Kamis, November 20, 2008


logo SUARA MERDEKA
Line
Minggu, 01 Oktober 2006 BINCANG BINCANG
Line

Suka Membahagiakan Orang Lain

BERPUASA pada masa kanak-kanak bagi Komaruddin Hidayat mempunyai kenangan sangat berarti. Secara intensif Komaruddin kecil diajak orang tuanya ke masjid pada bulan suci. Di masjid terdapat sekumpulan teman serta berbagai kegiatan yang sangat menyenangkan. "Saya dan teman-teman akhirnya menjadikan masjid sebagai tempat merencanakan apa saja yang bisa dilakukan untuk mengisi puasa. Saat itu saya merasa masjid kampung seperti memiliki magnet," kenang Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang ini.

Dari kumpul-kumpul bersama teman di masjid, lalu muncul ide buka puasa bersama dengan cara membawa makanan dari rumah masing-masing dan donatur. Acara itu menjadi selingan buka bersama keluarga di rumah. Lalu mereka juga merencanakan kegiatan pawai obor, membangunkan orang sahur, dan sebagainya.

Dari pengalaman selama kanak-kanak dan remaja di Pabelan, Magelang, Komaruddin mengimbau agar orang tua tidak segan-segan mengajak anak ke masjid sejak usia dini. "Kalau pas di masjid keluar nakalnya ya wajar saja, wong namanya anak-anak," kata pria kelahiran Pabelan, Muntilan, Magelang, 18 Oktober 1953 ini.

Komaruddin juga merasakan suasana Ramadan yang bahagia saat dia menjadi santri di Pondok Pesantren Pabelan. Waktu itu KH Hamam Dja'far sering mengadakan lomba-lomba bagi santri. Lomba itu mulai dari yang berhubungan dengan mata pelajaran sampai pidato Ramadan, baca puisi dan sebagainya. "Yang menarik semuanya dapat hadiah, cuma beda kualitas. Ha... ha...ha.... Tapi yang penting Ramadan diisi oleh suasana yang giat, akrab, kompetitif, namun semuanya positif. Ini yang berkesan bagi saya sampai saat ini," kata putra ketiga (dari empat bersaudara) pasangan Imam Hidayat dan Zubadiah ini.

Sejak kecil dia bercita-cita menjadi pendidik. Cita-cita tersebut terilhami oleh Kiai Hamam Dja'far yang menurutnya pandai meramu metode pengajaran di Ponpes Pabelan sehingga bisa menghadirkan pendidikan modern ala pesantren desa. "Saya baru tahu di Ponpes Pabelan ada metode modern setelah saya sering membaca buku tentang pendidikan modern," kata suami Ait Mahdali ini.

Menurut dia yang diajarkan Kiai Hamam adalah sesuatu yang holistik, tidak dikotomis. Dengan demikian tidak ada yang namanya pelajaran agama 50 persen dan pengetahuan umum 50 persen. Yang ada 100 persen agama, dan 100 persen ilmu pengetahuan. "Jadi kami dikenalkan bahwa prinsip Islam itu mengikuti hukum kebaikan yang bersifat universal. Kami juga diajari berbagai keahlian seperti menyampaikan pendapat di muka umum, pidato, dan sebagainya. Kami dibekali keterampilan, lifeskill," kata ayah Zulfa Indira Wahyuni dan Dian Sukma Agustin ini.

Berbekal lifeskill dia menjadi berani merantau dari Magelang menuju Ciputat, Tangerang untuk menuntut ilmu di IAIN Syarif Hidayatullah. "Dengan lifeskill itu saya sadar bahwa bahaya bagi kita bila terjebak atau terbelenggu dalam comfort zone atau zona nyaman saja. Akibatnya kita tidak berani bereksplorasi, tidak berani merantau," kata Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini.

Di kampus tersebut dia kuliah di Fakultas Adab selama setahun. Kemudian pindah ke Fakultas Tarbiyah sampai Sarjana Muda. Namun pada akhirnya gelar Sarjana diraih dari Fakultas Ushuluddin pada 1981. Kemudian dia mendapat bea siswa ke Turki mengambil master di Middle East Technical University, Ankara dan meraih PhD pada 1990.

Komaruddin menyukai berprofesi sebagai pendidik, karena merasa bahagia bila bisa memberikan pencerahan atau memintarkan orang lain. "Kita akan bahagia kalau mampu membagi kebahagiaan kepada orang lain,," kata mantan Direktur Yayasan Paramadina yang kini menjadi Direktur Eksekutif Pendidikan Madania ini.(Hartono Harimurti-35)


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda