Cerpen: Santriwati Yang Merindu
Terbit di : Xpresi Riaupos online, Sabtu, April 19, 2008
atau klik: (http://www.xpresi-riaupos.blogspot.com/)
Karya: Nurizah Johan
‘’Udahan, yuk Mis!’’ ujarku pada Misri.
‘’Sebentar lagi Nur, nanggung!’’
‘’Plok, plok, plok!’’ Suara bola pimpong yang memantul di meja seperti sebuah irama yang rutin kami dengar kalau sedang main pimpong. Bunyinya tidak senyaring dan seenak meja triplek. Tapi kami sudah terbiasa dengan meja batu yang dicor itu. Kena hujan dan panas, tak masalah. Tidak bakalan rusak atau terkelupas. Paling-paling lembab, dan bunyi pantulan bola agak melempem.
Kiyai kami memang hebat. Bukan meja kursi makan saja yang dibuat permanen, meja pimpong juga. Mungkin Pak Kiyai tahu kalau santri suka jahil. Tapi sepertinya bukan itu alasannya. Yang benar adalah Pak Kiyai tidak mau menganggarkan dana hanya untuk perbaikan meja kursi dari kayu atau meja pimpong, yang pastinya cepat rusak kena hujan dan panas. Biar APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Domestik) pondok tidak terkuras hanya untuk perbaikan atau pengadaan meja kursi makan tersebut.‘’Yes!’’ Tiba-tiba Misri teriak kegirangan karena berhasil menjebol pertahananku dengan smash yang cukup tajam. Skor kami jadi imbang. 20;20. Berarti kami juz 2. Aku menengadah ke langit.
Waktu hampir senja. Ingin disudahi saja, tapi, seperti kata Misri, nanggung, memang iya. Tinggal meraih dua angka lagi, dengan sendirinya permainan selesai. Iya, kalau selesai, lha, kalau terjadi pertahanan alot dan juz lagi, juz lagi. Bagaimana bisa cepat selesai? Mau mengalah saja dengan membiarkan Misri menambahkan skornya dengan mulus tanpa perlawanan, akunya yang keberatan.‘’Gimana, ya?’’ Sambil berpikir aku tetap berusaha menerima umpan bola dari Misri. Ah, akhirnya aku kalah juga. Misri berhasil meraih poin dua kali berturut-turut.‘’Awas ya Mis, lain kali tak kan kubiarkan kamu mengalahkanku,’’ ujarku sambil membereskan net dan bed dibantu Misri.
‘’Coba aja, siapa takut?’’ Tantang Misri. Kami berdua berpisah menuju kamar masing-masing.Habis olahraga pimpong, aku bergegas ke kamar mandi. Sebentar lagi waktu maghrib menjelang. Aku tak mau ketinggalan Apalagi ketinggalan pengumuman siapa saja yang bulis (ronda malam santri putra) malam ini. Aku harus mendengarnya sendiri. Aku malu kalau sampai aku bertanya. Nanti ketahuan lagi, kalau aku nanya sama teman. ‘’Nggak ah, aku harus ke masjid,’’ pikirku.Acara mandiku selesai juga. Yang membuatku lega, aku nggak terlambat. Pengumuman siapa yang bulis belum diumumkan. Tapi ya, pas aku gelar sajadah di shaf paling belakang, barulah al Ilaanat (pengumuman) dibacakan, termasuk siapa saja yang bulis nanti malam.
Aku pasang kupingku terang-terang. Mendengar satu persatu nama-nama yang disebutkan. Ada Miftah, Ramli, dan nama yang kutunggu-tunggu. ‘’Asyik, ternyata memang benar dia bulis nanti malam.’’ Untung tak ada yang tahu kalau aku mesem-mesem sendiri sambil mengepalkan tangan kananku dan berteriak ‘’Yes!’’ dalam hati.Menjelang azan, seperti biasa kami para santri putra dan putri, melantunkan Syair Abu Nawas yang makin dikenal setelah Hadad Alwi menyanyikannya dalam teks aslinya, berjudul Al’itirof. Setelah itu dipopulerkan kembali oleh artis cantik Marshanda versi terjemahan Bahasa Indonesia.***
Kulewati malam ini dengan debar tak menentu. Aku membayangkan seperti apa pertemuanku nanti malam. Haruskah aku sengaja menunggunya di teras depan kamarku? Idih, sangat memalukan. Kalau jelas pacar, masih mendingan. Lha ini? Pacar bukan, teman akrab juga bukan. Ngapain juga aku menunggunya di teras. Ntar malah dicuekin lagi. Jangankan didekati, melihat saja dia ogah. ‘’Nggak ah, sia-sia aja,’’ batinku.
Atau, aku pura-pura ke kamar mandi? Ya, aku kan bisa basa basi nanyain dia. Kan, bukan dia aja yang bulis, tapi teman-temanku juga. Aku juga kenal dekat dengan Miftah dan Ramli. Jadi aku negur mereka aja. Ya, ya, cara ini yang paling cocok aku lakukan nanti malam. Aku bisa curi pandang dan berada di dekatnya. Mudah-mudahan dia tahu gemuruh di dadaku dan berharap dia juga merasakan perasaan yang aku rasakan.
Dia kakak kelasku. Aku mulai memikirkannya sejak aku bertemu pertamakali. Cinta pada pandangan pertama? Entahlah. Kalau mengingat usiaku yang baru menginjak 14 tahun, layakkah itu disebut cinta? Terus terang, aku sendiri tak bisa mendifinisikan apakah aku cinta atau sekedar naksir saja. Yang jelas, aku suka melihat dirinya dan selalu mencuri pandang setiap kali bertemu.Lonceng yang berada di antara dua pohon rindang berdentang beberapa kali. Suatu pertanda jam istirahat tiba. Juga waktunya tidur. Teman-teman yang sudah mengantuk cepat-cepat gelar kasur. Kasur yang semula tertata rapi berubah berantakan, berserakan. Itu karena ada yang menariknya sembarangan. Kasurnya berada di baris tengah, langsung ditarik tanpa menunggu pemilik kasur yang berada di atas mengambilnya.
Dengan begitu kamar jadi sedikit heboh. Semua berebut mengambil kasurnya masing-masing. Berseliweran, mengambil kavling masing-masing. Bagi yang biasa tidur di tengah-tengah, harus merelakan kasurnya diinjak atau terinjak oleh teman-teman yang mendapat kavling di pojok. Pemandangan seperti ini sudah biasa setiap malamnya di kamarku. Aku rasa, di kamar lain juga begitu. Mungkin juga semua kamar. Berebutan membentang kasur duluan. Tapi, nggak juga sih. Tergantung penghuninya dan pendampingnya. Kalau tegas dan mau mengawasi sampai selesai, bisa juga teratur. Ah, kenapa jadi membahas gelar kasur, ya? Justru peristiwa menjelang tidur di lantai ramai-ramai berjejer kadang berjejal bak ikan sarden saling berdesakan itu membuat lucu, membuat haru, membuat ngilu, membuat pilu dan tentunya membuat rindu.
Satu persatu penghuni kamarku sudah terbuai di alam mimpi. Seandainya tidur mereka kuabadikan, mungkin ada yang tersipu malu, tersenyum sendiri bahkan mungkin merasa kesal. Ada yang telungkup, tanpa sadar mengalir sungai kecil dari sudut bibir dan membentuk pulau di atas bantal. Ada juga yang mulutnya sedikit menganga, yang kalau nyamuk sedang terbang di depannya bisa-bisa tersedot ketika menarik nafas. Ada juga matanya agak terbuka, seolah-olah tak tidur. Ada juga yang kakinya menindih badan teman sebelahnya. Ada juga yang ngorok, mengalahkan suara kodok di belakang asrama. Pokoknya semua etiket tidur yang ditausiyahkan Pak Kiyai tak bisa diterapkan.
Ketika sedang memperhatikan teman-teman yang tidur, tiba-tiba saja detak jantungku berdebar tak beraturan. Makin cepat dan membuat tubuhku menjadi lemas. Perlahan, secara samar-samar, aku mendengar langkah kaki orang.‘’Pasti itu bulisnya,’’ pikirku. Aku pun bangun, berdiri dan berjalan pelan seperti maling menuju jendela. Untungnya jendela kamar terbuat dari kaca besar, sehingga dengan menyingkap tirai jendela tanpa menimbulkan bunyi bisa bebas memandang ke luar.
Sekali lagi aku melihat teman-teman yang tidur, untuk memastikan tak ada yang melihat tingkahku. Satu persatu. Tapi cuma sekilas pandang. Karena aku tak mau terlewat melihat teman-teman yang bulis. Cepat ku sibak tirai sedikit. Ya, hanya sedikit. Aku juga takut kalau ketahuan sedang mengintip. Ups, malu dong! Bisa-bisa bulisnya ke ge-eran. Atau aku yang dianggap kecentilan? Sebodo teuing!
‘’Ngapain, Nur!’’ Tiba-tiba suara Kak Ria, pendampingku mengejutkanku.Aku tersentak, refleks menutup tirai. Aduh! Kepalaku kejedot kaca. Saking dekatnya wajahku ke kaca dan nyaris menciuminya. Untung bunyinya nggak sampai mengganggu yang lain.
‘’Eh, Kak Ria, bangun, ya,’’ sapaku berusaha setenang mungkin.
‘’Saya mau ke belakang, kebelet nih. Denger suara bulis saya ngintip,’’ lanjutku mencari alas an.
‘’Perlu ditemanin, nggak?’’ Kak Ria menawarkan diri.
‘’Nggak usah deh Kak, ngerepotin aja. Kakak tidur aja lagi,’’ elakku.
‘’Ya, deh.’’ Kak Ria langsung menarik selimutnya dan membenamkan kepalanya dalam selimut. Cuaca malam itu memang dingin.Aku menarik nafas dalam. Diam sejenak. Ku lihat lagi Kak Ria. Diam. Tak bergerak. Sepertinya sudah pulas. Mungkin saja Kak Ria terbangun karena mimpinya, buka karena aku. Aku kan Cuma diam. Mana berani aku bersuara? Kembali aku ke jendela. Menyibak tirai. Masih ku lihat para bulis tak jauh dari kamarku. Mereka tampaknya sedang duduk di bangku beton bawah pohon melinjo.
Ku pikir ini kesempatan. Aku harus keluar pura-pura ke kamar mandi seperti rencana yang sudah ku susun di memori otakku tadi. Tapi tiba-tiba terjadi perang batin. Antara gengsi dan keinginan yang begitu kuat dari hati. Keluar, jangan. Keluar, jangan. Ku kuatkan hati untuk keluar. ‘’Ayo Nur, ini kesempatan! Kapanlagi?’’ Bisik hatiku.Pelan-pelan aku menuju ke pintu. Tanganku pun sudah memegang gagang pintu. Tinggal kuplintir, pintu terbuka. Tapi itu belum juga ku lakukan. Rasa-rasanya jemariku kaku, berat untuk digerakkan. Cepat-cepat aku lepaskan peganganku. Aku surut langkah. Sesaat kemudian, aku kembali mendengar langkah kaki berjalan. Lama-lama makin jauh dan menghilang. Semangatku pun ikut melayang di bawa angin malam.*** /y
Karya: Nurizah Johan
‘’Udahan, yuk Mis!’’ ujarku pada Misri.
‘’Sebentar lagi Nur, nanggung!’’
‘’Plok, plok, plok!’’ Suara bola pimpong yang memantul di meja seperti sebuah irama yang rutin kami dengar kalau sedang main pimpong. Bunyinya tidak senyaring dan seenak meja triplek. Tapi kami sudah terbiasa dengan meja batu yang dicor itu. Kena hujan dan panas, tak masalah. Tidak bakalan rusak atau terkelupas. Paling-paling lembab, dan bunyi pantulan bola agak melempem.
Kiyai kami memang hebat. Bukan meja kursi makan saja yang dibuat permanen, meja pimpong juga. Mungkin Pak Kiyai tahu kalau santri suka jahil. Tapi sepertinya bukan itu alasannya. Yang benar adalah Pak Kiyai tidak mau menganggarkan dana hanya untuk perbaikan meja kursi dari kayu atau meja pimpong, yang pastinya cepat rusak kena hujan dan panas. Biar APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Domestik) pondok tidak terkuras hanya untuk perbaikan atau pengadaan meja kursi makan tersebut.‘’Yes!’’ Tiba-tiba Misri teriak kegirangan karena berhasil menjebol pertahananku dengan smash yang cukup tajam. Skor kami jadi imbang. 20;20. Berarti kami juz 2. Aku menengadah ke langit.
Waktu hampir senja. Ingin disudahi saja, tapi, seperti kata Misri, nanggung, memang iya. Tinggal meraih dua angka lagi, dengan sendirinya permainan selesai. Iya, kalau selesai, lha, kalau terjadi pertahanan alot dan juz lagi, juz lagi. Bagaimana bisa cepat selesai? Mau mengalah saja dengan membiarkan Misri menambahkan skornya dengan mulus tanpa perlawanan, akunya yang keberatan.‘’Gimana, ya?’’ Sambil berpikir aku tetap berusaha menerima umpan bola dari Misri. Ah, akhirnya aku kalah juga. Misri berhasil meraih poin dua kali berturut-turut.‘’Awas ya Mis, lain kali tak kan kubiarkan kamu mengalahkanku,’’ ujarku sambil membereskan net dan bed dibantu Misri.
‘’Coba aja, siapa takut?’’ Tantang Misri. Kami berdua berpisah menuju kamar masing-masing.Habis olahraga pimpong, aku bergegas ke kamar mandi. Sebentar lagi waktu maghrib menjelang. Aku tak mau ketinggalan Apalagi ketinggalan pengumuman siapa saja yang bulis (ronda malam santri putra) malam ini. Aku harus mendengarnya sendiri. Aku malu kalau sampai aku bertanya. Nanti ketahuan lagi, kalau aku nanya sama teman. ‘’Nggak ah, aku harus ke masjid,’’ pikirku.Acara mandiku selesai juga. Yang membuatku lega, aku nggak terlambat. Pengumuman siapa yang bulis belum diumumkan. Tapi ya, pas aku gelar sajadah di shaf paling belakang, barulah al Ilaanat (pengumuman) dibacakan, termasuk siapa saja yang bulis nanti malam.
Aku pasang kupingku terang-terang. Mendengar satu persatu nama-nama yang disebutkan. Ada Miftah, Ramli, dan nama yang kutunggu-tunggu. ‘’Asyik, ternyata memang benar dia bulis nanti malam.’’ Untung tak ada yang tahu kalau aku mesem-mesem sendiri sambil mengepalkan tangan kananku dan berteriak ‘’Yes!’’ dalam hati.Menjelang azan, seperti biasa kami para santri putra dan putri, melantunkan Syair Abu Nawas yang makin dikenal setelah Hadad Alwi menyanyikannya dalam teks aslinya, berjudul Al’itirof. Setelah itu dipopulerkan kembali oleh artis cantik Marshanda versi terjemahan Bahasa Indonesia.***
Kulewati malam ini dengan debar tak menentu. Aku membayangkan seperti apa pertemuanku nanti malam. Haruskah aku sengaja menunggunya di teras depan kamarku? Idih, sangat memalukan. Kalau jelas pacar, masih mendingan. Lha ini? Pacar bukan, teman akrab juga bukan. Ngapain juga aku menunggunya di teras. Ntar malah dicuekin lagi. Jangankan didekati, melihat saja dia ogah. ‘’Nggak ah, sia-sia aja,’’ batinku.
Atau, aku pura-pura ke kamar mandi? Ya, aku kan bisa basa basi nanyain dia. Kan, bukan dia aja yang bulis, tapi teman-temanku juga. Aku juga kenal dekat dengan Miftah dan Ramli. Jadi aku negur mereka aja. Ya, ya, cara ini yang paling cocok aku lakukan nanti malam. Aku bisa curi pandang dan berada di dekatnya. Mudah-mudahan dia tahu gemuruh di dadaku dan berharap dia juga merasakan perasaan yang aku rasakan.
Dia kakak kelasku. Aku mulai memikirkannya sejak aku bertemu pertamakali. Cinta pada pandangan pertama? Entahlah. Kalau mengingat usiaku yang baru menginjak 14 tahun, layakkah itu disebut cinta? Terus terang, aku sendiri tak bisa mendifinisikan apakah aku cinta atau sekedar naksir saja. Yang jelas, aku suka melihat dirinya dan selalu mencuri pandang setiap kali bertemu.Lonceng yang berada di antara dua pohon rindang berdentang beberapa kali. Suatu pertanda jam istirahat tiba. Juga waktunya tidur. Teman-teman yang sudah mengantuk cepat-cepat gelar kasur. Kasur yang semula tertata rapi berubah berantakan, berserakan. Itu karena ada yang menariknya sembarangan. Kasurnya berada di baris tengah, langsung ditarik tanpa menunggu pemilik kasur yang berada di atas mengambilnya.
Dengan begitu kamar jadi sedikit heboh. Semua berebut mengambil kasurnya masing-masing. Berseliweran, mengambil kavling masing-masing. Bagi yang biasa tidur di tengah-tengah, harus merelakan kasurnya diinjak atau terinjak oleh teman-teman yang mendapat kavling di pojok. Pemandangan seperti ini sudah biasa setiap malamnya di kamarku. Aku rasa, di kamar lain juga begitu. Mungkin juga semua kamar. Berebutan membentang kasur duluan. Tapi, nggak juga sih. Tergantung penghuninya dan pendampingnya. Kalau tegas dan mau mengawasi sampai selesai, bisa juga teratur. Ah, kenapa jadi membahas gelar kasur, ya? Justru peristiwa menjelang tidur di lantai ramai-ramai berjejer kadang berjejal bak ikan sarden saling berdesakan itu membuat lucu, membuat haru, membuat ngilu, membuat pilu dan tentunya membuat rindu.
Satu persatu penghuni kamarku sudah terbuai di alam mimpi. Seandainya tidur mereka kuabadikan, mungkin ada yang tersipu malu, tersenyum sendiri bahkan mungkin merasa kesal. Ada yang telungkup, tanpa sadar mengalir sungai kecil dari sudut bibir dan membentuk pulau di atas bantal. Ada juga yang mulutnya sedikit menganga, yang kalau nyamuk sedang terbang di depannya bisa-bisa tersedot ketika menarik nafas. Ada juga matanya agak terbuka, seolah-olah tak tidur. Ada juga yang kakinya menindih badan teman sebelahnya. Ada juga yang ngorok, mengalahkan suara kodok di belakang asrama. Pokoknya semua etiket tidur yang ditausiyahkan Pak Kiyai tak bisa diterapkan.
Ketika sedang memperhatikan teman-teman yang tidur, tiba-tiba saja detak jantungku berdebar tak beraturan. Makin cepat dan membuat tubuhku menjadi lemas. Perlahan, secara samar-samar, aku mendengar langkah kaki orang.‘’Pasti itu bulisnya,’’ pikirku. Aku pun bangun, berdiri dan berjalan pelan seperti maling menuju jendela. Untungnya jendela kamar terbuat dari kaca besar, sehingga dengan menyingkap tirai jendela tanpa menimbulkan bunyi bisa bebas memandang ke luar.
Sekali lagi aku melihat teman-teman yang tidur, untuk memastikan tak ada yang melihat tingkahku. Satu persatu. Tapi cuma sekilas pandang. Karena aku tak mau terlewat melihat teman-teman yang bulis. Cepat ku sibak tirai sedikit. Ya, hanya sedikit. Aku juga takut kalau ketahuan sedang mengintip. Ups, malu dong! Bisa-bisa bulisnya ke ge-eran. Atau aku yang dianggap kecentilan? Sebodo teuing!
‘’Ngapain, Nur!’’ Tiba-tiba suara Kak Ria, pendampingku mengejutkanku.Aku tersentak, refleks menutup tirai. Aduh! Kepalaku kejedot kaca. Saking dekatnya wajahku ke kaca dan nyaris menciuminya. Untung bunyinya nggak sampai mengganggu yang lain.
‘’Eh, Kak Ria, bangun, ya,’’ sapaku berusaha setenang mungkin.
‘’Saya mau ke belakang, kebelet nih. Denger suara bulis saya ngintip,’’ lanjutku mencari alas an.
‘’Perlu ditemanin, nggak?’’ Kak Ria menawarkan diri.
‘’Nggak usah deh Kak, ngerepotin aja. Kakak tidur aja lagi,’’ elakku.
‘’Ya, deh.’’ Kak Ria langsung menarik selimutnya dan membenamkan kepalanya dalam selimut. Cuaca malam itu memang dingin.Aku menarik nafas dalam. Diam sejenak. Ku lihat lagi Kak Ria. Diam. Tak bergerak. Sepertinya sudah pulas. Mungkin saja Kak Ria terbangun karena mimpinya, buka karena aku. Aku kan Cuma diam. Mana berani aku bersuara? Kembali aku ke jendela. Menyibak tirai. Masih ku lihat para bulis tak jauh dari kamarku. Mereka tampaknya sedang duduk di bangku beton bawah pohon melinjo.
Ku pikir ini kesempatan. Aku harus keluar pura-pura ke kamar mandi seperti rencana yang sudah ku susun di memori otakku tadi. Tapi tiba-tiba terjadi perang batin. Antara gengsi dan keinginan yang begitu kuat dari hati. Keluar, jangan. Keluar, jangan. Ku kuatkan hati untuk keluar. ‘’Ayo Nur, ini kesempatan! Kapanlagi?’’ Bisik hatiku.Pelan-pelan aku menuju ke pintu. Tanganku pun sudah memegang gagang pintu. Tinggal kuplintir, pintu terbuka. Tapi itu belum juga ku lakukan. Rasa-rasanya jemariku kaku, berat untuk digerakkan. Cepat-cepat aku lepaskan peganganku. Aku surut langkah. Sesaat kemudian, aku kembali mendengar langkah kaki berjalan. Lama-lama makin jauh dan menghilang. Semangatku pun ikut melayang di bawa angin malam.*** /y
3 Komentar:
Bu Rt..siapakah gerangan cowok itu? Fauni ya...atau Jularso? Atau siapa ya?? Cecep, Dindin....atau semua? he..he..
Nuri menjawab:
Ha....ha....Yunche..aduh..kok ditanggapi serius sih. Kalau memang iya, kan belum tentu kakak kelas kita, bisa jadi kakak kelas di atasnya lagi. Jadi malu deh, kalau mereka yang disebutkan itu mengira-ngira, saya, dia, atau dia, dia..dia..........
kalo nda ada nyang mau,atawa nda ada yg ngaku..yo wiss lah..kulo ae..
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda