Selasa, Desember 02, 2008

PERJALANAN MENUJU NEGERI MBELAN


Ini fotoku, mgkin tahun 1989 atau 1988 waktu aku kelas tiga ato empat.
Ini foto waktu lomba pidato bahasa inggris, di depan perpustakaan.
nama asliku Mustofa, tapi sejak 2001 ketika menulis di surat kabar aku
imbuhan nama ayahku, dibelakang nama asliku.

Salam,

MM

PART XII

Dan Ustad Habib adalah salah satu mutiara langka itu. Datanglah ke rumahnya, atau temui ia di kala senggang, ia pasti akan menyambut kita dengan hangat, sehangat teh yang dihidangkan. Ia tak pelit mengeluarkan senyum sumringahnya pada tetamu yg datang. Itu bukan karena senyum itu gratis, tapi pertanda kehangatan kemanusiaan yg tak setiap orang mau dan mampu melakukannya.


Ane menangkap kesan-kuat bahwa ia selalu menganggap semua orang penting, tak peduli apakah orang yg ada di hadapannya itu “minal fuqoro’ wal masakin” ataukah tidak, datang dari Kalimantan ataukah Blangkonan, bergelar profesor doktor ataukah jebolan sekolah ongko loro (sekolah kelas rendah zaman dulu) dari Paremono sono: semua diperlakukan sama.

Ia memang santri Jawa yg pandai bergaul, dan mudah beradaptasi dengan siapa saja. Langkahnya jauh, sejauh visinya. Seperti Kiai Hamam, hati Ustad Habib bagai samudra yg siap menampung siapa saja, apa saja, kapan saja. Adakah Ustad Habib juga yg dulu kerap membawa anak2 muda, tokoh berbagai agama dan budayawan datang ke Pabelan, untuk berdiskusi atau berkenalan dengan Kiai Hamam? Jika ini benar, maka ia adalah jembatan yg menghubungkan dunia luar dengan Pabelan.

Karena itu pula ia, seperti disebut di atas, kerap melakukan perjalanan ke luar negeri; dalam rangka ini, dalam rangka itu, mewakili lembaga ini, lembaga lembaga itu, diundang negara ini, negara itu, menerima penghargaan ini, penghargaan itu.

Sekitar empat tahun silam, ketika ane masih suka ber-sms ria kepada Ustad Habib, ia kerap berkirim kabar jika hendak pergi ke luar negeri. ”Pada tanggal sekian, saya akan berangkat ke negara…, untuk menghadiri…,” begitulah cara Ustad Habib mengabarkan kebahagiaan kepada santrinya. Ia seperti membangkitkan semangat ane untuk sesekali melongok kolong langit lain atau menginjak bumi Tuhan lainnya:). “Bukankah bumi Tuhan teramat luas?”, begitu kata Al-Quran. Dan mengingat ayat (dan isi sms) itu, ane jadi malu sendirian.

Setelah menyampaikan rasa bungahnya atas terbitnya buku Kiai Hamam, diselipi pujian atas foto Kiai Hamam di buku itu, ia mengutip sebuah ayat Al-Quran yg berbunyi, “Man Jaahadu fiina lanahdiyannahum subulanaa, wa allah lama’al mukhsiniin”….Barangsiapa bersungguh-sungguh (berjuang mencari keridhaan) di jalan Kami, niscaya akan kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS A-Ankabut: 69)

Dua kata kunci dalam ayat yg dikutip Ustad ini: Pertama, sungguh-sungguh kala berjuang dan kedua, janji akan ditunjukkan (kepadanya) jalan-jalan. Ayat itu dulu juga pernah dikutip Ustad Habib dalam sambutannya pada acara ulang tahun pondok pada tahun 2005. Ane usil bertanya, tentu dalam hati, mengapa ayat ini menjadi “ayat favorit” Ustad Habib? Energi dahsyat apa yg tersimpan dalam ayat ini, hingga ia kerap mengutipnya, serta apa signifikansinya terhadap Kiai dan Pondok Pabelan?

Ane akan meletakkan semua itu dalam satu konteks: perjuangan Kiai Hamam kala mendirikan pesantren. Alkisah, jalinan persahabatan Kiai Hamam dan Ustad Habib terbina sejak lama, beberapa tahun setelah Kiai Hamam mendirikan pesantren. Ustad Habib adalah saksi penting yg melihat dan menemani Kiai Hamam saat bersusah-payah membesarkan pesantren. Ia melihat kesungguhan, keseriusan dan gairah luar biasa Kiai Hamam untuk melihat hasil jerih payahnya bisa membuahkan hasil, kelak.

Kesungguhan itu pula yg membuat jalan Kiai Hamam mengembangkan pesantren tampak mulus—meski tetap ada kelokan dan lubang. Jalan yg dilalui para pejuang toh tak selamanya bertabur bunga atau puja-puji atau sorak-sorai tepuk tangan. Yg terjadi bahkan kerap sebaliknya: Penuh risiko dan tantangan. Tapi seperti dikatakan Fazlur Rahman, guru dari kolega Kiai Hamam, Cak Nur: Jika orang hanya ingin aman, jangan berkata apa-apa, jangan berbuat apa-apa, jangan jadi apa-apa (Say nothing, do nothing, be nothing).

Dan janji-Nya untuk membukakan atau menunjukkan bukan hanya satu “jalan” (“subulana”, Ustad Habib kerap mengulang-ulang kata ini) kepada mereka yg bersungguh-sungguh berjuang di jalan Allah, pasti akan dibayar lunas.

Seperti Kiai Hamam, Ustad Habib adalah tipikal manusia yg sanggup melihat hal positif pada segala hal, termasuk bencana alam. Kedua sosok ini ane kira mewakili tipologi manusia yg tak “nglokro” (satu istilah yg kerap disebut kiai: mungkin arti harfiahnya adalah “menyerah”) pada keadaan dan berusaha mencari sisi-sisi positif dari kejadian2 atau bahkan peristiwa2 alam. Selalu ada rahmat terselubung (blessing in disguise) pada setiap keadaan. Begitulah barangkali salah satu semboyan hidupnya.

Tentang meletusnya Gunung Merapi, misalnya, Ustad Habib pernah berkata, pembangunan berarti mengubah bencana menjadi rahmat, dan potensi menjadi aktualitas. Batu, kerikil, dan pasir kiriman dari perut Gunung Merapi akhirnya menjelma menjadi pesantren yg dikagumi banyak orang.

Kisah batu kali dan konco-konconya itu pula yg dulu menjadi salah satu modal penting pertama Pabelan dan Kiai Hamam. Syahdan, Kiai Hamam membawa 35 santri pertamanya ke Sungai Pabelan. Di situ, di sungai yg dulu kita (biasa) mandi (telanjang) itu, Kiai Hamam berdiri gagah sembari menunjuk hamparan batu-batu yg berjejal di tengah, kanan, dan kiri sungai seraya berujar kepada santri-santrinya:

“Batu ini belum Islam. Batu ini baru berguna dan berfungsi kalau sudah menjadi bangunan, atau kalau dijual dan hasilnya digunakan untuk mencari ilmu. Berfungsi, itulah Islam,” kata Kiai Hamam pada santri2nya. Falsafah hidupnya tegas: Orang hidup harus berfungsi, harus bekerja, harus berguna. Di kamus kehidupan Kiai Hamam itulah idiom-idiom semacam plentung pess, atau imbas-imbis—sikap hidup yg pas untuk melestarikan segala bentuk ketertinggalan peradaban--tak mendapat ruang.

Ane tak tahu apakah Kiai Hamam pernah membaca Sang Nabi-nya Kahlil Gibran dan dipengaruhi olehnya. Sebab jika pun ia tak pernah membacanya, namun cara kiai melecut semangat santri-santri pertamanya dan isi nasihatnya senafas dengan spirit Gibran berikut: “Tetapi aku katakan pada kalian, bahwa ketika bekerja kalian sedang memenuhi puncak tertinggi cita-cita dunia, yg akan dianugerahkan kepada kalian sendiri ketika cita-cita itu terjelma. Dengan selalu menyibukkan diri dalam kerja, berarti kalian sedang mencintai kehidupan. Mencintai kehidupan dengan bekerja adalah menyelami rahasia hidup yg paling dalam.”

Dan batu, kerikil, dan pasir itu pula yg akhirnya menjelma menjadi pesantren; sebagian yg lain dijual ke AKMIL, Magelang, dan hasilnya digunakan untuk membiayai hidup pesantren. Demikian seterusnya hingga Pabelan bisa berdiri gagah dan sanggup “berbicara” di level nasional dan internasional. Dan seperti dengan lirih dibisikkan Gibran, Pabelan dan founding father-nya telah “dianugerahkan” aneka rupa penghargaan “ketika cita-cita itu terjelma”.

Meskipun demikian, sodara2 sekalian, ketahuilah, “Pabelan maju bukan karena dibantu. Tapi dibantu setelah maju,” begitulah Kiai Hamam pernah mengatakan itu dalam satu khutbahnya dulu. Ane tak ingat persis pada konteks apa teks-teks (kalimat2) itu diucapkan Kiai Hamam. Yg terang, setelah berlelah-lelah dan berkeringat melahirkan, membangun, dan merawat pesantren, banyak bantuan diterima Pabelan, baik dari pemerintah daerah, provinsi, atau pusat (presiden), baik dari dalam ataupun luar negeri.

Dan bantuan2 itu diberikan SETELAH Pabelan menunjukkan pada dunia bahwa pada mulanya Pabelan hanyalah sebuah desa miskin, terbelakang, dan berada di titik nadir peradaban manusia. Transformasi sosial-ekonomi- kultural desa ini ane kira akan berjalan bagai siput jika Kiai Hamam tak merevitalisasi pesantren yg sebelumnya mati suri itu. Dan Pabelan tidak akan menjadi objek penelitian banyak orang kecuali tentang kemiskinan warga2 Desa Pabelan yg memerihkan.

Pada titik ini, Ustad Habib membenarkan apa yg sebelumnya disampaikan Almukarrom Ustad Ahmad, bahwa bagi Kiai Hamam, Pabelan adalah hal terpenting dalam hidupnya. Dan karena menjadi “hal terpenting” itu pula, Pabelan diperlakukan melebihi segalanya, siang malam. Dan seperti para pengubah dunia (masyarakat) lain—dari Gandhi sampai Khomeini, dari Mao hingga Sukarno, Kiai Hamam memandang cita2 perubahan masyarakat sebagai sesuatu yang terpenting dalam hidupnya hingga tetirah (berleha-leha) adalah hal mewah bagi hidup mereka. “Istirohah (maksudnya istirahat) adalah tabaddulil a’mal,” begitu nasihat kiai, di suatu pagi yg cerah, dulu. Dari duduk ke berdiri, demikian Kiai melanjutnya, “atau dari berdiri ke duduk, itu namanya istirahat.”

Ane tidak tahu persis adakah Ustad Habib hendak menyorongkan ucapan-ucapannya itu pada para alumni yg datang, pimpinan, para asatid di ma’had, dan membukakan mata batin mereka untuk meniru dan meneladani Kiai Hamam. Sebab Ustad Habib tak secara eksplisit menunjuk pihak2 tertentu kala mengucapkan ayat itu atau kala ia—bagai seorang mufasir handal—mencoba menafsirkannya. Pada mulanya, dan pada akhirnya, Ustad Habib adalah seorang santri Jawa tulen. Dan untuk ini semua, atau karena itu semua, kita tahulah apa yg selayaknya dilakukan para pimpinan pondok, setelah mendengar uraiannya.

Di panggung itu, Ustad Habib seperti tengah membayangkan Kiai Hamam seraya bergumam dalam hati: Ustad Hamam (begitulah ia menyebut almarhum) telah menyumbangkan seluruh hidupnya untuk mengurus pesantren. Ia terjun langsung, mengajar, berkeliling pondok, melongok kolam2 ikan di komplek putri, mengontrol santri yg tengah bulis atau menegur santri yg tdk terjadwal bulis tapi ikut bulis, melongok aktivitas santri putra dan menegurnya jika berbuat yg aneh2, atau melihat-lihat pohon rambutan atau pohon matoa atau pohon kelapa atau pohon nangka atau pohon mangga atau pohon apel putih (strapel) yg habis dicuri tadi malam secara berjamaah atau nafsi-nafsi (sendiri-sendiri) oleh santri2-nya.

Dan dengan peluh itu pula, Kiai Hamam pelan-pelan dapat menghapus kutukan derita (kemiskinan, kebodohan, dan kegelapan khas kalangan bawah lain) warga Pabelan.

Tak heran jika kini nama Kiai Hamam tertambat dan akan terus tercatat di sudut hati Pabelan, para santri, dan alumni2-nya, hingga ujung waktu nanti. Dan demikian pulalah semestinya kita tempatkan Ustad Habib, di sini, di hati ini, sampai nanti.

(Masih bersambung, Insya Allah)

Vila Pamulang, Minggu, 30 Nov’2008
Mustofa Muchdhor,

Label:

2 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

Inspiratif... I like it so much ...

4 Desember 2008 pukul 13.34  
Anonymous Anonim mengatakan...

Aku suka narasi ini..termasuk kesan n penilaian tentang profil ustadz Habib yang senantiasa menganggap penting siapa pun orang di depannya. Bagiku, beliau adalah "guru" sejati. Seharusnya kita (maksudku adalah aku) yang secara formil sebagai guru memiliki spirit itu, tetapi ternyata ketika kita coba "bumikan" kesejatian itu, kita belum bisa.. (Fatra)

6 Desember 2008 pukul 15.00  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda