolah Menengah Tsanawiyah atau pergi mondok di Pesantren. Aku memilih yang terakhir sekedar supaya aku bisa memuaskan keinginan. Keinginan yang memacu dan cita cita yang mesti diraih untuk maju. Aku masih ingat kunjungan Pak De kakak Bapakku kerumah dan mengatakan bahwa disana aku pasti senang bisa menuntut ilmu dan memiliki banyak teman baru dari berbagai wilayah nusantara. Pondok Pabelan sudah sangat terkenal saat itu. Siapa sangka Pabelan menjadi bagian daripada kisah hidupku yang mengharu biru…Pondok pabelan, pondokku, ibuku….



Sudah kebiasaanku dimalam hari memandang bulan seolah hendak menggapai bintang dan berkata pada suatu malam pada diriku bahwa aku musti pergi dari rumah ini. Maka kuturuti saran Pak De dan memilih diantara pilihan Bapak yang tidak bisa ditawar lagi. Tak mengapa masih begitu muda usiaku untuk beranjak pergi. Belum puas aku bermain dengan tetanggaku dan belum sempat pula aku menyampaikan isi hati kepada kekasih pujaanku. Biarlah semua itu menunggu….

Setelah Om adik ibuku mendaftarkanku dan melengkapi semua persyaratan maka resmilah sudah aku sebagai santri di Pondok Pabelan. Tak ingat lagi bagaimana perasaanku saat itu. Aku bahkan tidak ingat lagi apakah aku sempat dibelikan almari pakaian dan buku tapi aku ingat tidak ada kasur untuk tidur untukku. Aku juga tidak ingat bagaimana aku melambaikan tangan mengucapkan selamat tinggal kepada Om adik Ibuku. Yang aku masih ingat karena tidak ada kasur untukku aku hanya bisa mendapatkan sepetak lantai didekat pintu asrama dengan kasur tua sebagai alas tidurku. Selimut, entah ada atau tidak aku tidak ingat lagi. Kulewati malam pertama tidurku di Pabelan dengan penuh tanda tanya.



Saat itu adalah saat yang indah dengan gugur bunga flamboyant yang laksana karpet oranye menghiasi halaman depan asrama putra depan masjid. Sungainya yang aku kenal kemudian dengan air sejuknya mengaliri petak sawah di sekitarnya. Jernih mengalir air sungai Pabelan menjadi saksi bisu dari tawa, canda, kisah cintaku. Dingin dipagi hari masih membayang dan berkabut udara pegunungan. Dengan perlahan aku mulai mengenal lingkungan dan teman teman baruku. Tidak mudah untuk menjatuhkan hati pada pilihan sebagai teman. Berbagai suku dari penjuru nusantara membaur, makan, bicara dan tidur bersama. Terkadang aku hanya merasakan sepi ditengah keramaian. Sendiri diantara teman-teman. Lantunan syair abu nawas dibatas senja adalah hiburan yang menyejukkan, puisi yang menghadirkan sendu. Betapa beruntungnya diriku bisa mendengarkan keindahan syairnya, kesyahduan irama lagu dan bersujud bersama.



Pabila hasrat rindu menderaku kuambil pena dan buku teman setiaku dan aku pergi mencari sepi. Biasanya aku mojok duduk dikalpataru atau kelas waru. Sepi dan menulis berlembar lembar cerita. Bosan menulis terkadang aku memilih mengunjungi tetangga. Aku bisa mendengarkan lagu Betharia Sonata gratis dan juga sambil menikmati pisang ubi goreng ( yang ini ngutang dan bayar belakangan ) sama Bu Azis ( anak laki satu satunya nukang diPabelan. Aku ingat anak lakinya pendiam tapi suka mencuri pandang dan dia tidak berkeberatan aku dan temanku main dengan tape player dikamarnya. Namanya Azis jadi kita panggil ibunya dengan Bu Azis ). Ditempat Bu Azis sebelah Bu jamu aman karena biasanya cuman aku dan temanku yang main kesana dan sembunyi dari bagian keamanan. Dari sinilah benih benih pemberontakan remajaku tumbuh. Dari senang mendengarkan lagu sendunya Betharia Sonata menjadi jemu dan tidak bisa lagi menerima wanita yang hanya bisa menyanyi dan menangis saja. Aku tidak mau begitu. Aku mau menyanyi tapi bukan lagu sendu apalagi yang ditambah meratapi nasib sebagai wanita yang bla bla bla…



Akhirnya pada suatu hari setelah lagu Betharia Sonata membuatku jemu aku mulai mencari hobi baru. Maka sampailah pencarian kita di tempat dimana air mengalir, suara gemericik yang merdu dan menyanyikan lagu syahdu. Sungai, kita menemukan damai bertahta di sungai pabelan kita. Tak bosan kita disana merangkai angan. Tak jemu kita mendendangkan irama lagunya. Disana pula kubaca surat cintaku, dan mencuri pandang wajah pujaan hatiku. Indahnya kasmaran, menunggu dentang lonceng jam makan siang dan tibanya saat sang pujaan melenggang dengan teman teman. Dari jendela Bagaskara kupandangi kehadirannya dengan ditemani kali ini lagunya Dina Mariana. Judulnya entah aku samar samar tak ingat lagi pastilah yang tidak jauh jauh dari kata jatuh cinta, kekasih hati dsb. Setelahnya aku akan memberanikan diri membawa gayung mandiku dengan berpura pura ke kamar mandi sekedar supaya bisa melihatnya lebih dekat lagi, menikmati senyum sapanya dan sesampainya disamping kantin bertukar surat cinta. O god forgive me, hambamu yang tak pantas masuk surga tetapi takut masuk neraka. Yang begini tidaklah bertahan lama karena cinta, cita-cita dan impian terkadang tidaklah berdampingan apalagi saling berpegangan tangan. Seiring dengan gugurnya bunga flamboyant, berguguran pulalah bait bait cinta dan kasmaranku padanya dihantam gelombang samudra dan angin puyuh berkelana dahsyatnya. Sirna….tamat riwayatnya begitu saja. Tanpa sempat meratap apalagi merangkai kata kata.



Sendiri lagi aku kembali kepada pena dan buku teman setiaku. Lupakan saja tak kan mungkin menyamai kecepatan hapalan diluar kepala Nina Nurmila aku mencoba menata serpihan kata cintaku. Tak usah lagi merasa cemburu dengan keindahan seorang Ida Munawaroh atau mencoba menyamai langkah Yuni Misri Fatra dllnya. Lupakan itu semua dan mencoba menjadi diriku sendiri. Maka yang ada adalah aku dan sepi, sendiri ditemani pena dan bukuku yang selalu kubawa kemana aku pergi. Hingga pada suatu hari aku mendapatkan kesempatan untuk mendaftarkan diri sebagai pramugari supaya aku dapat sekali lagi terbang dan pergi lagi. Terima kasih untuk temanku Ida Munawaroh yang sudah meminjamkan bajunya sehingga aku bisa berani merasa indah dan berhasil lulus ujian seleksi. Ke Jakarta aku pergi dan kali ini langkahku tak lagi terhenti. Entah benar atau tidak tapi sewaktu kartu tarotku dibaca di marlioboro katanya aku laksana burung yang terbang tinggi….(merpati)

Pada suatu hari diPabelan, disanalah aku mulai menulis dan menulis yang pada akhirnya entah untuk berapa lama aku lupakan. Terima kasih Yuni untuk bersedia memintaku kembali merangkai kata dan bercerita. Suatu hari nanti ceritaku ini akan aku lanjutkan….



Bangkok, 25 Juni 2009.

Raista

Label:

15 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

Ceritanya asyik, seolah mewakili apa yang kita alami dulu. Rina yang berada di Bangkok sana, kami menunggu lanjutan ceritamu.(nuri)

28 Agustus 2009 pukul 17.02  
Anonymous Anonim mengatakan...

Kayaknya ibarat minum, baru sampai di leher. Jadi perlu aliran cerita lanjutan....syang banget bakat nulisnya kalau sampai tak berlanjut.ceritanya asikkkk....lanjut rin... Sukkkaaaa/yun

28 Agustus 2009 pukul 17.43  
Anonymous Anonim mengatakan...

Jejaka..... yang simpati penuh kelembutan....
Kau getarkan......
Rasa rindu dalam hati ini....

Jejaka.....
Mungkin hati ini masih malu......
Kau kutunggu.......
Dimalam2 yg sunyi ini..
Tak terlukiskan.....

Mba Rina, inikah potongan syair yg dinyanyika Dina Mariana itu...?
wah...bahagia banget kalo hal ini mba' nyanyikan dihadapannya.... tapi sayang ya Mba....luntur ga dijamin sama yg buat lagu, ya seperti lagu itu he..he....he... teruskan mba...bahasanya enak, mengalir apa adanya, yg jelas ga ada intervensi kan Mba....? eh...sibule /Misua juga ngga ngerti kan...? jadi lanjut lagi mba...AbiRizky

29 Agustus 2009 pukul 08.39  
Anonymous Anonim mengatakan...

Rina.....Rina...namamu ternama Rina...Rina...aku mengaguminya....

Semua orang hanya mampu di satu sisi tak mampu disisi lain. semua orang hanya hebat di satu hal lemah di hal lain....
Dulu waktu kau mendaftar Merpati....kita tidur bersama...saat itu aku juga merasa ingin sepertimu...
Ketika kau melalang dunia, kartu berbagai area kau kirimkan padaku (kalau yang ini persis ayahanda K.H. Hamam Dja'far waktu di Amerika)....dan saat aku ditempat yang sangat sempit mendampingi suamiku ambil spesialis (hehe suamiku nggak mau memanfaatkan fasilitas mertua jadi apa adanya...) kau dari Patra jasa juga sempatkan menengokku dilorong yang memprihatinkan.....Sampai di Purwokerto kinipun....kau telah tahu dimana keberadaanku. RINA ITULAH DIRIMU.....mana mungkin aku bisa mendurhakaimu....(durhaka untuk Tuhan dan manusia berbeda ya....) tak mungkin juga bagiku tidak menyukai tulisanmu....

Kartu yang kau kirim itupun aku selalu baca dengan penuh rindu...
Berbahagialah kau di sana...
menulislah lagi...
Belum puas rasanya aku membacanya....
Ida Muna.

29 Agustus 2009 pukul 08.57  
Anonymous Anonim mengatakan...

Nuri, Yuni, Abi Rizky, Ida Muna and teman2 Angera lain.... boleh gak aku pinjam Jempol tangan kalian...Kedua jempolku tidak cukup untuk mengagumi cerita ini. Rin.. Kamu Hebat (CECEP)

29 Agustus 2009 pukul 16.46  
Anonymous Anonim mengatakan...

Biarlah kisah romantika santri ini dituntaskan rina. Dengan cara bertutur seperti itu, insya allah banyak penerbit yang siap menerbitkannya. /ries

29 Agustus 2009 pukul 20.16  
Anonymous Anonim mengatakan...

saya rasa bukan hanya penerbit, para penulis skenario juga dah siap tuk menuangkannya, bukankah kita memilikinya ? hanya perlu dicari PH yg mo memproduksi berikut aktris & aktornya, biar cerita / pengalaman ini ga hilang ditelan masa...AbiRizky

30 Agustus 2009 pukul 00.14  
Anonymous Koncone Aziz mengatakan...

Cep... jempolku ikut di itung ya...! capnya pakai tinta pemilu, awet, tak lekang kena panas, tak luntur kena hujan....wahh wahhh sip markusip, tulisane mbak Rina Suger...alamiah, mengalir lancar seperti kali Pabelan... cocok untuk suplemen bulan Puasa...ditunggu kelanjutannya... jangan lama-lama ya...! sukur sambungannya terbit Idul Fitri nanti..untuk hidangan lebaran.. biar Hari Raya tambah fresh....( Cah Mbelan )

30 Agustus 2009 pukul 01.00  
Anonymous Anonim mengatakan...

Pada miladnya yg ke 44, 28-8-09, PPabelan mendapat kado istimewa dari 'anak kandung'nya, RINA. Kado apalagi yg lebih istimewa dari sebuah 'testimoni' jujur akan kebermaknaan PP dlm kehidupan anaknya sendiri.....lebih2 diungkapkan dlm kemasan sastrawi yang menyejukkan hati.....
Yuk, pada nulis..... Tulisan2 seperti ini, layak dikoleksi dan diterbitkan untuk kado pada HUT ke 45 PP nanti. Bagaimana Angera?/RM.

30 Agustus 2009 pukul 12.13  
Anonymous Anonim mengatakan...

Mata ini rasanya tak mampu lagi berkedip takjub oleh gores penamu yang (seperti kata Nuri) mewakili semua gejolak yang pernah kita alami dulu.
Semua menunggu n selalu rindu ceritamu Rin... lagi n lagi.. fatra

31 Agustus 2009 pukul 02.40  
Blogger RINA RAISTA mengatakan...

Terima kasih teman teman membaca komentar kalian menyejukkan hatiku ( dulu ketika aku meninggalkan pabelan aku merasa seluruh dunia ikut membenciku ) mudah mudahan harapan kalian menjadi kenyataan. amien...

31 Agustus 2009 pukul 10.11  
Anonymous Anonim mengatakan...

Ternyata enggak kan rin? Mbok jangan bikin sandiwara sendiri dg skenario dari pikiranmu sendiri. Biarlah sejarah berkata pada masanya.kini paling asik mengenangnya dg cara masing2. Jadi tak ada alasan untuk berhenti berbagi diary2 indahmu. Mau yg menyesakkan dada jg boleh (ini jg untuk yg laen,boleh curhat intuk dpt feedback), karena kita sudah tua2, uban membuat kita semakin bijak. Ubanku dah 5 - 8 lho. Tua ya/yun-l uv.

31 Agustus 2009 pukul 11.12  
Anonymous Anonim mengatakan...

Husss....jangan ngomongin uban ah, malu ! BTW kenapa gak dijelasin secara detil 5 - 8 opo, 50 lembar atau 800 lembar uban yang sdh ada di kepala Jeng Yunche? Kapan kita bikin 'penampakan' lagi di airport? Peace.....forever peace deh ! >ZMF

31 Agustus 2009 pukul 11.22  
Anonymous Anonim mengatakan...

ehm...ehm....
asyik deh....di tunggu cerber nya loh Rin....Q suka...!!!

ooOO Mys OOoo

1 September 2009 pukul 09.13  
Anonymous Anonim mengatakan...

poko'e kalo masalah romantisme masa remaja ato masalah asmara tempo dulu, dijamin bu Kaji duduknya paling depan tuk mendengar sambil menyimak BIL JIDDI WAL IJTIHAD, tapi jangan ditanya kalo masalah pelajaran Aljabar ato Ilmu Ukur materinya pa' Kodrat.....bisa lari tunggang langgang ke warung baso bati'an ato manggil mas Pingi tuk nyalakan diesel sambil lebar2 membuka jendela agar suaranya bersaing dgn Ustadz...betul nopo 'njeh bu...? AbiRizky

3 September 2009 pukul 10.47  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda