BERITA LAUNCHING BUKU DARI REPUBLIKA
"Kiai Hamam Dja`far dan Pondok Pabelan" Sebuah Kesaksian
Minggu, 09 November 2008
MAGELANG--Menteri Perhubungan (Menhub), Jusman Syafii Jamal, meluncurkan buku biografi berjudul "Kiai Hamam Dja`far dan Pondok Pabelan", kumpulan kesaksian para santri, kerabat, dan sahabat ulama pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Pabelan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu.
"Saya dulu menjadi salah satu santri kalong Kiai Hamam," katanya saat peluncuran buku itu yang antara lain dihadiri mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Achmad Syafi`i Ma`arif, pimpinan Ponpes Pabelan, dan para santri, di Ponpes Pabelan, di Magelang, Sabtu.
Ia mengaku, bertemu terakhir kalinya dengan Kyai Hamam pada tahun 1991. Kiai Hamam yang mendirikan ponpes itu pada tahun 1965 dan meninggal dunia tahun 1993, katanya, biasanya bisa ditemui pada malam hari.
Ia mengaku, sejak tahun 1978 sering menemui Kiai Hamam semasa menjadi pegiat mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), atau setelah terjadi penangkapan terhadap sejumlah pegiat kampus oleh penguasa Orde Baru. "Kalau pagi tidak bisa ketemu Kiai Hamam, tetapi setelah Isya, bicara sampai pukul 05.00 WIB, maka kami disebut santri kalong," katanya.
Pada kesempatan itu Menhub Jusman bercerita tentang kenangan atas beberapa kali pertemuannya dengan Kiai Hamam. Kiai Hamam adalah pemberi semangat bagi dirinya untuk melanjutkan kuliah di jurusan penerbangan di ITB.
"Saya dimarahi ketika berpikir akan berhenti kuliah. Kiai Hamam ketika itu mengatakan bahwa saya berarti menyerah, kalah, bukan ijazah yang penting tetapi apa yang sudah dimulai harus diakhiri sehingga saya menekuni sebagai mahasiswa penerbangan dan 21 tahun tidak pernah pindah dari dunia penerbangan," katanya.
Ketika itu, katanya, sejumlah mahasiswa ITB yang menjadi santri kalong Kiai Hamam sempat membuat saluran air dengan pompa hidran dari Kali Pabelan menuju ponpes yang berjarak sekitar tiga kilometer.
Ia menyebut kiai kelahiran tahun 1938 itu sebagai sosok yang selalu gembira.
Buku "Kiai Hamam Dja`far dan Pondok Pabelan" setebal 496 halaman itu diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, terdiri dari 43 karya para penyumbang naskah, sesuai dengan Hari Ulang Tahun ke-43 Ponpes Pabelandengan penyunting sastrawan, Ajip Rosidi.
Mereka yang menyumbang tulisan untuk buku itu antara lain terdiri dari 10 santri, tiga orang keluarga Kiai Hamam, enam guru Pabelan, tujuh sahabat Kiai Hamam yang sesama alumnis Ponpes Gontor, Jawa Timur, dan 17 orang sahabat Kiai Hamam.
Salah seorang pimpinan Ponpes Pabelan, KH Ahmad Mustofa, mengatakan, Kiai Hamam selama 28 tahun mengaktualisasikan dirinya melalui ponpes tersebut, berkomunikasi dangan berbagai kalangan, berpikir dan berkarya untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Pabelan, buah karya nyata Kiai Hamam, dan sekarang warisan kebaikannya diteruskan, kami memelihara yang baik dan mengambil yang baru, yang baik," katanya. Kini santri di Pabelan berjumlah sekitar 600 orang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Mantan Ketua Muhammadiyah Syafi`i Ma`arif, mengatakan, Kiai Hamam adalah sosok reflektif, pendamai, dan orang yang selalu memerbaiki diri.
Pewaris Pabelan, katanya, perlu melakukan pemetaan tentang berbagai pemikiran Kiai Hamam untuk kepentingan rekonstruksi Pabelan.ant/ya
***************************************************************************
'Penyimpangan' Kiai Hamam Dja'far
Kiai Hamam telah membasuh jiwa dan membuka pikiran anak-anak muda.
Jusman Syafii Djamal seharusnya lulus ITB tahun 1978. Namun, karena kesibukannya sebagai aktivis membuat kuliahnya terlantar dan baru lulus tahun 1983. Menteri Perhubungan itu melontarkan keinginnya berhenti kuliah kepada Kiai Hamam Dja'far. Saat itu ia masih nyantri di Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan, Jawa Tengah. Kiai Hamam marah kepadanya. ''Mengapa kamu harus berhenti dari ITB?'' tanya Kiai Hamam.
Ia menilai Jusman sebagai orang yang mudah menyerah dan kalah bertarung jika berhenti kuliah. Jusman membela diri, bahwa menjadi orang seperti Kiai Hamam tidak membutuhkan ijasah. ''Kamu sudah mulai, kamu harus mengakhiri,'' tandas Kiai Hamam.Nasihat Kiai Hamam itu diceritakan kembali oleh Jusman saat peluncuran bukuKiai Hamam Dja'far dan Pondok Pabelan di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (8/11). Berkat dorongan Kiai Hamam itulah, selama 21 tahun Jusman tidak pernah pindah dari dunia aeronotika.
Ia bekerja di IPTN mulai dari bawah hingga menjadi orang nomor satu menggantikan BJ Habibie sebelum dipensiun dini. ''Setelah dua tahun tidak ada pekerjaan, kemudian saya diangkat menjadi Menteri Perhubungan,'' katanya. Pelajaran paling berharga dari Kiai Hamam pada Jusman adalah perlunya selalu mengembalikan segala sesuatu kepada Sang Khalik. Itu berarti diperlukan pengembangan cinta kepada Allah SWT.
Jusman menjadi santri Kiai Hamam pada akhir pekan, Jumat malam berangkat dari Bandung dan sampai di Muntilan Sabtu pagi. Ketika berdiskusi, Kiai Hamam meminta Jusman untuk membuka telinga dan perasaan agar bisa menangkap amanah dari peristiwa yang mengalir dalam kehidupan sehari-hari.Di mata Jusman, Kiai Hamam rela mendengarkan keluhan anak-anak muda. Di situ Jusman menemukan ketenangan jiwa. ''Itu kesan yang beliau tumpahkan kepada kami. Artinya, di Pabelan ini yang saya peroleh sebagai Santri Kalong adalah bisa mendapatkan tempat untuk membasuh jiwa, membuka pikiran, mendengarkan orang lain dan menemukan keahlian yang terbuka untuk dilatih dan dikembangkan sesuai dengan karakter yang dimiliki masing-masing,'' kata Jusman.
Tak jauh
Buku Kiai Hamam Dja'far dan Pondok Pabelan merupakan kumpulan tulisan kesaksian santri, kerabat, dan sahabat. Buku setebal 496 halaman ini disunting sastrawan Ajip Rosidi dan diterbitkan PT Dunia Pustaka Jaya dan Pondok Pabelan. Penerbitan buku ini untuk mengenang 70 tahun Hamam Dja'far dan ulang tahun ke 43 Pondok Pabelan. Pondok Pabelan didirikan kembali setelah mati suri oleh Kiai Hamam tahun 1965. Ketika itu, Kiai Hamam masih berumur 27 tahun (lahir Sabtu Paing, 26 Februari 1938).
Penulis buku di antaranya, Komaruddin Hidayat, Ahmad Syafii Maarif, Ajip Rosidi, Adi Sasono, George Junus Aditjondro, Imam Munadjat, Muhammad Basri Bakri. ''Terbitnya buku tentang Kiai Hamam Dja'far menjadi sangat penting, karena jika tidak demikian jejak pemikiran dan tindakan kiai fenomental ini akan pupus ditelan musim,'' kata Syafii Maarif pada bedah buku. Hadir juga sebagai pembahas buku, KH Mahrus Amin, dan Muhammad Habib Chirzin.
Menurut Syafii, Kiai Hamam hampir tidak mewariskan karya tulis yang memadai untuk ditelusuri tentang apa dan siapa dirinya. Kesaksian para santri, keluarga, dan sahabat yang terekam dalam buku ini sedikit banyak telah menghadirkan sosok Kiai Hamam sampai batas-batas yang jauh, sekalipun belum sepenuhnya utuh.
Seorang santri menyebut Kiai Hamam sebagai ''Secara umum para santri memandang beliau sebagai sosok yang 'berjarak' tetapi 'terjangkau', terutama kalangan santri putri.'' (hlm 113). Berjarak pada saat santri perempuan dipandang telah melakukan sesuatu yang berada di luar 'alur dan patut', seperti bersiul. Apa komentar Kiai Hamam tentang hal tersebut? ''We la ... cah wadon kok iso singsot.'' (Anak perempuan kok bersiul). (hlm 115).
Jika diukur dengan kultur pesantren tradisional, Kiai Hamam justru telah melakukan 'penyimpangan' yang sangat berani dalam mendesain pesantrennya. Ia tak meletakkan kampus santri laki-laki yang berjauhan dengan kampus santri perempuan. ''Di Pabelan jarak antara dunia santriwati dan santri hanya beberapa meter saja. Kiai Hamam adalah pengawas agar tidak terjadi 'gesekan' buruk antara dua jenis anak Adam-Hawa ini,'' kata Syafii. hep
Sosok Kiai Hamam
Kiai Hamam adalah putra sulung dari dua putra pasangan Kiai Dja'far dan Nyai Hadijah. Diberi nama Hamam, karena lahir pada tahun Ehe, menurut penanggalan Jawa. Sedangkan adiknya bernama Ahmad Mustofa.Kiai Hamam berasal dari keluarga terpandang di desanya. Dalam keluarganya mengalir darah kekiaian yang diturunkan Kiai Mohammad bin Kiai Kertotaruno, pendiri Pondok Pabelan pertama. Kiai Mohammad merupakan pengikut setia Pangeran Diponegoro. Kiai Kertotaruno diyakini masyarakat setempat sebagai keturunan Sunan Giri, salah satu wali penyebar agama Islam di Tanah Jawa.
Setelah menamatkan Sekolah Rakyat (SR) di desanya, Hamam melanjutkan ke Sekolah Menengah Islam Pertama di Muntilan. Kemudian masuk Pondok Pesantren Tebuireng dan melanjutkan di Pondok Gontor, Jawa Timur, selama kurang lebih 11 tahun. Hamam berguru langsung kepada pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor: KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fanani, dan KH Imam Zarkasyi. Bahkan Hamam menjadi salah seorang anggota pengurus badan wakaf pondok pesantren Ponorogo tersebut.
Sepulang dari Gontor, Hamam mengantongi ijasah dari KH Imam Zarkasyi untuk mendirikan pondok. Hamam muda yang dipanggil ustadz bertekad menghidupkan kembali Pondok Pabelan yang didirikan leluhurnya satu setengah abad lalu. Berkat rahmat Allah SWT, berdirilah Balai Pendidikan Pondok Pabelan pada tanggal 28 Agustus 1965. Waktu itu Hamam bertekad jika dalam waktu lima tahun tidak berhasil mengembangkan pondok, akan menjadi penulis yang baik. Kalau tidak jadi penulis, berusaha menjadi orang kaya agar bisa menggapai cita-citanya.
Ternyata berhasil. Semula santrinya hanya berjumlah 35 orang, namun dalam perkembangannya bisa lebih dari 1.000 santri. Kini Pondok Pabelan mempunyai 600 santri. Hamam menikah dengan Djuhanah Rofi'ah, putri Kiai Bakir, pada 1964. Mereka dikaruniai dua anak yaitu Ahmad Najib Amin (1966) dan Ahmad Faiz Amin (1971). Kiai Hamam pernah mendapat penghargaan The Aga Khan Award for Architecture pada 23 Oktober 1980. Kiai Hamam pernah menjadi bintang film 'al Kautsar' garapan sutradara Chaerul Umam dan skenario ditulis Asrul Sani. hep
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda