Oleh: Cecep Suhaeli
Menjelang peringatan kemerdekaan itu tiba, umbul-umbul berjejer di sepanjang jalan. Botol dan gelas plastik bekas minuman dengan cat merah putih bergelantungan di sepanjang rumah penduduk. Spanduk-spanduk melintang diantara tiang dan pepohonan. Bendara berkibar di setiap halaman rumah dan perkantoran. Proposal terbang dan mengetuk pintu-pintu warga, kantor perusahaan, lembaga dan instansi. Panggung pun didirikan. Sebuah pesta besar-besaran digelar di mana-mana.
Demi pesta, para orang tua bermain seperti anak-anak. Jalan umum dipagar seenaknya. Jalur kendaraan dibelokkan entah kemana. Bagai Pahlawan kecil, anak-anak muda dengan ikatan di kepala, menyetop kendaraan untuk sekedar sumbangan.
Pada sebuah pesta, pak Lurah berpidato dihadapan rakyatnya; “Saudara-saudara! yang terpenting bagi kita sekarang adalah bagaimana mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya, menjaga kebersihan, keamanan dan ketertiban. Tidak lupa pula membayar pajak………dan seterusnya”. Pidato selesai. Hadirin bertepuk tangan. Lampu warna warni dinyalakan. Dan anak-anak yang telah berminggu-minggu berlatih, menari diatas pangung. Berlenggok menirukan kuch kuch kutahe. Pak lurah permisi dan berlalu. Bulan ini bulan sibuk. Ia harus berpidato juga di Rw lain dengan pidato yang sama.
Peristiwa ini terus berulang setiap tahun tanpa perubahan. Berlalu tanpa makna.
MERDEKA ATAU MATI ! kalimat dengan tanda seru itu keluar hanya sebagai kata-kata. Tanpa karisma. Tanpa wibawa. Padahal MERDEKA ATAU MATI adalah ajimat sakti laluhur kita. Kalimat yang mampu menghalo meriam hanya dengan sebatang bambu. Kalimat yang tidak takut oleh bedil dan senapan. Apalagi oleh sebutir mercon yang dilledakan di Braga Bandung atau di KPU Jakarta.
Enam Puluh Tiga tahun silam negri ini merdeka. pernahkah kita memproklamirkan diri sebagai orang yang merdeka. Sudahkah bendera kemerdekan itu dikibarkan diatas kepala kita sendiri. Sudahkah umbul-umbul dan spanduk kemerdekaan itu kita hamparkan jauh dalam jiwa kita. Agar tata nilai budaya, ekonomi, politik dan apa saja yang menjadi atmosfir diri kita, berkembang secara merdeka. Kita ingin sebuah kemerdekaan substansial. Kemerdekaan yang tidak hanya dalam ruang lingkup formal dan seremonial. Sebab kemerdekaan formal dan seremonial yang kering akan substansi, sama artinya dengan rumah mewah tanpa penghuni. Raga tanpa jiwa. Jasad tanpa ruh. Sama artinya dengan bangkai yang dimumikan. MERDEKA ATAU MATI adalah pilihan antara menjadi manusia atau bukan manusia. Tanpa kemerdekaan, kita kehilangan apa yang diagungkan dari nilai kemanusiaan.
Anda mungkin tak percaya, kalau berbagai krisis yang terjadi di negri ini adalah akibat dari semakin terkikisnya nilai dan substansi kemerdekaan yang selama ini kita banggakan. Kita malah prihatin ketika banyak dibutuhkannya Sumber Daya Manusia Indonesia di luar negri. Karena kita tahu bahwa prosentasi Tenaga Kerja Indonesia yang mengembara ke luar negri lebih banyak sebagai manusia terjajah dari pada sebagai manusia merdeka. Ah, Sudahlah. Tak perlu kita ungkap satu-satu berbagai berita miring di media masa tentang nasib saudara kita ini. Sungguh mengerikan.
Sebagai bangsa yang sedang merangka menyusuri hutan reformasi, terkadang mengalami ketakutan yang luar biasa untuk tidak mendapat pinjaman dana luar negeri dalam membangun negri ini. Hal ini telah menjajah proses penyusunan kebijakan dalam negeri sendiri. Rupiah kenyataannya terjajah oleh dolar. Kebebesan ekonomi dunia yang biasa kita sebut globalisasi, mencoba menjajah perkembangan potensi ekonomi lokal. Mungkin masih ingat ketika pasar-pasar modern dan tradisional dibanjiri paha ayam Amerika. Konon paha ayam tersebut tidak disukai di negri paman Syam itu, karena di bagian paha itulah vaksin biasanya disuntikan.
Belum lama daging sapi illegal yang cukup mencemaskan ibu-ibu rumah tangga, terus menurus menyibukkan aparat daerah tanpa ada upaya penghentian di tingkat pusat. Belum lagi maraknya produk elektronik dengan merek jadi-jadian tanpa petunjuk pemakaian yang kita fahami, tak henti-hentinya membanjiri pertokoan dan kaki lima. Bahkan mendatangi kita di kantor dan di rumah. Padahal negeri ini bukanlah tong sampah raksasa.
Ya. Belum sirna juga dari ingatan kita, ketika kehalalan sebuah produk yang cukup mencemaskan konsumen muslim Indonesia –sebut saja Ajinomoto. Waktu itu yang dapat dilakukan pemerintah adalah upaya meredam opini publik tanpa penyelesaian yang jelas dan penjelasan yang selesai. Memang ketika itu kita sedang terjajah oleh ancaman dicabutnya seluruh investasi yang berasal dari negri asal produk tersebut. Karena penjajahan itulah kasus-kasus yang muncul selalu berakhir dengan mengambang. Bahkan Majlis Ulama Indonesia yang menjadi tumpuan masyarakat Muslim seringkali bersikap tidak merdeka. Heboh susu kemasan yang mengandung lemak babi, MUI mereguknya secara demonstratif dan disiarkan media masa. Ribut masalah proses penyembelihan ternak import yang tidak sesuai syari’at, MUI langsung berkunjung ke negri asalnya dan berkata “halal”
Teriakan ‘Merdeka’ dari mulut anak-anak bangsa sewaktu karnaval, terdengar hambar. Karena ruang gerak kemerdekaan konsumen telah terjajah oleh perang iklan dan promosi yang menyesatkan. Ya seperti rayuan kolonial dulu yang membuat rakyat dan raja-raja kita terjerat dengan mudah. Janji janji pengusaha, klausul-klausul sepihak, pesta hadiah dan berbagai teknik strategi untuk menutupi kekurangan kualitas produk adalah pasukan tentara yang kejam dan menyeramkan. Menyerang konsumen dari berbagai arah. Menumpas hak-hak konsumen satu persatu.
Penegakkan hak-hak konsumen dalam hubungannya dengan kemerdekaan sangatlah penting. Karena konsumen merdeka adalah konsumen yang hak-haknya tida tereksploitasi. Sebaliknya, konsumen terjajah adalah konsumen yang selalu dikepung oleh berbagai keharusan dan kewajiban tanpa diimbangi oleh pengakuan terhadap hak-haknya.
He he salam
Tulisan ini saya posting tanpa seijin kang Cecep, tapi saya haqqul yakin kang Cecep tidak bakal marah. Ini saya lakukan karena tulisan ini bisa jadi renungan bersama. Tulisan ini dikirim kang Cecep ke email saya, untuk membalas email "iseng" saya tentang kemerdekaan Indonesia yang belum merdeka-merdeka juga. Ok kang Cecep, kita masih menanti tulisan kang Cecep selanjutnya. (Lily)Label: Galeri karya alumni, Wadah I-DISKO (Ide-Diskusi-Komentar)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda