Selasa, Juni 30, 2009

Kreatif..

Perekonomian global/nasional boleh krisis, tapi kreatifitas tak pernah krisis. Itu lah yang terjadi pada ketiga kakak kita, senantiasa bergumul dengan kreatifitas. Mbak Solikhah dengan kerudung lembut berpayet2, istri mas Andung dengan baju busana muslimah, pakaian anak2 n daster, sedangkan mas Dadin dengan antenanya (menghasilkan gambar yang sangat bagus). Semuanya merupakan buah karya kakak kita yang belum terpublikasi di khalayak luas, padahal sangat kompetitif dalam kualitas. Mungkin masih banyak alumni lain yang kretifitasnya terus menggelora, sebagaimana mereka, membuka kran hidup banyak pekerja, dalam sebentuk usaha kecil (menengah) yang nyata. (ftr)

Label:

Senin, Juni 29, 2009

...... SEBUAH RENUNGAN

Ya Rabb.... Saat aku menyukai seorang teman, ingatkanlah aku bahwa akan ada sebuah akhir, sehingga aku tetap bersama Yang Tak Pernah Berakhir....

Ya Rabb.... Ketika aku merindukan kekasih, rindukanlah aku kepada yang rindu Cinta Sejati-Mu, agar kerinduan-ku terhadap-Mu semakin manjadi....

Ya Rabb.... Jika aku mesti mencintai seseorang, temukanlah aku dengan orang yang mencintai-Mu, agar bertambah kuat cinta-ku pada-Mu....

Ya Rabb.... ketika aku sedang jatuh cinta, jagalah cinta ini, agar tidak melebihi cinta-ku pada-Mu....

Ya Rabb.... ketika aku berucap "aku mencintaimu", biarlah aku katakan kepada orang yang hatinya tertaut pada-Mu....

Label:

Buka Mata Buka Hati: Bersama Ustaz Imam

Senin pagi jam 8 lewat secara tidak sengaja membuka Jak TV, dan terpampanglah wajah seorang ustadz yang wajahnya akrab di lingkungan kita.

Acaranya Media Natura. Presenternya cakep dan pintar. Tapi, sang ustadz lebih menarik. Gaya bertuturnya halus, lucu, dan tentu meyakinkan.

"Insya Allah. Kalau kita gak bisa buka mata, ya kita buka hati," kata sang Ustadz.

Di layar, dengan meyakinkan, sang ustadz memang menawarkan pengobatan lain. "Multi terapi," katanya. Ada pengobatan ala Cina, pengobatan herbal, hingga pendekatan spiritual.

Tapi, sang presenter sesekali nakal juga. "Mungkin orang Jawa bilang, Nggilani," kata sang presenter. Bukan apa-apa, karena di antara terapi sang ustadz juga memakai ujung lidah. Sampek penonton yg kebetulan lagi nonton rame-rame didepan TV dan kebetulan tahu ustaz Santosa orangnya jenaka, dengan iseng komentar, masak kita sebut ustad "tukang jilat".. Husshh... :)

Penonton usil lain bilang, "Kalau aku gakk maauuu. Timbang dijilatin ... Trimo Loro!!"..hushhh lagi!!

Penampilan sang ustadz emang kontroversial.. Minimal di lingkungan penonton yang usil-usil macam penonton diatas... tetapi yang jelas, ustaz ini bisa menyembuhkan aneka penyakit tetapi paling canggih spesialis mata. Selain dengan dijilat untuk mengangkat penyakit juga menggunakan air, obatan-obatan herbal. Dan dengan keunikan pengobatan itu rupanya aneka sakit mata banyak yang bisa disembuhkan. Banyak sudah pasien berpenyakit akut yang berhasil dipulihkannya.

Eh, nama Ustadznya: Ustadz Imam. Gak ada embel-embel Santoso sih. Tapi, yang mau ngecek langsung apakah itu Ustadz Imam Santoso atau bukan :), silakan hubungi klinik Anta Syifa. Alamatnya: Jl. PLN No. 38, Belakang Panti Asuhan Annajiyah, Pondok Aren, Tangerang. Telp. 021 738 84414, 0815 872 7662.

Selamat ya Ustadz.


(ditulis oleh anggota keluarga Angera yang kebetulan nonton saat on air di TV)

Label: ,

Kamis, Juni 25, 2009

Ketika Cinta Bertasbih..
























Ketika cinta bertasbih, Pabelan pun juga...
Selain karena spirit film KCB (Ketika Cinta Bertasbih diambil dari novel karya Habiburrahman El Shirazy, skenarionya ditulis Imam Tantowi dan disutradarai Chaerul Umam) ini menarik, dikemas dengan alur cerita, pemain n gambar2 yang oke punya, film ini juga mengambil setting Pondok Pesantren Pabelan (selain Mesir). Tak heran jika para guru dan pimpinan Pondok tak mau ketinggalan ingin turut nikmati film ini. Sebelum nonton, para guru (yang diangkut dengan 3 bis) rekreasi keliling Yogya, pantai n pusat kerajinan batik. Nampak foto: para guru dan pimpinan pondok (Kyai Ahmad Mustofa, Bu Nyai Nuki, Kyai Najib Amin, Bu Nyai Ulfah, Kyai M.Balya n isteri) dan sekretaris yayasan: Pak Rajasa Mu'tasim n istri (mbak Maria). Dari pihak alumni (luar pondok), nampak mbak Syamsiyatun n mbak Istiatun (meski kesibukan mereka luar biasa tapi menyempatkan diri nonton bareng). Moment yang penuh kebersamaan ini memang sayang untuk dilewatkan. Bravo Pabelan! (fatra).

Label:

Selasa, Juni 23, 2009

Dewi, Ria, Warso, Wanted!!!


Masih ingat, kan dengan teman-teman kita ini. Ya, Dwi Dara Dewi, Ria, dan Warso (Warningsih). Kru angera sama sekali belum bisa menemukan teman-teman tercinta ini. Jejak mereka belum terendus. Ayo, siapa yang tahu??? Berikan kabar baik tentang blog angera, sebagai langkah awal wadah untuk bersilaturahmi.
Foto ini diambil ketika di Kamar Mentari sekitar tahun 1984. Kamar yang berukuran kecil ini selalu ceria, karena diisi oleh orang-orang yang heboh. Diantaranya ya mereka-mereka ini Dwi Dara Dewi dan Ria konsulat Jakarta.
  Selain mereka di atas,  melihat kotak (lemari) yang disusun bertingkat mengingatkan kita kepada masa lalu. Apalagi di saat pindah kamar yang kalau tak salah berlaku setiap semester. Saat itu hari yang ditunggu-tunggu, dimanakah kamar baru kita dan siapa saja yang akan berbaur di dalam kamar itu? Tentunya saat itu juga hari yang paling sibuk dan cuapek....mengangkut lemari, memindahkan barang-barang, kasur, keranjang dan ...menyusunnya kembali. Yang lebih parah kalau dapat kamar dari ujung ke ujung. Dalam hal ini pendamping harus pandai mengatur, agar terasa lebih lapang dengan penghuni yang banyak. Maklumlah...kita kan sekamar bisa puluhan orang dengan luas yang pas-pasan. Tapi disitulah indahnya Pabelan. Kita semakin dekat, semakin lekat, semakin erat dalam persaudaraan. Uniknya, kita juga bercampur baur dengan semua angkatan. Duh.....mengingatnya kembali menimbulkan rasa rindu.(nuri)

Label:

Senin, Juni 22, 2009

Sri Aman Astuti

Masih ingat kanda pendamping kita mbak Tutik santri cantik dari Baturetno Wonogiri. Sampai-sampai kalau lewat santri utara bilang: Oh..tuti..tuti..kau dara jelita"sebuah lagu lantunan Gito Rollies. Ini foto mbak Tutik dengan Tika putri pertamanya yang saat ini kuliah di UI semester IV (kalau gak salah). Mbak Tuti dikaruniai 3 buah hati hasil perkawinannya dengan mas Jono (asal Jogja, banyak bergerak di bidang properti). 3 putri-putranya: Tika, Dwi dan Ryan. keluarga ini tinggal di kehijauan gang Jati Sawangan dengan rumah asrinya.
Ini foto Ryan saat habis disunat kemarin, Minggu, 21 Juni 08. Mbak Tutik sangat dekat dengan Tati Rohanawati yang sekarang tinggal di Bekasi dan pernah aktif di PAN. HP mbak Tutik: 081388210663. Tati Rohanawati: 08129331164 (moga-moga nomor ini betul, karena dipindahkan dari tulisan tangan yang samar)./Yun.

Label:

Sabtu, Juni 20, 2009

Ketemu & Jenguk










Masih ingat teman/kakak kita Mantep Miharso (angkt. 80)? Sekarang ia bekerja n berdinas di KUA Baturetno Wonogiri Solo (tetangga Yuni). Isterinya sebagai seorang guru di tempat yang sama. Hari Jum'at, 19/6/09, kak Arif Prajoko, mbak Syamsiyatun, Ilham, Lili n Fatra bertemu Mantep di RS Sardjito Yogya sekaligus nengok istrinya yang baru menjalani operasi bagian perut. Dalam kesempatan ini, angera mengajak teman2 untuk turut mendoakan, semoga istri Mantep segera pulih dan sehat sehingga dapat kembali menjalankan aktivitas sehari2, amin.. No.kontak Mantep: 81227769612 (fatra)

Label:

Jumat, Juni 19, 2009

Intermezo (lagi)

Kertas Pink dan Tuhan Bersaing di Pesantrenku: Roman Kecil si Santri Kecil.

By: Yuniyanti Chuzaifah

“Solihah, Wiqoyatun,Nur Fadilah, lalu..lalu..lalu...deretan nama dipanggilnya tak berekor seperti Nazi sedang mencacah orang Yahudi dimasukkan ke kamp konsetrasi! Tegas dan pasti! Lalu aku berpindah tanya, “sudah ada yang daftar”?: “Sudah! Ada Azizah, Nokilah, Nur Hikmah,Wawang, Mamah..”

Oh ya itu konsulat Tegal! Yang pertama konsulat Batang Pekalongan. Oh my God! Kapan aku dapat giliran mandi, kalau setiap mandi harus ngantri melompati rantai konsulat yang tak berujung begini? Bahkan yang sudah mandipun didaftar biar tidak ada lubang orang untuk menyelip. Lalu kucari Misri, Fatra, Uus, Waty, Dini, Any, Hetty, Bina, mbak Nina..Alhamdulillah, ada salah satu mereka! Lalu aku blussss!! masuk tanpa salam dan mandi berdua atau bertiga..yang penting basah oleh air kuning agak anyir dengan tembok lumut yang melekat dihela nafasku.

Sore itu kupakai Citra lotion yang pada masanya serasa pakai lotion product Van Der Bilt, Nina Richie, Rituals karena Citra si kuning adalah pelopor lotion warna non pink yang menyerbak ngrasuk kekulit remajaku yang baru injak 12-an kala itu. Ini aku yang kecil karena kurang gizi, maklum waktu kecil susah makan dan sakit gigi tak pernah henti. Ini aku yang hitam bersisik kering dan temblong-temblong karena alergi pinycilin malpraktek dokter dikulitku, Ini aku yang datang dari sebuah pelosok desa kecil tapi sangat bersurga. Betapa tidak? Ayahku selalu memanggilku cemening dan menganggap aku princess kecil yang selalu dipujanya. Ibuku yang tak pernah verbal bilang mencintaiku tapi rela menaruh kembang ditempat pencilku untuk menghentikan isaknya dan meyakinkan dirinya bahwa aku akan terlindungi oleh kembang magic itu selama aku nyantri. Lalu ada kakekku yang selalu memujaku sejak kecil bahwa aku manis..dan itu belum cukup baginya. Selalu dia tambahkan kalimat sama dan berulang untuk meyakinkan entah siapa: “wong putih dipandeng pisan cukup, wong ireng sak tleraman ra ketok, ning yen dipandeng metu manise”(orang putih kalau dilihat sekali cukup, tapi orang item, dilihat sekilas “nothing”tapi kalau tambah diamati…manisnya akan timbul”). Ya, tenaga cinta mereka membuat aku tumbuh menjadi orang yang sangat percaya diri, merasa teduh dan secure diterima siapapun, dan lupa bahwa aku punya tubuh yang tidak kompetitif ini.

Melanjutkan soreku diteras depan Nusa Indah sambil menikmati gemericik kolam kunci, aku duduk menanti maghrib. Aku ingat, pakai kaos putih bermotif setengah lingkar meronce sekitar leher, dengan bawahan batik yang kujiplak dari baju Uus dan kujahit di pak Rapi belakang Kalpataru. Pak Rapi (nggak tahu siapa nama aslinya, karena santri selalu semena-mena panggil orang, seperi mbak Burjo dll) pernah rame dituduh ke Belanda, padahal istrinya nyebut Blondo Muntilan yang dikira santri Jakarta, Blondo itu Jawanya Belanda.

Balik ke aku lagi..aku merasa sore itu punyaku, kuraup semua keceriaan yang melintas. Sambil santai aku diminta kawan menjelaskan soal fiqh, kuajari santai karena Tuhan mengetahui lemah fisikku dan sedikit mencharge otakku. Lalu tiba-tiba konsentrasiku diinterupsi kawan yang mendekat:
Ïni ada surat”.
“Dari siapa?
“Buka aja coba..”, sambil mukanya meledek bikin penasaran.
Dug,dug,dag,dig,..huh, setengah nyawaku seperti ditarik ulur dari pori-pori ubun-ubunku.
“Surat pink! Harum! Bersaing sama lotion citraku”. Lalu aku pura-pura tenang. Kembali kujelaskan Fiqh ke temanku, kukumpulkan semua konsentrasi untuk mentransfer dan menjubelkan penjelasanku agar merangsek cepat masuk kememori pemahamannya. Cepat! Cepat! Desak tak sabarku! Waktu rasanya ingin kulipat, bukan menit,bukan detik..pokoknya sessi fiqh harus diusai!!

Aku masuk kamar menggegas, mungkin nabrak Marfuáh atau Rugaya Basyarewan NTT yang sering “sedeng”teriak menakutkan, atau aku mungkin juga nginjak kaki Endang kakak Riana Idayanti yang centil seksi dan kegenitannya melebihi usianya. Aku lupa bahwa disana ada Lily Ahmad gadis Manado yang punya setrika listrik merah, koper kosmetik merah, lemari raksasa dipojok yang merajai asrama, teringat rambut panjangnya dan hobinya yang heboh itu. Aku juga lupa ada Lia, Sumiyati yang hobinya ndeprok seperti model yang mau dilukis tapi ditinggal tidur pelukisnya berjam-jam. Aku juga menembus pandang Nuri kawan Riau yang kalau main pimpong jago tapi kalau mencibir tujuh windu masih melekat, ingat Meimun yang anggun tapi kalau tidur kayak kincir Angin Belanda, aku juga nggak peduli ada pendampingku mbak Oti, mbak Yayah, mbak Mastoyah..aku lupa..lupa ada mereka disekelilingku…Aku tak ingat Fatra, karena dia di kamar berdikari..sesekali senyum saat berpapas.
Aku hanya ingin menyudut, memasukkan kepalaku ke lemari kayu kecil yang dibeli ayah ibuku di pasar Muntilan, aku singkirkan termos kecil yang aku beli di toko Kompliit untuk memberi ruang kepalaku menyelinap untuk membaca surat itu. Kubuka pelan, tapi tak sabar..ada yang tersobek sedikit..wow..berlembar-lembar! Surat tebal…pasti aku tak bisa selesaikannya sebelum maghrib..Kubuka, kulihat deretan huruf rapi..kubayangkan surat ini ditulis di sebuah asrama sebrang sana, atau dieja sambil bersembunyi atau menyepi di pinggir kali Pabelan yang penuh bongkahan batu dari perut Merapi itu, atau barangkali nulisnya nyuri-nyuri dikelas saat guru menjelaskan mutholaáh…

Aku lupa kalimat-kalimatnya….tapi puisinya menggila dimasanya. Aku seperti terbang naik Adam air yang melesat keatas, lalu nyungsep menghilang kedasar laut lalu ditarik Tuhan ke langit lalu dipelanting ke salju Antartika…...wow! Ini rasanya kali pertama aku dapat surat cinta! Kubuka lembar, lembar, lembar. Ups, Azan mulai menggegas. Ya, azan yang biasa aku suka, kali ini hampir kumarahi muázinnya karena tak pengertian. Ingin rasanya loudspeakernya aku matikan dan pura-pura tak dengar. Yah, aku menyerah, aku lipat rapat surat ajaib itu, lalu kuletakkan diselipan baju-bajuku.
Sore ini aku “musyrik”, karena “menyekutukan” Tuhan. Tuhan kali ini ada pesaingMu, karena rasa aneh didadaku ini. Yang ada bukan Dia semata lagi , karena disaat apel dengan Tuhan, totalitasku berkurang. Tapi salah siapa? Aku tak meminta rasa ini Tuhan! Untung ada lagu “tulil”(ilahi lastu-lil firdausi ahla) syair Abu Nawas yang rintih lirihnya bikin nyawa menunduk “Tuhan aku tidak layak jadi penghuni Surga Firdaus, tapi aku juga tidak sanggup dengan siksa api neraka”. Syair ini menetralkan musrikku..aku menengadah menikmati temaram sore, membiarkan matahari redup mengistirahat, kumanjakan diri melihat daun kelapa menari menjentikkan jari-jari ujung lidinya, kusapa dengan mata ramahku kepak burung terbang diatas kubah masjid itu dan aku biarkan diriku bercengkerama bisu dan hangat dengan penghuni langit diatas sana, bertanya? Ada apa ini? Ada apa ini?

Selepas maghrib dihalaman masjid, saat jamaáh santri pulang, debu juga mengepul seru. Mengaji saatnya! Saat aku mengambil qurán kulirik surat itu lagi, kusentuh pelan untuk meyakinkan diri, ya masih ada aman disana! Lalu bel makan malam berdentang. Awalnya masing-masing punya piring, tetapi siwaktu memakan buas piring-piring itu. Karena kohesi pertemanan juga membuat kami para santri memilih gaya bohemian tak sopan. Kami makan dinampan besar, saling bersenggol dan berebut jari, untung belum pernah terjadi jari teman termakan masuk mulut dikira lauk. Aku makan sama mbak Wiwik Nurul Azmi, mbak Elok Andini dan pernah sama mbak Lily (begitu aku panggil dia waktu itu, karena sopanku dan karena kecilku, sampai semua aku panggil mbak. Ada mbak Meimun, mbak Ida..mbak Iánah, mbak Nina, kabeh mbak!. Aku tawarkan sambal buatan ibuku dari kampung, lalu Lily mengeluarkan sambal ikan roa yang bikin duapuluh tahun tak lupa. Pedas, kering dan mengesan. Sampai-sampai waktu aku ke Manado, aku borong disalah satu toko di Airport jelang pesawat sudah mulai siap menggeliat. Sayang tinggal 4 dan kecil-kecil! Untung aku sudah sibuk bertanya bagaimana cara buatnya sama teman-teman, katanya pakai kacang kawangkoa segala! Ah, aku kangen sejarahnya…aku tak ingin memasaknya, aku mau rasa yang sama!
Habis makan malam, sholat isya’berjamaah dikamar yang berpenghuni 40-an orang itu. Berdesakan dan seru. Lalu setelah itu satu orang maju, seperti sedang pelatihan satpam..yang didepan mbengok (teriak) yang duduk bareng-bareng ngikutin kayak bikin yell! Sedang apa mereka? Yah, kami sedang menghafalkan mufrodat/vocab yang kami cicil tiap hari dua kata, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Otot leher sampai mengeras seperti besi 1 inch dan peluh keringat mencucur cukup cepat bikin mukena bau. Semua demi 2 kata yang aku sudah hafal sejak 2 kali disebut tadi, tapi dipaksa puluhan kali! Sampai kadang aku pura-pura buka mulut ikut tapi nggak bersuara menipu. Uh, kapan selesai mufrodat ini? Yah..di Pesantren ini semua orang diterima, yang hafal satu kata dalam seminggu juga akan hepi disitu. Awalnya aku merasa ini sekolah macam apa? Belakangan pas banyak baca buku pendidikan baru tahu, bahwa tanaman hebat akan bagus apabila disemai dilahan subur dan berdekatan dengan aneka tanaman yang rendah maupun besar ketimbang monokultur! Belakangan aku tambah berdecak untuk kyai dan pesantrenku, setelah ratusan decak lain bermunculan, sayang tak tersusun menjadi melodi natural.

Habis mufrodat, rantai ritual wajib masih panjang! Kami semua wajib belajar. Suasana seru! pada centang perentang memilih tempat belajar sendiri-sendiri. Ada yang diatas tumpukan kasur, ada yang didalam lemari, ada yang dipinggir kolam kunci, ada yang diteras sambil lihat santri putra melenggang, ada yang bawa tikar lilin kayak orang mau piknik dan camping seminggu lengkap dengan snack seabreg. Pas iseng aku tengok temenku yang picnik ini , nggak sampai 30 menit rupanya sudah lelap tidur deket kelas waru, ditemani lilin yang melumer bosan. Nyamuk nggigitpun dikira cubitan kecil sukaannya. Lalu ada temenku Baroroh yang sulit tertakhukkan prestasinya, karena kalau menghafal sampai mendelik, bola hitam matanya hilang..sampai aku ketakutan kalau nggak balik. Lalu ada Marfuah (lagi) yang belajarnya didepan kaca, bawa sisir, mlintir –mlintir rambut dan giban-gibig kepala melulu, sampai bikin aku bingung. Tapi dia cerdas kalau bernyanyi. Setiap kita bilang “dimana ya sajadah”..dia akan nyahut dengan lagu yang ada kata “dimana”. Pokoknya soal lagu dia boleh bersaing sama Nia Daniaty atau Iis Sugianto. Baroroh kalah!

Lalu kapan surat pinkyku kubaca? Dia masih menggeletak disana..aku takut ketahuan pendampingku, katanya akan disita..Ah, mahal kalau surat bersejarah itu terampas dan tak akan sempat kubaca. Tapi masak pendamping sejahat itu. Kami pernah protes dengan lagu yang bikin para pendamping marah. Syairnya masih mengiang sampai sekarang “mbak pendamping juga jatuh cinta, apalagi anak buahnya..jatuh cinta...karena panah asmara!!

Huh...indah dunia. Santri juga bisa jatuh cinta, santri juga manusia, santri juga punya usia. Kenapa “kealiman” diartikan harus beku terbekam dan teredam? Terimakasih Tuhan, cintamu telah aku nikmati, melalui surat pink Kau ingin bilang, cintai Aku seperti getar rasa ketika pinky itu datang. Ya..si pinky bukan PINGI! Pak tukang kekar, yang kelelakiannya tak diaku karena bisu itu...Oh Pinky and Pingi..Sejarahku, sejarah kami santri putri terekam aman dimemorimu.

Leiden, 25 Maret 2008.
Menara Witte Rozen straat 44.

Label:

Kamis, Juni 18, 2009

Ajakan kak Ana Suryana

Berangkat dari dedikasi seorang Ana Suryana (kakak kelas kita) yang ingin memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan beribadah masyarakat kampung Garahing, Sindang Karya, Anyar, Serang, Banten dan siswa SMP & SMK Sindang Karya (binaan beliau dan istri, mbak Sulasiah, alumni juga), maka digagas "Pembangunan sebuah Masjid". Untuk mewujudkannya, diperlukan dukungan dan bantuan riil dari berbagai pihak. Dalam lawatannya ke Yogya (sebelumnya ke Semarang), kak Ana Suryana menitipkan proposal kepada kak Ilyas yang berisi ajakan partisipasi merealisasikan rencana pembangunan masjid tersebut. Kak Ilyas telah menyampaikannya saat pertemuan IKPP Yk 14/6/09 dan terkumpul dana Rp.1.250.000,- (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) dengan perincian: Nanik hayati: 100.000, Ilham M.Noor: 100.000, Siti Syamsiyatun-Arif Prajoko: 200.000, Dede Zakiyuddin: 100.000, Nurkholish SH: 100.000, Rajasa M: 100.000, Jamaluddin, Tarwoco, Dadin, Basroni, Tituk, Uswah, Rusnani, Fatra, Fajar, Ilyas dan Sholikhah masing2: 50.000. Uang tersebut telah ditransfer ke rek. pembangunan masjid oleh penanggungjawab pengumpulan dana di Yk, Arifin Ilyas, selasa 16/6/09. Bagi teman2 alumni yang berkenan membantu, dapat langsung transfer ke: BRI Unit Anyar Cilegon: 3470-01-000002-50-7, atas nama: SMP Sindang Karya. Atas doa n bantuannya, diucapkan terima kasih. Jazakumullah khairan katsiro.
Penanggungjawab Yogya: Arifin Ilyas, diketahui ketua IKPP Yogya: Arif Prajoko. (fatra)

Label:

Selasa, Juni 16, 2009

Meeting Juni













Di dalam sebuah pertemuan (Ikpp yk, 14/6/09), ada perjamuan, pembicaraan dan kesepakatan. Sebagai tuan rumah, Kyai Fauzan persembahkan perjamuan yang istimewa: sop daging panas, lele goreng, tempe goreng, urap, lalapan, sambal super pedas, dll. Semua menggoda lidah tuk terus nambah (tanduk). Setelah perut kembung oleh makanan, muhadharah rutin dimulai. Terbawa suasana pengajian pondok desa ala Jawa, MC (mas Andung) berbahasa Jawa, dilanjut sambutan tuan rumah (Pak Fauzan), mbak Isti cerita tentang persiapan training behavior anak alumni, p.Ilyas ttg proposal mohon bantuan dana pembangunan masjid Ana Suryana dan Irfan Islami (adik sepupu mbak Rusnani) tentang pentingnya asuransi Takaful Syari’ah. Semua fase acara dijalani dengan dialogis n kekeluargaan, dalam senyam-senyum, gelak tawa ceria hadirin. Terima kasih Pak Kyai Fauzan. (fatra)

Label:

CERPEN sebuah Intermezo

TERSESAT
Oleh: Fatrawati Kumari

Suara itu sangat berisik, bergemuruh seperti deburan ombak besar, mendengung (ngiung-ngiung) seperti suara kerumunan tawon yang siap menerkam pengganggunya, bergema memantul di setiap pojok dinding kamar. Suara-suara itu adalah suara hari2 pertama yang ku dengar saat terjagaku di kamar ini. Aku merasa sangat tidak familiar. Aku ingin kembali ke suara yang biasa ku dengar di pagi hari. Suara gemertak panci, wajan, rebusan air dan langkah pelan ibuku menyiapkan sarapan untukku dan keluarga. Aku berusaha berada dalam suara itu, tapi tak bisa. Aku sudah terlanjur ada dalam suara asing ini. Aku tak bisa keluar lagi.

Aku memilih mengalah dan membiarkan telingaku mendengarkan semuanya. Ku coba cermati suara apa yang massif ini seraya ku buka lebar-lebar mataku. Ku sibak selimut loreng-lorengku yang kemaren baru dibelikan ibuku di pasar Muntilan. Ku amati sekelilingku dan ku cari sumber suara itu. Perasaanku tak menentu ingin segera tahu “apa kah ini?”. Rasa penasaran kian menjadi, gusar tak jelas arah. Beberapa lama mataku melihat ke setiap sisi kamar. Ku lihat, banyak teman-teman baruku mengenakan rukuh/ mukenanya, memegang sesuatu dan membacanya dengan mulut yang komat-kamit. Sekarang aku baru mengerti suara apa yang sekarang menguasai pendengaranku dan kesadaranku saat ini. “Masya Allah!”, entah aku sekedar berguman heran atau takjub. Suara itu adalah suara orang mengaji (tadarus). Ya, aku kini tahu. Mereka, teman-teman baruku itu sedang “mengaji” yang dilakukan usai solat subuh.

Meski dari segi waktu bersamaan, namun karena mereka melakukannya secara individual, maka suara, intonasi, gaya dan cengkok yang mereka hasilkan menjadi sangat beragam, sesuai kemampuan dan style mereka. Ada yang super cepat, lancar buru-buru seperti dikejar-kejar penjahat. Ada yang santai gontai. Ada yang lembut mendayu. Ada pula yang sangat lambat, kombinasi, antara gaya mengeja, terbata-bata alias kurang lancar. Mungkin jika aku mengaji, akan mirip dengan gaya yang terakhir ini, sebab guru ngajiku di kampung tak pernah mengenalkanku dengan ilmu “tajwid”. Kata guruku, “yang penting lancarkan dulu lidah kalian nanti hati kalian akan mengikuti”. Itulah yang membuat ngajiku jelek.

Kembali telingaku mengarungi suara itu. Melodi dengan notasi hati, terukir dalam huruf-huruf, terlafal rindu akan keabadianNya. Semua suara, semua gaya dan cara mereka berpadu jadi satu rangkaian, membentuk sebuah nada irama gado-gado, bergemuruh…. antara suara badai laut dan gerombolan tawon….. Tuhan ! Hatiku berteriak keras, aku bertanya-tanya sendiri: “mengapa aku mesti mendengar ini di sini, di tempat ini?”. Aku memang mencintai suara ini, karena suara ini adalah suara Tuhanku yang berkelana melewati lidah tenggorokan bibir teman-teman baruku, tetapi yang aku sesalkan, kenapa mesti di tempat ini? Kenapa di sini aku sendiri, terpisah dari keluargaku? Tidak di rumahku saja? Di rumahku ada segalanya: ada ayah, ibu, adik-adikku, juga ada teman-teman, guru.. Andai waktu bisa diputar terbalik beberapa hari saja, aku ingin kembali pulang ke rumahku. Jika diijinkan untuk kembali beberapa hari sebelum sekarang, aku berjanji, akan melakukan apa saja, asal aku jangan dipisahkan dari mereka. Aku rindu ibuku dengan segala omelan dan cara sayangnya padaku. Aku rindu ayahku yang bekerja keras demi aku dan adik-adikku. Aku rindu mereka semua.

Keadaan yang menyedihkan ini memaksaku untuk membuat perbandingan antara sekarang di tempat ini dan kejadian beberapa hari yang lalu, di rumahku. Mungkin perbandingan ini tak akan ada jika aku tak berada di sini. Sebelumnya, aku merasa semua baik-baik saja. Jika aku di rumah, aku merasa punya keluarga, jika aku di sekolah, aku merasa punya guru dan sahabat yang baik. Aku merasa sangat nyaman. Apalagi, baru sebulan yang lalu aku menjadi pelajar di sebuah SMPN favorit di kampungku, tentu berat bagiku untuk meninggalkannya. Sepeda baru yang selalu menemaniku ke sekolah harus ku tinggalkan. Begitu juga Rini teman barengku bersepeda.

Sekarang semua keindahan itu lenyap oleh gemuruh suara dan hiruk-pikuk kamar ini. Aku tak mau mendengar, melihat, merasakan dan mengalami lagi kenyataan ini. Yang ku mau hanya mereka, suara ibuku yang memanggilku minta ku membantunya menjaga adik atau suara tangis adikku karena ku ganggu. Yang ku mau hanyalah hari-hari indahku diantara keluarga. Air mataku menetes deras membasahi selimut lorengku, mengaliri bantalku….. Perasaan berkacamuk antara sedih, pilu, marah, sebal dan ketidakmampuanku melawan takdirku. Takdir, mungkin merupakan istilah yang paling tepat bagi keadaanku saat ini, meski aku tak terlalu mengerti maksud yang sebenarnya. Bagiku, takdir kurang lebih sama dengan nasib, yaitu sesuatu yang mesti ku jalani.

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara teman baru yang kasurnya bersebelahan denganku. Kalo nggak salah, namanya Sri Agustina berasal dari Cirebon. “Mbak, ayo bangun, jangan tidur terus, apa habis nangis ya?, kok matanya merah dan bantalnya basah?”. Ku jawab sekenanya: “Nggak apa-apa kok”. Teman baru itu bersuara lembut mewanti-wantiku lagi agar segera mandi dan solat subuh, sebab nanti siang akan diumumkan pembagian kamar dan sederetan kewajiban sebagai santri. “Udah, ayo cepat mandi, mumpung kamar mandinya banyak yang kosong, nanti keburu penuh diambil orang. Beberapa hari ini, ku amati kamu menangis terus. Lama-kelamaan matamu bengkak lho. Kita semua disini senasib kok, sama-sama jauh dari keluarga. Nanti kalo udah ada pendamping, gawat! kamu malah bisa dimarahi mereka, sebab kata orang-orang, pendamping itu orangnya tegas dan seram”. Teman itu kembali berusaha memberi penjelasan. Ku lihat wajahnya putih, segar berseri dan ceria, sangat siap menjadi seorang santri. Sementara aku? Ku dengar sekilas, katanya, aku sudah beberapa hari di sini? Entah lah. Air mataku kembali deras mengalir, melebihi air bah atau Niagara air terjun terpanjang di dunia. Ku harap, airmata akan membanjiri seisi kamar agar aku dapat mengapung seberangi laut dan tiba di rumahku…..
**cerpen ini ditulis saat reuni angera plus sktr 1 th yl (posting oleh nuri)

Label:

Kyai Fauzan











Kyai M. Fauzan 'Adzima adalah salah satu diantara sekian banyak alumni yang mengabdikan diri sepenuhnya tuk masyarakat. Setelah menimba ilmu di Pabelan, tahun 1981, tak terbersit di benak kakak kita ini (angk’ 76) untuk menjadi “pegawai” atau sejenisnya. Keinginan beliau hanya satu, yaitu “berbagi” (ilmu, krn itu yang ia miliki) tuk orang2 di sekitarnya (Ponggok Pande, Jetis, Bantul, Yk). Ia mulai dari anak2 kemudian jumlah santri semakin banyak dan merambah ke semua umur. Tahun 2001, terbangun Pondok sederhana tempat berkumpul dan belajar (Pondok Pesantren "Al-Furqon"). Pengajian (semacam TPA n pembinaan akhlak) mulai diatur/ diorganisir. Setelah zduhur, tuk anak2 pra TK s/d kls 2 SD, setelah Asar, kls 3 SD s/d kls 6 SD, stlh Magrib, tuk SMP s/d SMA (sesuai level masing2). Untuk orang dewasa, ada pengajian tematik praktis berkenaan dengan kehidupan sehari2. Ada pula “istigosah” rutin tiap 35 hari atau selapanan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Biasanya istigosah diikuti masyarakat luas dari berbagai desa/kampung. Meski gempa pernah meluluhlantahkan fisik pondok itu, tapi “jiwa” seorang "guru" tetap menggelora di hati seorang Kyai Fauzan. Dengan mengerahkan segenap kekuatan, puing2 itu terbangun kembali. Meski sederhana, tetapi seperti surga yang nyata bagi mereka yang haus ilmu Ilahi. Hari2 sang Kyai terus berjalan diantara cinta para santri n masyarakat desa yang tulus, dalam kesabaran, ketekunan dan kebersahajaan yang tiada tara. (fatra)


Label:

Minggu, Juni 14, 2009

Mereka Yang Ber-Jagoan

Biar ganti suasana, Angera kali ini menurunkan wajah jagoan-jagoan ganteng hasil kreasi para alumni. Kebetulan 3 keluarga sakinah ini punya jagoan yang te-o-pe..jadi siapa tahu ada yang tertarik mau besanan.

Kali ini, jangan amati Maman Fauzi ayahandanya, tetapi amati jagoan-jagoannya. 3 jagoan ini lincah-lincah, pintar dan ganteng.... pokoknya berhasil melakukan revolusi perbaikan keturunan!! Ada yang tertarik berbesan ria? Uniknya, selain punya 3 jagoan, keluarga ini juga penyuka Bali...dan kayaknya keluarga dibawah ini saling janjian deh.

















Selain mereka ber-Bali ria, Rina Rahmawati dan sang misoa ini juga sudah punya 3jagoan yang menggemaskan, lucu, aktif-aktif dan pasti pintar2. Memang perpaduan Indo itu cakep-cakep. Pasti kalau tinggal di Indonesia sudah diperebutkan jadi artis tuh... gimana kalau kita alumni bikin film sendiri ber-setting Pabelan dengan artis para anak-anak kita yang tak kalah dengan artis-artis beken? Rina membesarkan putra-putranya di Thailand (jelas kan? Karena hingga saat ini masih ada yg meragukan karena beredar kabar Rina telah berpulang...pas dikabarin soal berita ini Rina bilang: " maunya sih sehat terus panjang umur tambah doanya aja".


Kalau yang ini? Rama Sakti ananda dari Diah Rofika dan Syafiq Hasyim yang juga punya stock 2 jagoan canggih. Pokoknya jagoan-jagoan diatas, punya jaminan mutu deh.Sekali lagi ada yang tertarik besanan??

Tak terasa waktu berkelebat cepat..anak-anak sudah mulai bertumbuh meloncati kita. Semoga jagoan-jagoan disini dan anak-anak kita semua para alumni akan membuat dunia tersenyum bangga. Moga-moga mereka walopun berdasi tetapi tetap berpeci (hatinya)...dan mengenal man jadda wajada, menafasi motto pondok dan panca jiwa pondok (kalau mama=papanya gak hafal, buka di Angera (sebelah kiri dan bawah) ya.../yun

Label:

Ceng2&nina's family


Asyiknya kalau pergi jalan-jalan
Tak lupa mencoba aneka minuman
Santri asal Bali ini mondok di Pabelan
Ketemu istri tercinta dari Kuningan


Inilah salah satu pasangan santri yang cintanya abadi. Dari Pabelan berpacaran sampai sekarang sudah punya dua momongan. Mereka adalah Siraj Sirajudin alias Ceng ceng alias CC dengan Nina Nurmila. Keduanya satu angkatan di bawah Angera angkatan 82. Ceritanya, Nina ngajar di negaranya Arnold California ditemani seluruh keluarga. Sekarang sudah kembali ke Indonesia. Selamat kembali ke tanah air ya...semoga pengalaman yang didapat dari negeri seberang bisa bermanfaat dan menjadi nilai tambah dalam kehidupan sehari-hari.(nuri)



Nina bersama teman-temannya di Amerika.

Label: