Sabtu, Desember 13, 2008

PERJALANAN MENUJU NEGERI MBELAN

PART XIII

Matahari makin tinggi, tapi ia seperti enggan mengeluarkan sinar terangnya secara utuh. Sinar yg tak terlalu penuh itu pun sudah cukup membuat kita2 kegerahan. Apalagi kepulan asap rokok seperti berlomba memenuhi udara, tak putus-putus bagai air kali Pabelan yg menyimpan pesona dan eksotisme luar biasa itu, dulu.

MC mendaulat Pak Menteri untuk menandatangi buku Kiai Hamam dan Pesantren Pabelan sekaligus meluncurkan buku itu. Alunan sendu Marching Band mengiringi peluncuran buku itu, dan seperti mengharu-biru suasana, setidaknya begitulah yg ane rasakan di siang yg khusyuk itu:

Ku buka album biru/penuh debu dan kusam/Ku pandangi semua gambar diri/Kecil bersih belum ternoda/Pikirku pun melayang/Dahulu penuh kasih/Teringat semua cerita orang/Tentang riwayatku

Tangan halus dan suci/Telah mendekap tubuh ini/Jiwa raga dan seluruh hidup rela diberikan...

Kata mereka diriku slalu dimanja/Kata mereka diriku slalu ditimang..../Oh Bunda
ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku.....

Ahaa, Marching Band masih hidup rupanya. Berapa banyak pesantren kala itu—ketika kita di sana, era 80-an--yg berani menghalalkan Marching Band dan memfasilitasi santri-santrinya dengan seperangkat “gamelan modern” ini? Pabelan adalah sedikit dari pesantren di Indonesia yg melampaui ketidaklaziman ini dan secara konsisten merawatnya hingga kini.


Yg elok untuk diingat tentu saja adalah, kiai kita dulu tak mempersoalkan apakah santriwatinya yg menabuh “bedug modern” itu mengenakan jilbab ataukah tidak. Di mata kiai jilbab sama sekali tak merefleksikan kesalehan seseorang. Keimanan seseorang tak pernah bisa diwakili oleh selembar kain. Ketaatan pada agama jauh lebih besar dimensi dan cakupannya, tak selebar kain jilbab. Luar biasa. Sebuah pandangan yg mendahului zaman memang.


Kiai kita ini memang beda: progresif, “liberal”, dan nyentrik.


Dulu, “makhluk” ini biasa keluar kala tetamu penting bertandang ke Pabelan. Dan santri2 lain (putra-putri) berjejer berhadapan di jalan utama masuk ke pesantren, depan Gedung Bupati (Gedung Ahmad): santri putri di sebelah kanan, dan santri putra di sisi kiri seberang jalan masuk pondok. Dan anak-anak kampung (begitulah kita menjuluki mereka) keluar dari rumah mereka menyaksikan pemandangan yg langka ini dari jauh. Ane ingat momen-langka seperti ini dulu digunakan para santri/wati untuk saling melempar pandang. Suatu laku yg ane kira absah belaka. Kiai toh tak melarangnya.


Bagi mereka yg belum menghayati arti Marching Band dan kultur pesantren yg umumnya dikesankan kolot, konservatif, ndeso, tak ada yg istimewa tentang Marching Band ini. Toh di luar sana, Marching Band sedemikian mudah ditemui.


Tapi di mata Ralph L Boyce, (mantan) dubes AS dulu itu, akan lain ceritanya: "Ketika saya datang, Pak Kiai menyambut saya dengan diiringi lagu Marching Band yg dimainkan para santri perempuan. Mereka memainkan lagu Led Zeppelin, Stairway to Heaven menyambut saya," kata Boyce.


Marching Band, santri perempuan, dan Led Zeppelin. Tiga hal yg cukup membuat mata Boyce terbelalak, tak percaya.


Marching Band yg dimainkan kalangan perempuan itulah yg membuat Pabelan tampak beda jika dibandingkan dengan pesantren-pesantren lain. Dan itu pula yg membuat para pengkaji Islam di Barat sana ternganga tak percaya. Kita tahulah, di mata mereka, Islam telah dipersepsi secara serampangan dan semena-mena sebagai agama penindas perempuan dan anti-modernitas. Pandangan cethek bin bahlul bin katruk itulah yg belakangan pelan2 mulai merayap pergi. Meski prasangka negatif (lain) toh masih kuat bersemayam di kepala kalangan non-Islam/Barat dan disebar luaskan ke seantero jagad melalui media2 mereka—termasuk tentu saja soal kedudukan perempuan dalam Islam. Entah sampai kapan.


Marching Band yg dimainkan santri putri merefleksikan kesetaraan (almusawah, egalitarianism) antara laki dan perempuan hingga membuat orang macam Boyce terpana. Selain tentu saja genre musik (hard rock) dan judul lagunya yg menggetarkan dan tak lazim, beda dengan umumnya lagu2 khas pesantren: bukan marawis atau qosidah atau rebana, tapi hard rock, judulnya pun asing di telinga para kiai kebanyakan, Stairway to Heaven. Istri ane, yg lama hidup di lingkungan pesantren tradisional khas NU, terkaget-kaget mendengar cerita ane ini. “Masak,” katanya tak percaya.


Mari kita simak petikan lagu yg kini telah dinyanyikan dalam 101 versi ini: And as we wind on down the road/Our shadows taller than our soul/There walks a lady we all know/Who shines white light and wants to show/How everything still turns to gold/And if you listen very hard/The tune will come to you at last/When all are one and one is all/To be a rock and not to roll/And shes buying a stairway to heaven.


Tapi siang itu, di acara launching buku, instrumen yg diperdengarkan dan dimainkan adalah “Bunda”, karya Melly Goeslow. Ane melihat sepintas (moga2 salah) bahwa pop culture memang tengah merasuk ke lingkungan santri. Mereka tanpa ragu mencicipi budaya ini dan mengamalkannya melalui berbagai media, di asrama2 mereka, dan dalam hidup mereka sehari-hari. Barangkali tak ada yg keliru dalam hal ini. Dulu kita pun juga merasakan gempuran pop culture ini, meski skalanya tak semasif sekarang. Tapi esok hari, di situ, di ruang terbuka itu, ane mendengar tepuk tangan yg ganjil:”Tepuk LA Light,” kata seorang santri putra. Ane gak paham mengapa tepuk macam ini bisa (di) lolos (kan) dan dipamerkan di acara formal. Apalagi di akhir tepuk itu ada kata2 aneh: “enjoy aja”. Duhh….


Tidak tahukan para pengurus pondok bahwa “enjoy aja” merupakan salah satu slogan (atau rayuan) sebuah perusahaan rokok yg membidik anak-anak muda untuk mencoba menghisapnya?

Tapi sudahlah. Lagu pop yg mengiringi peluncuran buku itu memang berhasil menghadirkan sosok ibu berikut jasa besarnya di masa lalu. Tapi kurang kuat dari segi lirik dan kurang kontekstual dengan sisi psikologis-historis tetamu yg datang, yg umumnya para alumni. Lirik sebuah lagu adalah jantung yg dengannya penikmat musik serasa dibawa ke dunia lain. Irama musik adalah oksigen yg dengannya segala hal dibuat hidup: kenangan, masa lalu, dst.

Apalagi di bagian akhir lagu itu begitu muram kedengarannya: Oh Bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku..... Sebuah pesan atau nujuman bahwa Pabelan suatu ketika akan mati pelan2 karena kehilangan relevansinya dengan perkembangan zaman? Ane ngeri membayangkannya jika itu terjadi, sepuluh atau lima belas tahun nanti…

Suasana siang itu akan lebih nendang kalau lagu dan instrumen musik yang dimainkan adalah lagu bertajuk “Ibu”, yg dinyanyikan secara memikat oleh Iwan Fals dan membuat kita merinding. Petikan gitar dan lengkingan biola makin membuat lagu itu terasa hidup, dan kita seperti mendapat oksigen baru untuk merasakan dan merayakan denyup kehidupan era akhir 80-an, ketika banyak di antara kita nyantri di sana.


Lirik di akhir lagu ini amat memukau dan cukup membuat air mata kita berlinang. Cobalah resapi lirik2 ini:


Ribuan kilo jalan yg kau tempuh/Lewati rintang untuk aku anakmu/Ibuku sayang masih terus berjalan/Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah


Seperti udara kasih yg engkau berikan/Tak mampu ku membalas/ibu…/Inginku dekat dan menangis di pangkuanmu/Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu/Lalu doa2 baluri sekujur tubuhku/Dengan apa membalas/Ibu… ibuuu….


Ribuan kilo jalan yg kau tempuh/Lewati rintang untuk aku anakmu/Ibuku sayang masih terus berjalan/Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah/Seperti udara kasih yg engkau berikan/tak mampu ku membalas/Ibu… ibuuuu…


Apa pun lagunya, tentu saja kita, selaku alumni, merasa senang Marching Band masih eksis dan dianggap penting oleh pimpinan dan para santri. Di siang itu, kita menyaksikan masa lalu kita seperti hadir kembali.


Siapa tahu kelak “makhluk” satu ini akan dikeluarkan untuk menyambut rombongan alumni yg datang, menjenguk ibunya: Pabelan. :)

(Bersambung, Insya Allah)

Vila Pamulang, Minggu, 8 Des’2008

Mustofa Muchdhor,

Label:

1 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

part lainnya mana? Kok agak lama sekarang ya... kemana aja sih???

24 Desember 2008 pukul 09.59  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda