Sabtu, Agustus 23, 2008

Cerita Lucu

Ciuman Pertama di Pabelan

Judul di atas pasti membuat teman-teman berfikir negatif, bukan? Boleh sih, jika tak ada keterangannya. Ciuman seperti apa yang dimaksudkan. Apakah ciuman dua insan yang berbeda. Ember! (emang bener). Wah....pasti makin ke sono-sono nih. Masak yang beginian diceritakan di blog Angera yang notabenenya santri? Ups! Tunggu dulu. Jangan negative thinking gitu dong. Untuk mengetahui ciuman pertamanya seperti apa, makanya friends... ikuti cerita di bawah ini dengan seksama tentunya. Eit, jangan lupa juga sambil membayangkan situasi dan kondisi pondok saat itu. Begini ceritanya.........

LIBURAN pertengahan tahun di pondok sangat sepi. Kebanyakan teman-teman yang berdiam di daratan Pulau Jawa, dari Barat sampai ke Timur, semuanya pulang kampung, menemui keluarganya masing-masing. Sedangkan santri yang tinggal di pondok bisa dihitung dengan jari. Mereka itu adalah santri yang berasal dari luar Pulau Jawa. Itu pun banyak juga yang menikmati liburannya di luar pondok. Bisa ke tempat saudara yang berada di Pulau Jawa, atau ada juga yang mengikuti teman.
Sementara saya? Saya yang berasal dari Pulau Sumatera nun jauh di sana, tepatnya Pekanbaru Riau, mana bisa pulang kampung? Selain biaya, juga waktunya cukup singkat. Kalau tak salah liburan pertengahan itu hanya 10 hari. Dipotong masa perjalanan, sekitar 4-5 hari pulang pergi naik bus, maka liburan yang tersisa yang bisa dinikmati bersama keluarga hanya 5 hari. Alamak....dengan waktu sesingkat itu terlalu banyak ruginya. Karena itu lebih baik di pondok saja, sambil menikmati kesunyian dan ketenangan pondok.
Oya, mungkin perlu juga dijelaskan, tahun 80-an, penerbangan tidak seperti sekarang ini, relatif murah dan mudah didapat. Dari Jakarta terbang ke seluruh penjuru Nusantara ada, bahkan dalam sehari seperti makan obat alias sampai dua atau tiga kali penerbangan. Pasti semua setuju dengan semua itu, apalagi yang berasal dari luar Jawa. Tidak mudah bukan untuk mencapai Pabelan? Tapi dengan tekad dan niat, semua serasa dekat dan nikmat.
Sebagai gambaran lamanya perjalanan Pabelan-Pekanbaru, sekalian memutar kembali ingatan saya waktu itu. Dari Pabelan ke Jogya naik kereta api atau bus Jogya-Jakarta satu malam. Kalau kebetulan naik bus langsung ke Pekanbaru, hanya sebentar transit di Jakarta, kemudian meneruskan perjalanan ke penyeberangan Bakahuni. Biasanya di wilayah paling ujung Pulau Jawa ini tidak bisa menunggu satu atau dua jam. Kalau kebetulan kapal veri sedang parkir dan masih ada tempat, berarti itu merupakan kemujuran, tidak terlalu lama menunggu. Kadang harus menunggu kapal dari seberang datang atau harus antre lagi ke kapal berikutnya. Kadang bisa sampai dua tiga jam menunggu. Itu baru mau nyebrang. Selama nyebrang paling cepat memakan waktu dua jam. Tambahkan saja berapa jam baru sampai ke daratan Sumatera. Selanjutnya dari Lampung ke Pekanbaru paling cepat dua hari dua malam. Itu juga kalau jalannya mulus, mesin bus tidak rusak. Kalau ternyata sebaliknya? Akan bertambah lama rentang perjalanan.
Oke. Kita kembali ke pondok. Untungnya kakak pendamping tidak boleh ikut libur. Mereka harus menunggu pondok sekaligus menjaga kita-kita yang tak pulang ke rumah. Saya ingat saat itu, pendamping kami Kamar Nusa Indah di komplek gedung Alamsyah, Mbak Yayah dari Solo, Mbak Khotijah dari Semarang dan beberapa orang lagi mbak-mbak pendamping yang saya lupa namanya. Saya memang tak sendiri. Masih ada Meimun saudara sepenanggungan karena kami sama-sama dari Pekanbaru. Lebih dari itu, kami pun tetanggaan. Jarak rumah kami tak sampai satu kilo, mungkin juga setengah kiloan. Yang jelas di Kamar Nusa Indah itu yang saya ingat, hanya saya dan Meimun, santri yang tak pulang. Bisa jadi ada teman lainnya, tapi saya lupa. Yang saya ingat lagi di kamar tersebut berpenghuni tujuh orang. Berarti selain kami berdua, lima lainnya mbak pendamping, dong! Bisa jadi.
Begitulah. Sebagai santri baru (enam bulan pertama) berada di pondok, saya sudah diserang si jarban. Katanya, si jarban (penyakit gatal-gatal) ini merupakan penyakit santri. Kalau belum diserang si jarban, belum sah menjadi santri. Dan lucunya, pemeo ini ada di mana-mana, khususnya di pondok-pondok. Ya, terserahlah. Saya sebetulya sangat tersiksa dengan kehadiran si jarban ini yang mengendap di bagian punggung kaki kanan saya. Kehadirannya selalu membuat tangan saya menari-nari menyapanya. Saya tak bisa tenang.
Malam itu, rembulan bersinar terang. Cahayanya sampai ke kamar, masuk melalui kisi-kisi jendela kamar dan ada juga memantul melalui kaca. Walau tanpa lampu penerangan, suasana kamar tidak gelap gulita. Bias cahaya rembulan masih mampu menerangi ruangan kamar Nusa Indah.
Mungkin karena sepi dan tak adanya aktivitas, para penghuni kamar sudah siap beristirahat. Kasur digelar sesuai dengan jumlah penghuninya yang hanya tujuh orang. Posisi tidur kami persis dekat pintu masuk sebelah kanan. Kebetulan saya tidur paling ujung dan di sebelah saya, Meimun. Di samping Meimun para mbak pendamping.
Gara-gara si jarban, saya tak bisa memejamkan mata. Saya terpaksa ''bercumbu'' dengannya melalui punggung kaki saya. Tapi seingat saya, saya menikmati si jarban itu. Sambil membelai kaki tempat si jarban mengeram, pikiran saya pun menerawang entah kemana. Situasi itu makin membuat saya tak bisa tidur. Saya sadar sesadar-sadarnya.
Dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba saja pintu yang jaraknya hanya sekitar satu meter dari badan saya, terkuak. ''Kret....'', bunyinya agak lemah. Terang saja saya kaget. Karena pintu itu ternyata dibuka oleh seseorang, bukan dari dorongan angin. Apalagi malam itu angin cukup bersahabat, tak mungkin dia mampu mendorong pintu yang tertutup walau tidak dikunci. Tak lama, muncul sebuah bayangan tinggi (apalagi saya melihatnya dalam kondisi berbaring) memasuki kamar. Saat itu juga secara spontan saya langsung merubah posisi. Tapi bukan dari posisi telentang ke arah samping atau tengkurep. Tapi saya hanya menurunkan kaki kanan saya yang sedari tadi bertopang di lutut kiri saya. Saya tak sempat merubah posisi tidur sekedar mengelak pandangan dari bayangan manusia yang masuk. Selain menurunkan kaki, yang berubah itu denyut jantung saya yang tiba-tiba berpacu tak menentu. Dalam ketakutan, kegalauan, saya tetap berusaha diam, sambil memicingkan mata. Walau takut saya tak mau memejamkan mata. Saya juga ingin tahu, apa gerangan yang sedang terjadi. Ekor mata saya terus mengikuti langkah kaki si penyelinap. Pikiran saya pun jadi tak menentu, mencari tahu apa yang akan dilakukannya. Hendak malingkah dia? Saya melihat tamu tak diundang itu menuju lemari, yang kacanya sudah pecah ditinju teman asal Kupang, NTT, Rugaya, ketika sedang ''kerasukan''. O, ternyata dia tidak membukanya tetapi malah menghadap ke arah kami yang tidur, tepatnya di depan mbak-mbak pendamping. Dalam pikiran saya terus bertanya, ''mau apa orang ini sebenarnya''? Mengapa dia memperhatikan kami-kami yang tidur bukannya melakukan aktivitas yang lain, misalnya menggeledah lemari? Sejenak dia berdiri memperhatikan kami, dia pun melangkah mengarah ke pintu. Ada perasaan agak lega karena berharap tamu gelap tersebut keluar.
Eeeee.....ternyata dia malah berdiri di samping saya! Adrenalin saya kembali berpacu. Harapan yang baru saja tumbuh, sirna. Apalagi ketika dia mulai jongkok, saya semakin panik, takut!!!! Jangan-jangan dia penjahat, pembunuh atau pemerkosa. Semua pikiran itu bercampur aduk. Eeee...ternyata lagi dia mendekati Meimun yang tidur di samping saya. Saya tak tahu apa yang dimauinya. Saya hanya mendengar lenguhan Meimun yang merubah posisi kepalanya. Gerakan Meimun ini mungkin membuatnya takut, lalu menarik tubuhnya. Tapi.....ternyata lagi, dia langsung mau mencium saya. Belum sempat saya merubah posisi kepala, tiba-tiba Mbak Khotijah tersentak bangun dan berteriak. ''Siapa itu!''.
Saya yang dasarnya sadar baru berani dan ikut berteriak ''maling'' (maling bibir, maksudnya). Dengan beraninya saya mengejar dia yang lari ke arah berdikari dan langsung menghilang di bawah pohon pete menuju kampung. Tapi sampai di ujung Berdikari kami tak berani lagi mengejar dan membiarkan si ''maling'' itu menghilanag di kegelapan malam. Tapi, suasana malam itu jadi heboh. Penghuni kamar lainnya, Bougenvil, Wijaya Kusuma dan Berdikari keluar. Semuanya ingin tahu apa yang baru saja terjadi. Termasuk kakak-kakak di utara dan malam itu juga mencari tahu siapa yang telah menyelinap di kamar puteri tersebut.
Malam itu, seingat saya, saya malah jadi bahan tertawaan. Dengan lugunya saya bercerita apa yang terjadi sampai si penyelinap sempat menyentuh mulut saya. Tapi suer!!!!!!!!!!Dikit aja, lho.
Keesokan harinya, kejadian malam itu menjadi bahan pembicaraan. Yang pada akhirnya, ketahuan siapa yang telah nekad memasuki kamar puteri. Kalau tak salah namanya Salahudin dari Palembang. Ceritanya, malam itu, dia bersama Asnawi (sama-sama dari Palembang) habis nonton. Entah di Muntilan tau di Magelang. Mereka duduk-duduk di beranda Perpustakaan. Sejenak, Salahudin pergi. Mungkin masih terpengaruh dengan film yang dia tonton, dia tak bisa menahan hasratnya, dan langsung memasuki kamar puteri. Bisa jadi juga dia sudah berusaha di kamar-kamar lain. Tapi karena terkunci dan pas Nusa Indah tidak terkunci, dia berhasil. Tapi yang terpikir oleh saya sekarang, kelihatannya si tamu gelap ini pandai mencari mangsa (atau memang sudah dipilihnya?) yaitu Meimun. Nah lho, Mun....ingat-ingatlah, pernah ditaksir ngga atau memang sudah pernah kenalan dengan pria yang satu ini, atau dia sudah curi pandang tapi meimun tak tahu???????(Nurizah Johan)

(cerita ini ditulis di Pekanbaru, 23 Agustus 2008. Dibuat sekedar mengingat nostalgia dan kejadian lucu di pondok. Mudah-mudahan pelaku sejarah lainnya membaca cerita ini, seperti mbak-mbak pendamping, khususnya.)

Label:

5 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

aduh seru banget eaui....paragraf diatas bilang baru mau dicium, dibawah dibilang pencuri bibir, bawahnya lagi bilang tercuri sedikit...yang bener mana nih???? Karena kita sekamar, kayaknya waktu itu bu RT sering memilih tidur dekat pintu setelah peristiwa itu, karena mau menjaga kawan lain ya?? Pendamping kita siapa lagi ya? mbak mastoyah bukan? Sueerrrr, seru dan suka bacanya!! detail dan bikin kita ikut mengalami suasanana. lagggiiiiii!!!

24 Agustus 2008 pukul 13.53  
Blogger Unknown mengatakan...

Yuni neeee....klo da hbngannya dgn hal2 yg bgtuan aj lgsg respn....
Cb penglmnmu sm si doi gmn jg??????
berani g??????he5555555......
klo aQ cieehhhh....aliiimmmm....
sueeeeeerrrrrr deeeehhhhh......
lv

24 Agustus 2008 pukul 18.37  
Anonymous Anonim mengatakan...

Bener Mis, aku sampe capek nunggu emailnya Yuni gak muncul-muncul. E.....giliran ngono-ngono kae langsung muncul.Payaaaaaaah.......hehe.... Nuri, ciuman keduanya kapan dong?

24 Agustus 2008 pukul 19.00  
Anonymous Anonim mengatakan...

Ly jangan tanya ciuman kedua dan seterusnya...kalau itu sih rahasia banget nget..pokoke ada aja.
Tuh, yang ngaku alim, Misri. Alim po alimin...he55555555

28 Agustus 2008 pukul 16.33  
Blogger Em I Es mengatakan...

HHeeeee55555555..........
[nur....tw jg km....eh diem2....klo d dpn org bnyk hrs m-rhsiakn idntits Qt yg sbnrnya.....aahh km neee jgn d obrl ok?????ni rhsia Qt b'2....klo lilik..pa lg Yuni tw....waaaahhhh gwt lg....aQ bs mmpuuussss]
BENER NUUUURRRRR......aQ aliiimmmm....mmg wjhQ g klhtan alim yaaaaaa......pdhl bnr deeehhhh aQ g bhg......sueeeerrrrrr......aQ kn ISTRI SHOLEKHAAAAHHHHHH.......

28 Agustus 2008 pukul 21.38  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda