Saya Bukan Don Juan: Kesan Reuni dari Fauny Hidayat
(Fauny Hidayat sudah membuat kesannya terhadap reuni 20-22 Juni 2008 lalu. Tulisan itu dibuat Fauny membalas email Nuri. Ikuti saja selengkapnya dialog ini, sebagaimana aslinya)
Email dari Nuri ke Fauny:
Email dari Nuri ke Fauny:
Tittle: Nulis Kesan Reuni, dong????
Hi...apa kabar?
Jangan kaget ya dapat email dari daku. Tentunya ada hajat yang mendesak sampai menghubungimu.
Pertama, saat reuni kemarin aku fikir Faunilah yang paling berbahagia. Pasti tanya kenapa. Ya, sepertinya Fauni yang banyak ketemu mantan kemarin. Ada Atin,si "S", dan aku denger Pura juga ya. Atau ada lagi? (who knows?) Ternyata, banyak juga ya. Sayangnya aku nggak punya foto Fauni dengan "S" atau dengan Pura. Yang ada Fauni dengan Atin. Mau aku posting, tunggu dululah, mana tahu dapat foto Fauni dengan Pura atau si "S".
Aku ingat Fauni ada foto dengan Pura, tapi pakai kamera siapa, ya? Kalau Fauni ada, kirimin ya, biar tak terbitkan di blog angera. (Ngga apa-apa ya? Jangan marah lho!)
Kedua, inilah yang paling penting. Kami tim angera minta tulisan Fauni dong tentang reuni kemarin. Trus, kami punya ide ingin menerbitkan buku santrilova (kisah cinta para santri Pabelan dulu). Aku kira Fauni pasti banyak cerita tentang itu. Kami juga sudah buat sih ada beberapa cerita. Kalau Fauni bisa menyumbang ceritanya, wah, dengan senang hati. Please...
Oya, kenapa aku tembak Fauni untuk membuat tulisan tentang reuni kemarin, aku yakin Fauni salah satu jagonya. Kan, mantan jurnalis, pasti dong dengan mudah menuangkan idenya tentang kita kemarin.
Segitu aja dulu, kami tunggu kabarmu...
Salam,
Nuri Johan,
Pekanbaru, Riau.
(Ini balasan Fauny yang mengizinkan untuk diterbitkan ke blog)
“Bukan Don Juan Klas Kambing”
He...he...Nuri yang sangat membahagiakan,
Saya jadi tersanjung, sekaligus meringis-ringis, dibilang paling bahagia karena ketemu banyak "mantan" di reuni kemarin. Ha, emang saya "don juan kelas kambing" ya? He..he...
Bahagia sekali, tentu saya Nur! Tapi bukan karena sekedar ketemu "mantan" tapi ya karena ketemu buanyak teman lama, di masa romatis yang juga lama. Bahkan, saya sebenarnya ingin stay terus berlama-lama di Pabelan, dua-tiga hari lagi, menikmati perjumpaan dengan teman-teman lama dan suasana Pabelan itu sendiri. Tapi apa daya.....
Selain bahagia ketemu, bahagia menikmati suasana Pabelan, yang membuat saya tak kalah bahagia juga adalah: masih ada sekelompok teman yang sangat perduli dan bersemangat keras mewujudkan pertemuan kemarin sehingga sukses besar! Buat saya itu luar biasa! Nuri, Yuni, Lili, Fatra, Misri, buat saya adalah nama yang harus diabadikan di hati, dan secara khusus saya harus mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya karena telah menyebarkan kebahagiaan ke semua orang! Susah lho memberikan kebahagiaan ke semua orang itu; ke satu orang saja kita belum tentu kan?! Ini, kamu-kamu semua, sudah memberikan kebahagiaan ke ratusan orang! Trims....trims....trims buanget. Luar biasa.
O ya, soal "mantan" tadi. Saya memang perlu menjelaskannya.
Mudah-mudahan bukan karena saya "genit" atau "cunihin" kali ya... (ini bahasa Sunda, istilah yang saya kenal dari istri saya yang pualing cantik.....) Tapi, Nur, ya begitulah kita melalui masa-masa remaja. Saya yakin kalau mau bongkar-bongkaran, bukan saya saja yang mengalami hal itu (romantisme masa remaja), tapi kita semua. Cuma, ada yang sungkan, gak enak (karena pertimbangan tertentu), ada yang enak aja seperti saya.
Kenapa saya kok merasa gak ada beban, enak aja menceritakan masa romantis itu, bahkan seperti "menikmatinya"? Tentu saja Nur, ini karena beberapa alasan.
Pertama, yang paling mendasar: buat saya itu sudah menjadi bagian dari masa lalu, masa yang sudah lewat. It's was happened. Sudah terjadi, nikmat dikenang, ada dukanya, ada sukanya, so what kan? Saya gak punya kekuatiran sama sekali akan CLBK (cinta lama bersemi kembali)! He...he.... Tak pula khawatir saya akan menggangu rumah tangga orang lain. Saya merasa kita kan sudah dewasa, tua, dan saling mengerti. Jadi, so fine. Enak aja. Saya cuma senang mengenangnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sejarah hidup, sejarah masa lalu saya.
Kedua, saya mempunyai seorang istri yang mengerti bahwa suaminya ini dulu pernah pacaran sama si a, atau si b. Dia tahu, dia mengerti. Terbuka. Jadi, ya biasa aja. Cemburu? Tentu, karena dia cinta sama saya kan? Tapi, cemburu sampai yang mengganggu hubungan saya dengan dia, ya nggak lah. Kebetulan pula, istri saya itu, namanya elok sekali Neng Dara, teman-teman kuliah Fatra, Yuni dulu. Bahkan, sampai saat ini, saya dan Yuni bertetanggaan satu area, dan selalu berhubungan sangat baik. Dia juga mengenal hampir semua teman-teman saya di Pabelan dulu: dari Hendro, Amin Munajat, Hatta, Dewi Yamina-Solihul Hadi, Ikun, Alimunhanif, Jamhari, bahkan sampai ke Komaruddin Hidayat (dia kenal baik Mas Komar ini, lebih baik dari saya. Kalau Mas Komar ditanya, kenal Fauny atau Neng Dara, pasti dia lebih tahu Neng Dara dibandingkan saya).
Dan ketiga, ah Nur, betapapun apa yang kamu sebut sebagai "mantan" itu adalah tetap teman saya yang sangat baik, sahabat, dan bisa jadi orang yang pernah dekat di masa lalu. Mereka akan tetap menjadi the best friend yang saya miliki sampai saat ini, seperti juga teman-teman lain di Pabelan.
Nah, sekarang saya mau bahas para "mantan" itu satu per satu ya (wah, asyik nih!). Mumpung sempat, kepancing sama email kamu. Mudah-mudahan mereka berkenan diceritain, dan kalaupun tidak, ya mau gimana lagi. Toh ini tulisan saya dan saya yang menuliskannya. Saya berharap, mereka bisa "melengkapi" tulisan ini, sehingga bisa memberi penjelasan dari apa yang mereka ingat tentang saya waktu itu. Lebih asyik lagi kan?!
Oke, kamu sebut Atin (Suprihatin). Nah ini dia! Yang saya ingat waktu itu sempat lirik-lirikan sama dia di beberapa kesempatan. Mungkin pas sholat magrib jamaah, nggak sengaja ketemu di acara olahraga, atau pas lagi jalan di jalan raya pemisah santri putra-putri (bawah flamboyan, samping perpustakaan). Orangnya manis. Dia tinggal di Alamsyah (klo gak salah). Karena lirik-lirikan itu, saya mungkin merasa: wah, boleh juga nih cewek untuk digoda (jangan tersinggung ya Tin!). Kan jaman itu masa puber buat saya. Karena itu tergodalah saya dan nekad membuat surat dan mengirimkannya.
Eh, dibales lho! Wah, surprise juga. Saya lupa isi persisnya surat saya atau surat dia, tapi yang saya ingat isinya singkat-singkat saja, mungkin sekitar perkenalan gitulah. Responnya positif. Wah, sayapun “tersanjung” juga: wah, ada juga toh cewek yang mau sama saya...yang orang kampung, dekil, dan miskin....he...he... Boleh juga ternyata!
Sayangnya Nur, seingat saya, entah kenapa hubungan surat-suratan itu tak berlanjut ke, misalnya, proses pacaran berikutnya. Termasuk “meeting”. Atau resmi-resmian bertemu dan ngobrol. Mungkin karena awal-awal pubertas, dan................ini ada cerita menarik: sebelum saya kenal Atin, saya sempat juga surat-suratan, bahkan bilang senang, sama teman SD dulu di kampung! Oh, my good! Iya, saya baru ingat!
Waktu itu saya pulang liburan puasa. Dan si cewek itu juga merespon baik sekali. Cuma, sebelum saya surat-suratan sama Atin, si cewek di kampung itu ada miskomunikasi--begitu kira-kira--dengan saya, sehingga tak berlanjut juga sebagai bentuk “orang berpacaran”. Seingat saya, mungkin karena saya kecewa: lokasi berjauhan, kirim surat kan lama sekali baru sampai dan dibalas (gak seperti jaman email sekarang).
He...he..., kembali ke Atin. Jadi, pacaran resmi (dalam bentuk pengakuan sebagai “pacaran”) saya dan dia saya kira tidaklah Nur. Setelah surat-suratan begitu, lalu selesai begitu saja. Tak ada kata “nyambung” juga “putus”. Sebabnya kenapa, saya juga lupa. Waktu reuni kemarin, saya tanya sama Atin, kenapa kita waktu itu tidak resmi pacaran atau lalu jadi putus bersurat-suratan, dia juga lupa....... Mungkin karena sama-sama puber aja kali ya....entah, saya lupa. (Versi cerita Atin ditunggu untuk melengkapi ini!)
Nah, beralih ke santriwati lain. Namanya "S". Saya memang punya kisah spesial dengan yang satu ini (spesial pake telor, kayak martabak aja!). Orangnya maniz, supel dan manja. Manjanya itu yang terkadang nggak nahan.......
Kalau sama "S" ini Nur, sangat boleh dibilang sebagai resmi pacaran. Romantis, iya. Seperti layaknya remaja pacaran di masa kini..., waduh! Lengket ket...ket...ket. Berani menempuh resiko: ngumpet meeting di tengah lampu senter pak kyai, meeting di Batikan, atau jalan-jalan ke Malioboro, Magelang, bahkan sampai ke rumahnya di Purworejo sana. Banyak kisah romantis yang saya ingat dari ini. Kalau saya ceritain, wah, wah, wah, istri saya bisa cemburu lho. Dan benar, terkadang istri saya memang sempat aja cemburu dengan "S". Sebab, kisah romantis dengan "S" ini berlanjut sampai saya kuliah di Jakarta (karena dia tinggal di Jakarta); dimana kemudian saya berpacaran dengan seorang santriwati pula, ya, yang menjadi istri saya itu sekarang.
Sebenarnya Nur, sebelum saya berpacaran dengan "S", beberapa wanita (ceeeileeeh....wanita nih yee...) sempat pula akrab (bukan pacaran lho), dengan saya. Sebutlah misalnya, seingat saya namanya Dewi, seorang pelajar SMA Pandawa di Magelang. Kenalan pas Jambore Pramuka (di Mendut atau Magelang mana gitu.....saya lupa). Surat-suratan, pernah ketemuan sekali lagi di Magelang, selanjutnya.....gak jelas pula sebabnya, selesai begitu saja. Mungkin dia gak mau sama saya karena saya item kali....
Lalu, ada juga seorang wanita lain, bukan santriwati, tapi tinggal di Muntilan. Saya memanggil dia Mbak........(lupa namanya, apa Yuli atau siapa gitu), karena sebenarnya dia lebih tua dari saya. Kayaknya waktu itu dia sudah selesai SMA. Kenalan pas menjaga teman di Rumah Sakit Muntilan. Biasakan, teman sakit, kita bisa jalan-jalan ke luar pondok dengan alasan menjaga orang sakit.
Saya kenalan sama dia dan temannya, perempuan juga. Perkenalan itu sebenarnya berlanjut cukup “intensif”: suratsuratan, bahkan saya berkunjung ke rumahnya di Muntilan, sebaliknya dia juga sempat menengok saya di pondok. Beberapa kali begitu. Namun, belakangan juga “selesai” begitu saja, seingat saya karena faktor agama. Waktu beberapa kali berkunjung ke rumahnya, ayahnya bersarung dan berkopiah menyambut saya. Eh, tapi begitu masuk ke rumahnya, salib dan gambar Jesus dimana-mana.....
Saya sendiri, waktu di Pondok, tak terlalu “alergi” dengan non-muslim dan sangat biasa. Karena Pak Kyai Almarhum mengajarkan keterbukaan dan keragaman yang sangat baik. Bahkan, saya seringkali main-main ke pasturan Muntilan yang katanya terbesar di Asia Tenggara, berdiskusi dengan bruder-bruder atau pastor penghibur orang sakit di Rumah Sakit Muntilan. Tapi, mungkin si wanita itu keder juga sama santri ya.... Sama Yuli ini, terus terang, saya juga senang. Dia juga senang. Tapi, itulah, gak berlanjut.
Nah, selanjutnya tentang Pura. Wah, ini dia, gara-gara Khotimah pasti. Darimana ceritanya saya dan Pura pernah pacaran? Bukan saya senang atau tidak senang sama Pura, tapi dasar Khotimah....
Begini ceritanya. Kemarin, pas reuni, saya seangkatan (Pura, Zumrotin, Cecep, Nurkholis, Piah, Khotimah) sempat makan di Batian. Eh, disitu saya baru tahu, Pura belum nikah. Kaget saya. Padahal, sebelum reuni, saya sempat telpon-telponan dengan Pura dan dia bilang punya anak dua. Pas telpon terdengar ada anak kecil menangis. Jadi saya bingung, yang benar udah nikah atau belum. Si Khotimah yang tetep seperti dulu itu yang bilang ke saya: “Fau, si Pura ini belum nikah. Kamukan sudah, tapi belum punya anak. Nah, udah, kamu tanya aja sama si Pura, bagaimananya caranya bisa bikin anak.....” Maksudnya, saya disuruh Khotimah kawinin aja si Pura?! Ha....ha....enak benar....
Nah, Nur, oleh karena itu, menyangkut kabar saya pernah berpacaran sama Pura itu biar Khotimah yang menjelaskan atau Pura sendiri. Saya menyerahkan sepenuhnya kepada mereka biar cerita. Kan biar seru juga! Dari sumbernya langsung dan cover bothside pula...he...he...
O ya, sebelum saya menutup cerita ini, masih ada beberapa nama wanita yang membekas banget dalam benak saya. Beberapa nama mereka: Mbak Amirah (kakak kelas jauh banget), Atiek (Jakarta, aduh dimana ya dia sekarang), Wati (NTT, sempat dekat buanget sama Dahlan), Maisaroh (dulu mengajar di PP Darun Najah Jkt, dan Amiyatun (bekas pacar Cecep Suheili).
Mereka orang-orang yang amat baik hati. Amirah banyak memberi bimbingan, nasehat, sebagai kakak yang sangat perhatian. Awal berangkat ke Jakarta saya bareng sama dia, sempat mampir di rumahnya di Bekasi. Atiek kakak gaul yang seringkali bisa membawa nekat. Maisaroh banyak membimbing dan sangat dewasa. Saya bahkan masih sempat dibimbing dia saat awal-awal kuliah di Jakarta. Dan Amiyatun, masih memberi perhatian, antusiasme, menerima dengan hangat saat saya main ke Pekalongan di saat-saat kuliah. Dan Wati, yang hatinya begitu lembut....
Ah udah ah. Ngomong-ngomong, kok saya ceritanya tentang perempuan semua ya? He...he...., jangan salah anggap ya Nur. Jangan saya dianggap seperti “Don Juan klas kambing” yang, padahal, senyatanya saya hanyalah orang kampung, item dan gak ganteng pula! Kalo ditanya siapa yang bener-bener Don Juan, siapa yang ganteng, nah, Insya Allah saya bisa menyebutkan beberapa nama. Dan yang pasti, bukan saya.
Begitu aja dulu balasan saya. Sedikit berpanjang lebar, mumpung sempat menuliskannya.
Nur, salam hangat saya untuk kamu,
Dan teman-teman Angera, Sahara....semua teman di Pabelan dulu.
Sukses selalu.
FAUNY HIDAYAT
Lembaga Survei Indonesia (LSI),
Wisma Tugu Wahidhasyim, Jl Wahidhasyim 100, Menteng, Jakpus.
Telp.+62-21 3156373, Fax +62-21 3156473
HP. 0852 805 44402, 02193003024
Website: www.lsi.or.id
Email: faunyhidayat@yahoo.co.id, faunyhidayat@gmail.com
Hi...apa kabar?
Jangan kaget ya dapat email dari daku. Tentunya ada hajat yang mendesak sampai menghubungimu.
Pertama, saat reuni kemarin aku fikir Faunilah yang paling berbahagia. Pasti tanya kenapa. Ya, sepertinya Fauni yang banyak ketemu mantan kemarin. Ada Atin,si "S", dan aku denger Pura juga ya. Atau ada lagi? (who knows?) Ternyata, banyak juga ya. Sayangnya aku nggak punya foto Fauni dengan "S" atau dengan Pura. Yang ada Fauni dengan Atin. Mau aku posting, tunggu dululah, mana tahu dapat foto Fauni dengan Pura atau si "S".
Aku ingat Fauni ada foto dengan Pura, tapi pakai kamera siapa, ya? Kalau Fauni ada, kirimin ya, biar tak terbitkan di blog angera. (Ngga apa-apa ya? Jangan marah lho!)
Kedua, inilah yang paling penting. Kami tim angera minta tulisan Fauni dong tentang reuni kemarin. Trus, kami punya ide ingin menerbitkan buku santrilova (kisah cinta para santri Pabelan dulu). Aku kira Fauni pasti banyak cerita tentang itu. Kami juga sudah buat sih ada beberapa cerita. Kalau Fauni bisa menyumbang ceritanya, wah, dengan senang hati. Please...
Oya, kenapa aku tembak Fauni untuk membuat tulisan tentang reuni kemarin, aku yakin Fauni salah satu jagonya. Kan, mantan jurnalis, pasti dong dengan mudah menuangkan idenya tentang kita kemarin.
Segitu aja dulu, kami tunggu kabarmu...
Salam,
Nuri Johan,
Pekanbaru, Riau.
(Ini balasan Fauny yang mengizinkan untuk diterbitkan ke blog)
“Bukan Don Juan Klas Kambing”
He...he...Nuri yang sangat membahagiakan,
Saya jadi tersanjung, sekaligus meringis-ringis, dibilang paling bahagia karena ketemu banyak "mantan" di reuni kemarin. Ha, emang saya "don juan kelas kambing" ya? He..he...
Bahagia sekali, tentu saya Nur! Tapi bukan karena sekedar ketemu "mantan" tapi ya karena ketemu buanyak teman lama, di masa romatis yang juga lama. Bahkan, saya sebenarnya ingin stay terus berlama-lama di Pabelan, dua-tiga hari lagi, menikmati perjumpaan dengan teman-teman lama dan suasana Pabelan itu sendiri. Tapi apa daya.....
Selain bahagia ketemu, bahagia menikmati suasana Pabelan, yang membuat saya tak kalah bahagia juga adalah: masih ada sekelompok teman yang sangat perduli dan bersemangat keras mewujudkan pertemuan kemarin sehingga sukses besar! Buat saya itu luar biasa! Nuri, Yuni, Lili, Fatra, Misri, buat saya adalah nama yang harus diabadikan di hati, dan secara khusus saya harus mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya karena telah menyebarkan kebahagiaan ke semua orang! Susah lho memberikan kebahagiaan ke semua orang itu; ke satu orang saja kita belum tentu kan?! Ini, kamu-kamu semua, sudah memberikan kebahagiaan ke ratusan orang! Trims....trims....trims buanget. Luar biasa.
O ya, soal "mantan" tadi. Saya memang perlu menjelaskannya.
Mudah-mudahan bukan karena saya "genit" atau "cunihin" kali ya... (ini bahasa Sunda, istilah yang saya kenal dari istri saya yang pualing cantik.....) Tapi, Nur, ya begitulah kita melalui masa-masa remaja. Saya yakin kalau mau bongkar-bongkaran, bukan saya saja yang mengalami hal itu (romantisme masa remaja), tapi kita semua. Cuma, ada yang sungkan, gak enak (karena pertimbangan tertentu), ada yang enak aja seperti saya.
Kenapa saya kok merasa gak ada beban, enak aja menceritakan masa romantis itu, bahkan seperti "menikmatinya"? Tentu saja Nur, ini karena beberapa alasan.
Pertama, yang paling mendasar: buat saya itu sudah menjadi bagian dari masa lalu, masa yang sudah lewat. It's was happened. Sudah terjadi, nikmat dikenang, ada dukanya, ada sukanya, so what kan? Saya gak punya kekuatiran sama sekali akan CLBK (cinta lama bersemi kembali)! He...he.... Tak pula khawatir saya akan menggangu rumah tangga orang lain. Saya merasa kita kan sudah dewasa, tua, dan saling mengerti. Jadi, so fine. Enak aja. Saya cuma senang mengenangnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sejarah hidup, sejarah masa lalu saya.
Kedua, saya mempunyai seorang istri yang mengerti bahwa suaminya ini dulu pernah pacaran sama si a, atau si b. Dia tahu, dia mengerti. Terbuka. Jadi, ya biasa aja. Cemburu? Tentu, karena dia cinta sama saya kan? Tapi, cemburu sampai yang mengganggu hubungan saya dengan dia, ya nggak lah. Kebetulan pula, istri saya itu, namanya elok sekali Neng Dara, teman-teman kuliah Fatra, Yuni dulu. Bahkan, sampai saat ini, saya dan Yuni bertetanggaan satu area, dan selalu berhubungan sangat baik. Dia juga mengenal hampir semua teman-teman saya di Pabelan dulu: dari Hendro, Amin Munajat, Hatta, Dewi Yamina-Solihul Hadi, Ikun, Alimunhanif, Jamhari, bahkan sampai ke Komaruddin Hidayat (dia kenal baik Mas Komar ini, lebih baik dari saya. Kalau Mas Komar ditanya, kenal Fauny atau Neng Dara, pasti dia lebih tahu Neng Dara dibandingkan saya).
Dan ketiga, ah Nur, betapapun apa yang kamu sebut sebagai "mantan" itu adalah tetap teman saya yang sangat baik, sahabat, dan bisa jadi orang yang pernah dekat di masa lalu. Mereka akan tetap menjadi the best friend yang saya miliki sampai saat ini, seperti juga teman-teman lain di Pabelan.
Nah, sekarang saya mau bahas para "mantan" itu satu per satu ya (wah, asyik nih!). Mumpung sempat, kepancing sama email kamu. Mudah-mudahan mereka berkenan diceritain, dan kalaupun tidak, ya mau gimana lagi. Toh ini tulisan saya dan saya yang menuliskannya. Saya berharap, mereka bisa "melengkapi" tulisan ini, sehingga bisa memberi penjelasan dari apa yang mereka ingat tentang saya waktu itu. Lebih asyik lagi kan?!
Oke, kamu sebut Atin (Suprihatin). Nah ini dia! Yang saya ingat waktu itu sempat lirik-lirikan sama dia di beberapa kesempatan. Mungkin pas sholat magrib jamaah, nggak sengaja ketemu di acara olahraga, atau pas lagi jalan di jalan raya pemisah santri putra-putri (bawah flamboyan, samping perpustakaan). Orangnya manis. Dia tinggal di Alamsyah (klo gak salah). Karena lirik-lirikan itu, saya mungkin merasa: wah, boleh juga nih cewek untuk digoda (jangan tersinggung ya Tin!). Kan jaman itu masa puber buat saya. Karena itu tergodalah saya dan nekad membuat surat dan mengirimkannya.
Eh, dibales lho! Wah, surprise juga. Saya lupa isi persisnya surat saya atau surat dia, tapi yang saya ingat isinya singkat-singkat saja, mungkin sekitar perkenalan gitulah. Responnya positif. Wah, sayapun “tersanjung” juga: wah, ada juga toh cewek yang mau sama saya...yang orang kampung, dekil, dan miskin....he...he... Boleh juga ternyata!
Sayangnya Nur, seingat saya, entah kenapa hubungan surat-suratan itu tak berlanjut ke, misalnya, proses pacaran berikutnya. Termasuk “meeting”. Atau resmi-resmian bertemu dan ngobrol. Mungkin karena awal-awal pubertas, dan................ini ada cerita menarik: sebelum saya kenal Atin, saya sempat juga surat-suratan, bahkan bilang senang, sama teman SD dulu di kampung! Oh, my good! Iya, saya baru ingat!
Waktu itu saya pulang liburan puasa. Dan si cewek itu juga merespon baik sekali. Cuma, sebelum saya surat-suratan sama Atin, si cewek di kampung itu ada miskomunikasi--begitu kira-kira--dengan saya, sehingga tak berlanjut juga sebagai bentuk “orang berpacaran”. Seingat saya, mungkin karena saya kecewa: lokasi berjauhan, kirim surat kan lama sekali baru sampai dan dibalas (gak seperti jaman email sekarang).
He...he..., kembali ke Atin. Jadi, pacaran resmi (dalam bentuk pengakuan sebagai “pacaran”) saya dan dia saya kira tidaklah Nur. Setelah surat-suratan begitu, lalu selesai begitu saja. Tak ada kata “nyambung” juga “putus”. Sebabnya kenapa, saya juga lupa. Waktu reuni kemarin, saya tanya sama Atin, kenapa kita waktu itu tidak resmi pacaran atau lalu jadi putus bersurat-suratan, dia juga lupa....... Mungkin karena sama-sama puber aja kali ya....entah, saya lupa. (Versi cerita Atin ditunggu untuk melengkapi ini!)
Nah, beralih ke santriwati lain. Namanya "S". Saya memang punya kisah spesial dengan yang satu ini (spesial pake telor, kayak martabak aja!). Orangnya maniz, supel dan manja. Manjanya itu yang terkadang nggak nahan.......
Kalau sama "S" ini Nur, sangat boleh dibilang sebagai resmi pacaran. Romantis, iya. Seperti layaknya remaja pacaran di masa kini..., waduh! Lengket ket...ket...ket. Berani menempuh resiko: ngumpet meeting di tengah lampu senter pak kyai, meeting di Batikan, atau jalan-jalan ke Malioboro, Magelang, bahkan sampai ke rumahnya di Purworejo sana. Banyak kisah romantis yang saya ingat dari ini. Kalau saya ceritain, wah, wah, wah, istri saya bisa cemburu lho. Dan benar, terkadang istri saya memang sempat aja cemburu dengan "S". Sebab, kisah romantis dengan "S" ini berlanjut sampai saya kuliah di Jakarta (karena dia tinggal di Jakarta); dimana kemudian saya berpacaran dengan seorang santriwati pula, ya, yang menjadi istri saya itu sekarang.
Sebenarnya Nur, sebelum saya berpacaran dengan "S", beberapa wanita (ceeeileeeh....wanita nih yee...) sempat pula akrab (bukan pacaran lho), dengan saya. Sebutlah misalnya, seingat saya namanya Dewi, seorang pelajar SMA Pandawa di Magelang. Kenalan pas Jambore Pramuka (di Mendut atau Magelang mana gitu.....saya lupa). Surat-suratan, pernah ketemuan sekali lagi di Magelang, selanjutnya.....gak jelas pula sebabnya, selesai begitu saja. Mungkin dia gak mau sama saya karena saya item kali....
Lalu, ada juga seorang wanita lain, bukan santriwati, tapi tinggal di Muntilan. Saya memanggil dia Mbak........(lupa namanya, apa Yuli atau siapa gitu), karena sebenarnya dia lebih tua dari saya. Kayaknya waktu itu dia sudah selesai SMA. Kenalan pas menjaga teman di Rumah Sakit Muntilan. Biasakan, teman sakit, kita bisa jalan-jalan ke luar pondok dengan alasan menjaga orang sakit.
Saya kenalan sama dia dan temannya, perempuan juga. Perkenalan itu sebenarnya berlanjut cukup “intensif”: suratsuratan, bahkan saya berkunjung ke rumahnya di Muntilan, sebaliknya dia juga sempat menengok saya di pondok. Beberapa kali begitu. Namun, belakangan juga “selesai” begitu saja, seingat saya karena faktor agama. Waktu beberapa kali berkunjung ke rumahnya, ayahnya bersarung dan berkopiah menyambut saya. Eh, tapi begitu masuk ke rumahnya, salib dan gambar Jesus dimana-mana.....
Saya sendiri, waktu di Pondok, tak terlalu “alergi” dengan non-muslim dan sangat biasa. Karena Pak Kyai Almarhum mengajarkan keterbukaan dan keragaman yang sangat baik. Bahkan, saya seringkali main-main ke pasturan Muntilan yang katanya terbesar di Asia Tenggara, berdiskusi dengan bruder-bruder atau pastor penghibur orang sakit di Rumah Sakit Muntilan. Tapi, mungkin si wanita itu keder juga sama santri ya.... Sama Yuli ini, terus terang, saya juga senang. Dia juga senang. Tapi, itulah, gak berlanjut.
Nah, selanjutnya tentang Pura. Wah, ini dia, gara-gara Khotimah pasti. Darimana ceritanya saya dan Pura pernah pacaran? Bukan saya senang atau tidak senang sama Pura, tapi dasar Khotimah....
Begini ceritanya. Kemarin, pas reuni, saya seangkatan (Pura, Zumrotin, Cecep, Nurkholis, Piah, Khotimah) sempat makan di Batian. Eh, disitu saya baru tahu, Pura belum nikah. Kaget saya. Padahal, sebelum reuni, saya sempat telpon-telponan dengan Pura dan dia bilang punya anak dua. Pas telpon terdengar ada anak kecil menangis. Jadi saya bingung, yang benar udah nikah atau belum. Si Khotimah yang tetep seperti dulu itu yang bilang ke saya: “Fau, si Pura ini belum nikah. Kamukan sudah, tapi belum punya anak. Nah, udah, kamu tanya aja sama si Pura, bagaimananya caranya bisa bikin anak.....” Maksudnya, saya disuruh Khotimah kawinin aja si Pura?! Ha....ha....enak benar....
Nah, Nur, oleh karena itu, menyangkut kabar saya pernah berpacaran sama Pura itu biar Khotimah yang menjelaskan atau Pura sendiri. Saya menyerahkan sepenuhnya kepada mereka biar cerita. Kan biar seru juga! Dari sumbernya langsung dan cover bothside pula...he...he...
O ya, sebelum saya menutup cerita ini, masih ada beberapa nama wanita yang membekas banget dalam benak saya. Beberapa nama mereka: Mbak Amirah (kakak kelas jauh banget), Atiek (Jakarta, aduh dimana ya dia sekarang), Wati (NTT, sempat dekat buanget sama Dahlan), Maisaroh (dulu mengajar di PP Darun Najah Jkt, dan Amiyatun (bekas pacar Cecep Suheili).
Mereka orang-orang yang amat baik hati. Amirah banyak memberi bimbingan, nasehat, sebagai kakak yang sangat perhatian. Awal berangkat ke Jakarta saya bareng sama dia, sempat mampir di rumahnya di Bekasi. Atiek kakak gaul yang seringkali bisa membawa nekat. Maisaroh banyak membimbing dan sangat dewasa. Saya bahkan masih sempat dibimbing dia saat awal-awal kuliah di Jakarta. Dan Amiyatun, masih memberi perhatian, antusiasme, menerima dengan hangat saat saya main ke Pekalongan di saat-saat kuliah. Dan Wati, yang hatinya begitu lembut....
Ah udah ah. Ngomong-ngomong, kok saya ceritanya tentang perempuan semua ya? He...he...., jangan salah anggap ya Nur. Jangan saya dianggap seperti “Don Juan klas kambing” yang, padahal, senyatanya saya hanyalah orang kampung, item dan gak ganteng pula! Kalo ditanya siapa yang bener-bener Don Juan, siapa yang ganteng, nah, Insya Allah saya bisa menyebutkan beberapa nama. Dan yang pasti, bukan saya.
Begitu aja dulu balasan saya. Sedikit berpanjang lebar, mumpung sempat menuliskannya.
Nur, salam hangat saya untuk kamu,
Dan teman-teman Angera, Sahara....semua teman di Pabelan dulu.
Sukses selalu.
FAUNY HIDAYAT
Lembaga Survei Indonesia (LSI),
Wisma Tugu Wahidhasyim, Jl Wahidhasyim 100, Menteng, Jakpus.
Telp.+62-21 3156373, Fax +62-21 3156473
HP. 0852 805 44402, 02193003024
Website: www.lsi.or.id
Email: faunyhidayat@yahoo.co.id, faunyhidayat@gmail.com
(Catatan dari editor: ada nama yang semula oleh Fauny ditulis jelas, kami samarkan menjadi inisial, untuk mencegah hil-hil yang mustahal).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda