Jumat, Mei 01, 2009

Urat Guru terulur di kelasku (2)

Tapi kebadunganku tidak sendiri. Entah apa mau Tuhan, sehingga Dia mengumpulkan orang-orang bengal dikelasku Angera. Tapi bengalnya kami tetap berusaha kreatif, kayaknya tidak terlalu bodoh,kritis dan kata orang cantik-cantik plus menarik. Aku bukan salah satu dari kalimat terakhir ini. Yang jelas,kata kakak dan adik kelas, kelas kami seperti gudang aneka bakat. Dari yang super pintar macam Meimun Baroroh, super alim Nina dan mbak Ambar, super berseni (buanyakk), super ceriwis dan super muacem-muacem. Lomba mendekor ruangan muhadoroh cukup hebat. Lomba pidato beberapa sering menyabet juara, lomba pramuka se jateng juga tidak mengecewakan, drumband? Keren!! Nyanyi? Kecill!!

Balik ke kelas dan topik guru lagi...Kontrasnya, dikasih guru tua kami sebel, dikasih guru muda kami usil. Kebayang kan sepanjang pelajaran ada kawan-kawanku yang tidak mendengarkan penjelasan sang guru yang barangkali sudah mempersiapkan 3 hari untuk masuk kelas? Tapi yang kami lakukan malah membuat score,berapa kali guru ini melirik ke A, ke B atau ke C. Lalu secara sepihak kami gosipkan seakan memang mereka ada sesuatu. Pak Zuhad termasuk salah satu dalam deretan yang sering kami score lirikan-lirikannya. Padahal barangkali beliau tidak tahu apa-apa. Beliau mengajar Bidayah Mujtahid yang oleh beberapa kawanku kurang diminati karena berlogika, tapi beberapa tema menarik. Yang jelas, begitu pak Zuhad keluar,bukannya kami mendiskusikan karya besar Ibnu Rusd itu, tapi kami langsung ramai mencocokkan apakah score satu dengan lainnya klop! Siapa yang paling banyak dilirik...Ampunnn!

Lalu ada pak Iqbal guru qiroáh yang hanya salah model rambut, seperti dapat petaka di kelas kami. Betelan atau belahan rambutnya terlalu jatuh miring mendekat kuping plus pakai minyak rambut yang basah kuyup. Oh my God ! kelas kami kan seleranya sok tinggi-tinggi, jadi pasti jadi masalah besar! Pak Iqbal kami gojlok dengan bahasa tubuh untuk menjenakainya, beliau tahu itu! Salah tingkah tidak karuan! Tapi mau marah juga tak bisa, karena penghinaan kami tidak kongkrit! Beliau juga kami gosipkan dengan salah satu teman kami yang mungil. Sontak, pas beliau keluar, kami menjejerkan pulpen panjang dengan tutup pendeknya dan meledek bahwa ini ibarat pak Iqbal berjejer dengan kawan kami itu..Kami tertawa ngakak ceria dan hingar bingar!!!

Pak Fuad? Kami romantis dengan beliau. Ngajarnya enak dan cukup memahami kebadungan kami. Pas beliau bilang mau berhenti mengajar, kami histeris menangis. Kalau tidak salah salah pamit menikah. Kami seperti tidak rela, pokoknya guru tidak boleh menikah!! Mereka milik kita!! Tapi mau gimana lagi? Lalu dibuatlah perpisahan mengharu biru. Kami gudang jagoan bikin puisi. Jadilah beberapa puisi dan minta sahabat yang murah air mata untuk membacakannya. Huh..so blue...Tapi apa yang terjadi? Pak Fuad nongol lagi beberapa kali. Please pak Fuad, lain kali kalo habis perpisahan jangan muncul lagi biar asik...begitu kira-kira ungkapan kami saat itu.

Pernah juga guru Ushul Fiqh pak Abdul Muíd jadi korban kejahatan kami. Karena cara ngajar beliau menyeramkan dan bikin stress, karena wajib hafal dan menyetrap. Lalu kami analisis, apa yang beliau suka dan tidak suka. Akhirnya ketahuan, rupanya beliau tidak suka suara berisik diesel yang persis di pojok kelas Kalpataru kami. Yup! We got the best idea! Tiap beliau mau masuk, kami sounding teman-teman. Kalau mayoritas tidak hafal dan wajah sudah pada menegang seperti Saddam Hussein menunggu tiang gantungan. Kami langsung lari panggil pak Tukang, kami cari Pingi yang kooperatif karena bisu, sehingga tidak banyak tanya . Dia kami minta nyalakan diesel dan jendela kami buka lebar-lebar, kalau perlu tembok kelas kami bobolll. Betul saja! Tokcer! Pak Dul tutup telinga dan pergi….Wow..bahagianya kami. Tapi pas kami tua menyesal sekali….Ingin membalik waktu dan pingin mengajak Pingi juga meminta maáf.

Pak Rajasa? Ini wali kelas kami yang nggulo wenthah (merawat total) sejak kami bayi jadi santri. Tahu betul dari A sampai Z, satu persatu karakter kami. Kami tahu bahwa beliau cukup stress menghadapi kebadungan yang sudah melampau urat kesabaran beliau. Bahkan beliau mengakui, gara-gara terbiasa menghadapi murid super bengal seperti kami, beliau jadi tertraining untuk hadapi murid type apapun. Bayangkan saat itu, beliau lagi mengajar dengan serius tentang tarbiyah, kalau kami bosan (bukan karena mengajarnya tidak enak, tapi karena pas sudah siang bolong dan lapar), padahal bel masih lama…..Apa yang kami lakukan buat menyelesaikan kelas secara sepihak? Kami berdiri tanpa malu hati, membetulkan sarung tanda bersiap pulang! Lalu menata buku diatas meja“jebrak-jebrak” satu memulai semua ikut. Jadi seperti memaksa pak Rajasa mengucap kalimat terakhirnya untuk menyudahi pelajaran dan mengucap salam! Belum lagi dengan tatapan kami yang menekan, pasti pak Rajasa gerah saat itu! Kebayang kan kalau dalam posisi beliau! Belum lagi kami sering berdiri melongok ke jendela Kalpataru keluar mengintip siapa tahu ada santri putra yang lewat dibelakang kelas.

Pernah suatu kali karena kesabaran beliau habis, kami ber-6 (Lily, Neni, Yuni, Wati, Aan..dll) dipanggil ke ruang guru. Peristiwa begini artinya memang sudah terlalu. Tapi mau dikata apa? Pak Rajasa menasehati panjang lebar, lalu kami diam. Kami menunduk sambil menutup mulut dengan kerudung. Lalu pak Rajasa bertanya ini itu untuk meminta jawaban kami. Tapi kami diam semua seribu bahasa. Tambah kesal beliau..lalu bertanya? Kenapa kalian? Kami masih diam! Kenapa kalian? Kami bertahan diam. Kenapa?????? Ada yang nyeletuk jawab: “sariawan pak..”. Ya sariawan yang sembuh total begitu keluar dari ruang guru! Ampunnnnn!!

Aduh, bandelnya..salah makan apa orang tua kami? Rasanya mereka-mereka solih solehah dan bagus-bagus. Ironisnya, obat bandel begini tidak bisa disembuhkan dokter Wasán dan obatnya tidak ada di apotik Muntilan…

Tapi reuni 08 kemarin mengharukan. Semua guru hadir, ada yang tampak lebih sepuh dari usianya, ada yang masih bugar dan ceria. Yang jelas mereka masih bijak-bijak dan rasanya kami ingin bersimpuh bahwa kami ada dan tumbuh karena mereka. Ada pak Mahfud yang wajahnya selalu mengayomi dan teduh. Pak Zuhad bilang bahwa semua kita adalah murid, tidak ada guru! Pak Barmawi pak Fuad dengan ceria dan bijaknya menjelaskan apa itu guru. Pak Balya dengan pak Mad juga menajamkan hal-hal arif. Pak Rajasa juga menyampaikan hal yang mengharukan “dulu kami bilang bahwa suatu kali pasti kalian yang gantian jadi guru kami”. Sikap andap ashor beliau yang luar biasa yang mengajari kami lagi. Beliau juga telaten datang ke berbagai acara reuni, mengikuti acara-acara pentas seni, lalu bersedia maju memberi hadiah untuk acara-acara usil “Beginilah santri, ada yang bandel, ada yang lurus, ada yang baik..semuanya tetap santri”. Kami seperti dirangkul lagi, diterima dan dibiarkan apa adanya. Hati kami tidak akan pernah menyebut mantan guru..karena guru adalah pendidik kalbu sepanjang waktu. Puluhan tahun tidak bertemu, tetapi mantera-mantera masa lalu sudah menyatu dalam lipatan-lipatan buku dan nadi hidup kami selalu. Sungkem bakti dan doá anak-anak batinmu guruku, guru kami..../yc

Leiden, 18 Juli 08

Label:

4 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

Semua kata yc itu mengingatkan lagi bagaimana nakalnya kami dulu. Ada yang serentak, sendiri-sendiri dan yang paling sering suka nempel tulisan nyeleneh di belakang punggung kawan. Semua itu memang pernah terjadi bahkan sering. Aku sendiri bahkan berani bawa radio dlam kelas. Kalau lagi bete dalam kelas, tak mood dengan guru yang ngajar, ada aja biar suasana tak jengah, dan bergairah lagi. Lebih parah lagi kadang-kadang kabur, karena pelajaran hari itu tak menarik. Untung yc pandai sekali mendiskripsikan sedemikian rupa. Apa yang dikatakannya, memamng mewakili kami semua. Mungkin beberapa orang saja yang tidak, tapi tak mampu mencegah kebandelan itu. Untung lagi, kami semua naik dengan nilai yang lumayan, walau cara belajar kami berebda-beda. Pabelan, memang penuh kenangan, dari semua sisi. DI kamar, di sekolah, di luar, ekskulnya, bahkan kamar mandi pun punya cerita unik./nj

1 Mei 2009 pukul 17.46  
Anonymous Anonim mengatakan...

Vikra...., Vanda....,
Coba cerna cerita "uswatun Hasanah" dari ibumu. Konon ada yg bilang (entah siapa & lupa juga saya baca dimana) bahwa yang menghambat kemajuan itu dua hal: 1). tidak mengikuti aturan 2.(terlalu) mengikuti aturan. Haha ha ha CECEP

1 Mei 2009 pukul 19.05  
Anonymous Anonim mengatakan...

For bu kaji, jadi foto artis cilik th 80 itu yg bikin marah karena rambutnya dibilang mirip dgn Ustadz Iqbal....ya ga pa2lah, kan sekarang dah tertutup terus jadi ga perlu marah lagi.....mba Yuni, tega2nya sampai melibatkan Pingi tuk nyalakan diesel.....suwer lho mba..aku ketawa-ketiwi sendiri ketika membaca artikel ini didepan monitorku, apalagi aku memang kerja sendiri didalam ruangan tidak seperti divisi yg lain....dan kalimat yg membetulkan sarung & menggebrak buku2 karna ingin segera selesai, itu yg membuat Ustadz Rajasa merasa jengah berdiri didepan kaum hawa... Ya Allah.... ada2 saja ulah yg dikerjakan oleh santri, bisa jadi keseharian kita seperti ini yg bisa membuat kita bahagia, sekalipun jauh dari orang tua...AR

2 Mei 2009 pukul 10.46  
Anonymous Anonim mengatakan...

Sebenernya kalau di score, bandelku urutan diatas 15 deh di kelas. Cuma yang lain pada belum buka-bukaan...kita tungggu yang lain deh...ayo dong......kalo bu RT dah banyak jujur...bu kaji selalu jujujur solekhah...padahal dulu colek-ahhh...lily sebagai salah satu biang juga punya segudang cerita....fatra? jangan tanya....di kelas itu ada lagi helmi yang jago nulis, ada Ida muna yang juga badung, ada neni aan yang usil banget...adik-adik kelas dan kakak kelas juga banyak yang badung dengan cerita seru...hayuuuukkkk tulisss../yc

2 Mei 2009 pukul 14.16  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda