M.Miran: Kyai Reformis Masyarakat Samin
Kita perlu berbangga, sahabat kita M.Miran yang tampil bersahaja dan santai ini rupanya sering dikutip dalam beberapa penerbitan, karena peran pentingnya dalam proses reformasi masyarakat Samin. Ini beberapa kutipan yang bisa kita klik dari google, tinggal search: Miran Pabelan, keluarlah siapa dia. Sebetulnya menurut seorang kawan, Tempo pernah meliput soal dia, tapi tidak terekam di google.nl. Silahkan menyimak keunikan masyarakat Samin, medan perjuangan dan perannya.
Miran dikutip Pabelan Pos online edisi 39 April 1999 (penerbitan dinamika intelektual milik Univ Muhammadiyah Surakarta).
Lokasi yang terpencil menyebabkan Jepang (nama salah satu desa masyarakat Samin, tempat tinggal Miran-red) begitu lambat berkembang. Pedusunan yang kini berpenduduk 600 jiwa itu terletak sekitar 65 km arah barat daya Bojonegoro, tepatnya 5 km dari ruas jalan Cepu (Jateng) dan Ngawi (Jatim). Sejauh mata memandang, yang terbentang hanyalah pepohonan jati atau kembili (Dioscorea aculeata), berdiri kokoh di atas tanah kapur-tandus yang sungguh tidak bersahabat dengan tanaman jenis lain.
Ojek menjadi sarana transportasi paling efektif. Ongkosnya Rp 3.000,-. Tetapi kalau hujan, ban sepeda motor biasanya sulit berputar karena tanahnya begitu liat. Ongkosnya menjadi dua kali lipat. Jalan kaki akhirnya menjadi solusi yang paling tepat. Tapi warga Jepang sendiri lebih suka menempuhnya dengan jalan kaki. Makan waktu sejam.
“Lumayan melelahkan dan membuat perut lapar. Dan kondisi ini dimanfaatkan Isman (50), warga Kalimojo (sebelah utara Jepang) untuk buka warung di sekitar km 2,5. Kenapa bukan orang Jepang yang buka warung? "Itu tidak sesuai dengan ajaran Ki Samin," jelas Miran (33), tokoh pemuda Jepang”.
“Hingga saat ini, kalangan tua di Jepang memang masih sangat kuat memegang Saminisme. Dari segi keyakinan misalnya, meski dalam KTP tertera agama Islam, mereka belum melaksanakan amal ibadah sebagaimana mestinya. "Kalangan tua yang shalat hanya 10%," tutur M Miran (33) yang juga Takmir Masjid Al Huda Jepang”.
Dalam hal pakaian juga masih khas: memakai celana kolor-kombor-hitam, plus sarung. Kalangan tua seakan belum terasa sreg memakai celana panjang. Ini pula yang membedakan mereka dengan warga kampung lain.
Ciri lain yang masih tampak adalah arsitektur rumah. Dari sekitar 150 rumah yang ada, hampir semuanya berbentuk memanjang dengan pintu di samping. Ruangannya begitu luas dan lengang, saking sedikitnya perabotan yang ada. Dindingnya kayu, namun ada pula yang hanya kulit jati. Semua rumah sudah beratap genting, hal yang sulit ditemui sampai akhir 80-an lalu. Tetapi rumah tembok belum bisa dijumpai di Jepang. Hanya ada empat rumah berdinding batu bata, itu pun semi permanen. Pertanda betapa tingkat ekonominya masih begitu rendah.
Syukur sekarang generasi mudanya lebih terbuka. Faktor pendidikan dan pergaulan yang sudah semakin luas menyebabkan mereka lebih terbuka. Satu lagi, peran Islam yang membuat generasi muda Samin lebih dinamis. Sikap sabar, jujur, tak mau melukai hati orang lain yang terintegrasi dalam ajaran Saminisme, menjadi kian mengkilap akibat polesan lembut ajaran Islam. Jika kenakalan remaja di kampung lain menjadi hal yang lumrah, di Jepang bisa dibilang nol.
Sikap nonkooperatif kepada pemerintah pun tak ada lagi. Mereka tak pernah telat bayar pajak, meskipun kondisi ekonomi demikian sesak. Dulu mereka juga tak mau menikah di KUA, cukup disaksikan kerabat dan jadilah keluarga. Setelah diuber-uber petugas, baru mendaftar. Kini sebaliknya. Karena begitu taat, mereka tak mau kumpul layaknya suami/istri apabila belum tercatat di KUA, meskipun pernikahannya telah direstui.
Miran dalam artikel akademik: "Saminisme ditengah Perubahan Budaya " oleh Nursyam.
A. Komunitas Samin
Komunitas Samin ialah sekelompok orang yang mengikuti dan mempertahankan ajaran Samin Surosentiko yang muncul pada masa kolonial Belanda, yakni sekitar tahun 1890. Pada masa tersebut, masyarakat merasakan tekanan-tekanan dari pihak penjajah sebagai suatu siksaan kehidupan. Kemudian, mereka mencari cara untuk membebaskan diri dari tekanan tersebut. Ajaran Samin memberikan angin baru bagi masyarakat untuk keluar dari siksaan dan tekanan penjajah. Pada mulanya, komunitas Samin hanyalah merupakan perkumpulan (sami-sami) orang yang merasa senasib-seperjuangan serta sama rata dan sama rasa. Kemudian, perkumpulan ini berkembang luas, di mana pengikutnya tersebar di sekitar Blora, Pati, Kudus, Rembang dan perbatasan wilayah barat Bojonegoro.
Daerah kelompok (komunitas) Samin sangat lokal, sehingga daerah satu dengan lainnya tampak ada perbedaan dalam pemahaman aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Di desanya, orang Samin merupakan sekelompok orang yang tidak suka bergaul dengan yang lainnya kecuali dengan orang Samin sendiri. Mereka memiliki bahasa sendiri untuk berkomuniaksi, tata cara kehidupan sendiri dan bahkan tradisi sendiri. Jika ingin berkomunikasi dengan orang luar, mereka memanfaatkan jasa kepala desa sebagai perantara. Dalam rangka pelestarian ajaran Samin sebagai pedoman tingkah laku, maka dilakukanlah pewarisan nilai-nilai (inkulturasi) pada ank-anak kecil, bahkan kepada orang dewasa.
Namun demikian, tradisi tersebut semakin luntur disebabkan oleh faktor internal yang berupa ketiadaan sarana pelestarian seperti ketiadaan teks-teks ajaran Samin, semakin melemahnya proses pengorganisasian kelompok dan ketiadaan tokoh kharismatik yang dapat menjaga wibawa Saminisme, disamping penetrasi faktor luar seperti semakin intensifnya penyiaran dakwah, bahkan melalui orang Samin sendiri. Strategi Departemen Agama Kabupaten Bojonegoro, misalnya, dengan membiayai kelanjutan pendidikan anak Samin yang cerdas (Mohamad Miran) di pesantren Pabelan, Jawa Tengah, ternyata cukup jitu. Dari situ kemudian berdirilah musholla Al-Huda yang menjadi sentra kegiatan keislaman.
Kehadiran Islam yang demikian itu, tentu saja menggusarkan hati orang-orang tua yang masih setia dengan ajaran Samin. Memang, masih terdapat generasi tua yang sangat menghormati ajaran Samin yang dipelopori oleh Hardjokardi, seorang penerus keturunan Samin Surosentiko. Anehnya, meskipun mereka menolak terhadap kehadiran ajaran Islam, akan tetapi mereka tetap terlibat dalam proses pembangunan musholla dan bahkan membiarkan anak-anak mereka untuk belajar agama Islam.
Dalam bidang pergaulan, mereka juga telah berubah. Dalam kesehariannya, mereka telah menggunakan bahasa pergaulan yang berbeda dengan bahasa ngoko (bahasa Jawa kasar) yang menandai bahasa rakyat jelata. Mereka juga sudah melakukan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA), yang dahulunya dianggap tidak penting. Demikian pula penolakannya terhadap pembayaran pajak kepada negara juga sudah berubah. Jadi, penolakan terhadap pemuka agama dan negara telah mengalami perubahan-perubahan penting. (Yc)
Label: Wadah Sharing Profesi Alumni
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda