Kamis, November 27, 2008

PERJALANAN MENUJU NEGERI MBELAN

Part XI

Sambutan berikutnya dari Ustad Habib Chirzin. Ustad kita satu ini memang piawai ber-muhadhoroh. Penguasaan bahasa Arab, Inggris, Indonesia, dan tentu saja Bahasa Jawa halus atawa “kromo inggil” kian menambah daya pikatnya kala berbicara di atas mimbar. Ia memang memiliki modal sosial, intelektual, dan kultural tak tergoyahkan untuk bicara di lingkungan pesantren. Pantas saja pengurus yayasan mendaulatnya untuk mewakili keluarga besar Pondok Pabelan, di forum yang langka itu.

Ia tak ragu menyitir ayat suci untuk mengukuhkan argumen atau pilihan hidupnya. Ia bahkan terlihat percaya diri kala mengucapnya. Ini penting dipertegas di sini karena ada alumni pesantren atau intelektual Muslim yg tak suka—bahkan cenderung menghindari--mengutip ayat kala ngomong atau nulis. Ane bahkan pernah mendengar ketidaksukaan mengutip ayat tersebut langsung dari mulutnya. Mungkin karena dianggap kurang keren atau tidak ilmiah atau ndeso atau khawatir akan merontokkan identitas kecendekiawanannya. Pada titik ini ia seperti Cak Nur, penarik gerbong pembaruan pemikiran Islam yg ane kagumi itu, seniornya di Gontor dulu.

Di panggung besar itu, Ustad Habib tampak berhati-hati memilih dan memilah kata. Tapi satu hal terang: ia tampak yakin dengan apa yg diucapkannya—sebentuk sikap yg selayaknya memang harus dimiliki oleh seorang tuan guru plus macam dia.

Beberapa kali ia seperti menarik nafas panjang, sembari mengarahkan pandangan ke depan, menahan haru, mungkin. Ia seperti tengah membayangkan kehadiran Kiai Hamam di forum itu, di siang yg mulai agak terik.

Di atas semua itu, ia adalah salah satu prototipe santri Jawa tulen yg berwawasan kosmopolitan. Pergaulannya luas, melewati batas-batas geografis suatu negara. Wawasan dan visinya jauh melesat melampaui pagar halaman rumahnya, yg tak kecil itu. Ini tentu berbeda dengan visi para politisi kita yg jangkauan visinya hanya selebar pekarangan rumah, tipe 36 pula—seperti kerap disinggung Buya Syafii.

Entah kolong langit mana yg belum tersentuh kaki ustad yg istrinya alumni Pabelan ini. Ia mungkin sudah lupa berapa banyak negara yg telah dikunjungi, dan berapa kali pergi. Ke Israel pun ia pernah. Kolong langit mana lagi yg belum dilongok, coba?

Juga, entah tokoh besar mana di republik ini yg tak mengenalnya. Sekadar contoh, meski ia adalah salah satu tokoh Muhammadiyah, tapi itu tak menghalanginya untuk berdekatan dengan Gus Dur—the last greatest man in NU itu. Bahkan hubungan keduanya boleh dikata amat lekat. “Gus Dur berbahasa Jawa halus kalau ngobrol dengan saya,” kata Ustad Habib, di panggung besar itu. Dan ia akan membalasnya dengan kromo inggil yg lebih maknyus.

Pada mulanya Ustad Habib adalah santri Jawa tulen.

Pada 2002 silam, di sebuah ruangan di aula Masjid Al-Azhar, Jakarta, digelar launcing buku “Bang ‘Imad: Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya.” Sebagai salah satu penulis dan editor utama dalam buku itu, ane ditemani seorang teman, Ustad Zahari, ada di tengah2 para undangan yg notabene adalah kolega dan kader2 Bang ‘Imad dulu, baik di HMI atau ITB, di ICMI atau CIDES. Mata ane menatap banyak undangan yg menjejali ruangan yg tempat duduk dan kursinya telah didesain bagai hotel berbintang. Ada Hatta Radjasa, Alimin Abdullah, Jimly Asshiddiqie, Indria Samego, Adi Sasono—untuk menyebut beberapa. Di tengah2 mereka lamat2 ane menatap sesosok orang yg kemungkinan besar adalah Ustad Habib Chirzin. Maklum kala itu ane belum mengenal secara detail wajah Ustad Habib dan malam itu, di tempat itu, para hadirin berjejal bagai di pasar malam.

Belakangan ane tahu, Ustad Habib adalah salah satu kolega Bang ‘Imad. Bang ‘Imad sendiri adalah salah satu tokoh utama penentang rezim Soeharto dan dianggap Benny Moerdani sebagai “the most dangerous man”. Ia yg oleh Tuan Guru Bahtiar Effendy disebut sebagai seorang “monoteis radikal” itu juga pelopor berdirinya Masjid Salman, ITB—masjid kampus pertama di Indonesia. Nama Bang ‘Imad—Allahu yarkham--itu pula yg sempat disebut Ustad Habib dalam sambutan launching buku kemarin. Ane yakin, Ustad Habib pasti kenal pula dengan Dr. Ahmad Tontonji, sekjen pertama International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO), Prof. Clifford E. Smith, pembimbing disertasi Bang ‘Imad, Dr. Anwar Ibrahim, mantan PM Malaysia yg teraniaya, atau Dr. Sugiat Ahmad Sumadji, dokter yg juga tokoh Muhammadiyah itu.

Meski Bang ‘Imad adalah orang Langkat, Sumut, tapi keramahan dan kehangatannya tak kalah dengan Ustad Habib yg asli Kotagede, Yogya itu. Kala pertama ane sowan ke rumahnya yg sederhana di bilangan Klender, Jakarta Timur sana, sekitar 8 tahun silam, ane merasakan kehangatannya itu. Ia begitu sopan memperlakukan anak kemarin petang macam ane. Ia begitu hangat menyambut tamu yg baru dikenalnya, yg notabene seumuran putri2-nya—karena itu ane lebih pantas sebagai anaknya. Ketika tahu tamu yg duduk persis di sebelahnya itu dari IAIN, ia tampak girang, dan sontak menganggap ane ustad. “Bahasa Arabnya pasti pintar,” katanya seraya menepuk-nepuk bahu ane. Ane tersipu-sipu, tentu. Malu. Untung ane gak ngaku dari Pesantren Pabelan :)

Bang ‘Imad tak risau reputasi internasional dan capaian akademisnya (ia bergelar Ph.D, bidang electrical engineering, lulusan Iowa State University, AS) akan terdepresiasi atau tercoreng gara-gara memperlakukan anak kecil macam ane sedemikian hangat dan bersahabat. Nama baiknya justru terangkat jauh ke langit kala ia memperlakukan seseorang di muka bumi dengan begitu hormat.

Syahdan, di akhir 1970-an, dan mungkin juga awal 1980-an, Kiai Hamam kerap dolan malam-malam ke Malioboro Jogya untuk makan di salah satu warung pinggir jalan (belakangan ini menjadi ciri khas Malioboro: lesehan). Di tempat ini, ia bertemu dengan segala macam orang, termasuk Cak Nun.

Jangan bayangkan Malioboro saat itu seperti hari-hari ini, khususnya sejak era 1990-an awal, dimana Malioboro telah menjadi apa yg disebut Cak Nun sebagai “etalase kelas menengah” dan “simbol kerinduan kaum kelas menengah ekonomi untuk mencicipi rasa ploretariat”. Kiai Hamam dalam satu khutbahnya pernah mengartikan Malioboro sebagai “Maalun wa baarun”: “Harta dunia”—sebuah perlambang betapa Malioboro era 1990-an awal telah bertransformasi secara kaaffah dari tempat kongkow2 wong cilik menjadi simbol2 gemerlap duniawi.

Kini di tempat yg menjadi salah satu merek dagang terpenting Kota Djogja ini semuanya kalau tidak UUD ya UUS: ujung-ujungnya duit atau seks. Padahal secara filosofis Malioboro dulu dianggap sebagai poros imajiner yg menjembatani Merapi-Kraton-Laut Selatan. Ada nuansa mistis di sana. Jauh dari kesan materialis atau hedonis seperti hari2 ini.

Dan mungkin sejak saat itu, atau karena itu semua, Kiai Hamam tak lagi singgah lesehan di sini, sejak Malioboro berubah menjadi tempat dimana gemebyar dunia tersaji secara terang-benderang, ceto welo-welo.

Seperti Bang ‘Imad, segenap simbol mentereng yg melekat pada Kiai Hamam—dari kiai sampai pembela rakyat kecil Kedung Ombo, dari pengasuh pesantren hingga arsitek lingkungan yg memenangkan Aga Khan Award—tak akan remuk atau luntur hanya karena ia duduk atau makan di tempat yg biasa diduduki kalangan bawah. Seorang profesor doktor toh tetap akan dianggap guru besar meski di suatu siang yg panas ia beli rokok eceran di warung pinggir jalan langganan mahasiswa2nya atau makan di Warung Tegal pinggir jalan depan kampusnya. Raden Mas Ngabehi toh tetap akan menjadi Raden Mas Ngabehi meski ia di suatu malam yg dingin tiba2 ngeteh atau ngopi di warung Angkringan (sego kucing, atau warung cowboy) sambil ngobrol bareng tukang becak. Sekadar membayangkan dalam pikiran pun rasa2nya peristiwa itu tak mungkin terjadi hari-hari ini.

Padahal suatu kepribadian,” demikian Cak Nun pernah mewanti-wanti, ”menjadi sebuah kepribadian tidak karena ia bertempat tinggal di suatu tempat, karena tempat tinggal kepribadian tersebut ialah kepribadian itu sendiri.”

Meski gelang emas kita jatuh di lumpur, toh tak ada penjual emas yg tiba2 jadi bodoh menganggap emas itu jadi lumpur, bukan? Meski cincin kawin kita jatuh berkali-kali ke wc dan bercampur kotoran, toh istri kita tak berubah jadi bego lalu meminta dibelikan cincin kawin baru karena menganggap cincin lama telah berubah menjadi eok. Emas ya emas, lumpur ya tetap lumpur. Eok burung ya tetap eok burung meski di suatu pagi yg cerah kita mendapatinya tengah asyik-masyuk nempel di mobil Volvo kiai.

Mustofa Muchdhor,
Vila Pamulang, 26 November 2008
(Bersambung)

MARI BERBAGI.......



Tentu tak ada dari kita yang menginginkan mendapat sakit. Tapi ketika sakit itu datang, kita tak bisa menghindari lagi.

Saat ini, sahabat kita, kakak kita, adik kita, Amien Fardiyan sedang diberi cobaan oleh Allah berupa sakit stroke dari diabetes yang diderita. Hal ini berlangsung sejak akhir Juli 2008. Dan saat ini masih menjalani pengobatan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Oleh karena itu, angera mengetuk hati kita, sesama alumni Pabelan, untuk bisa berbagi beban yang dipikul saudara kita ini dengan menyisisihkan sebagian harta kita untuk pengo
batan Amien.

Betapa indah arti persaudaraan kita, jika bukan hanya kebahagiaan kita selalu bersama, tapi dalam kesulitanpun kita bagi bersama.

Sekali lagi Angera mengetuk hati kita untuk sama-sama berbagi,dengan mengirimkan sebagian harta kita ke: Mohamad Amin, No rek: 0158-463-298 BNI Syari'ah KCU Fatmawati. Atas keringanan dan keikhlasan rekan-rekan berbagi rejeki,Angera mengucapkan Terima Kasih dan Semoga Allah SWT membalas semuanya.
Amien...............

Label:

Rabu, November 26, 2008

Ronde, Ronde

Begini lah tanda2 santri yang dulu pernah (eh, sering) jajan di luar.

Konon, duluuuu pernah menikmati ronde panas2 di Muntilan,

maka saat ada kesempatan, maka nostalgia ngeronde

pun seperti ingin diulangi lagi.

Di malam yang pas,

waktu yang pas

Pas kebetulan…

pulang dari rapat panitia launching

kebetulan mbak Syafa (yang punya 2 gelar doktor Amrik sekaligus ini,

biasanya zuper sibuuk sebagai dosen UIN Suka dan juga ngajar di Amrik)

berkenan hadiri rapat,

juga kak Azet alias Zainal Arifin (dosen UIN Suka dengan seabreg proyek)

berkenan ikutan hadir…juga tuk merapat

Nah pulangnya sekitar jam 10an

Memang malam belum begitu larut, tapi sisa hujan yang baru aja reda

membuat dingin tembus pori2 jaket

Kakek-nenek tua penjual ronde

di trotoar jalan Muntilan

menebar senyum hangat

sehangat semangkuk ronde panas menyengat

yang disajikannya untuk kita

Malam itu warung ronde menjadi heboh ceria

karena tawa terbahak2

memecah suara sendok

dengan tikar lesehan yang dibawa sendiri

selalu tersimpan di bagasi mobil kakak kita

maklum, abis kulakan tuk bakul tikar di pasar

sampai akhirnya bermangkuk2 ronde habis ludes tak bersisa !

Trimz yang traktir,

Trimz ronde !













keterangan foto (urut dari atas ke bwh):

1) Jaket mbak Isti penuh propaganda, maklum pejuang kemanusiaan nan sejati..

2) Sang suhu, (k Azet) memimpin seremoni, mulai dari pengakuan dosa,
pertobatan, rumpi2 dari A sampe Zet..

3) Ketua IKPP Yk (k Arif) bacakan jampi2, didengar serius orang2 sekitarnya
(mbak Isti, mbak Syafa, k Fajar, mbak Mang, k Azet n P. Jamal)

4) Asap mengepul... tanda panas ronde sudah nyampe ubun2

5) segala apa yang dapat dimakan, diminum, dikunyah, dimamah..

6) dilanjutkan dengan penjelasan "filsafat ronde" lewat guratan garis melingkar
yang sudah paten terlukis di tembok dinding ronde, by ketua IKPP Yogya.

7) seremoni ditutup dengan hamdalah.. /f

Label:

Selasa, November 25, 2008

Serba - Serbi

Kalau ada hidangan lezat, nikmat, sedap
di setiap acara Pabelan, terutama dalam
rangkaian acara launching kemaren,
itu pasti adalah akibat kepiawaian tangan kanda kita ini.
Mbak Asmah Khairiyah,
yang berkoordinasi dengan pihak Pondok, teman2 guru
dan santri2, dalam menentukan menu, belanja, memasak
hingga siap sebagai sajian istimewa...
Sekedar kita ketahui,
bahwa bertugas sebagai devisi konsumsi
mengandaikan agar selalu siaga
wira - wiri berada di sekitar dapur dan meja saji
berhari2 baik sebelum atau sesudah acara
hingga tak tahu apa yang terjadi
di podium sana
apa yang dibahas oleh para tamu yang terhormat dan peserta acara,
apa yang ditertawakan mereka..
Anehnya, mbak Asmah cs. menikmati aja
bahkan bangga telah berhasil memikat lidah semua
mereka yang lapar dan dahaga...
Asmah Khairiyah
Kalo ini penikmat makanan Pabelan sejati
Meski foto ini kabur oleh penuhnya piring2,
tapi pemandangan orang kekenyangan terlihat jelas.
Gimana nggak, yang namanya Maman Fauzi
kalo ngambil tahu kotak rebus, tak tanggung2
paling sedikit 5 plus kuahnya..
belum lagi ditambah tewel atau buncis rebus..
Mumpung di Pabelan sih !
Encik (Sri Suciwati),
alumni yang berprofesi sebagai guru
selalu setia datang hampir di tiap acara Pabelan
Katanya kangen dengan makanan Pabelan.
Dindin, ketua IKPP Bandung
yang selalu serius ini,
tak ketinggalan berburu predikat
sebagai pemburu makanan Pabelan
bersama orang2 di bawah ini:
Afandi n Arif Prajoko
tak sabar menunggu hidangan tersaji..

Begitu juga dengan orang2 di foto ini,
Kayaknya sedang menunggu
secangkir teh panas
tuk hangatkan suasana dingin krn hujan gerimis
yang warnai rapat evaluasi panitia saat itu /f

Label:

UNDANGAN IKPP JABAR


UNDANGAN

PERTEMUAN IKPP WILAYAH JAWA BARAT

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Tepuk BePe......

Pengurus IKPP wilayah Jawa Barat akan menyelenggarakan pertemuan alumni Pabelan Muntilan pada:

Hari/tanggal : Kamis, 25 Desember 2008

Waktu : Pukul 09.00 s.d selesai

Acara :

- Silaturrahmi

- Bincang-bincang tentang IKPP Jabar ke depan

- Muhadhoroh (siap-siap aja kalau disuruh kulaimah)

- Ngerumpi antar alumni

- Apa lagi ya....? O ya, makan-makan

Tempat : di Rumah Ustd. Dindin Solahudin

Pesantern al-Ihsan Cibiru hilir Rt. 01/02 Cileunyi Bandung

Kepada seluruh anggota IKPP khususnya yang berada di wilayah Jawa Barat ditunggu kedatangannya (tentu yang di luar Jabar pun boleh datang)

Terima kasih

Wassalamu’alaikum wr.wb.

An. Pengurus IKPP


Label:

PERJALANAN MENUJU NEGERI MBELAN

oleh Mustafa


PART I


Tak semua kawan menanggapi baik rencana mudik besar ke Pabelan. Ada yg
menanggapinya dingin2 aja, ada yg antusias, ada yg biasa2 aja. Sederet
alasan dilontarkan: dari soal biaya perjalanan hingga alasan pekerjaan.




”Panitia” pemberangkatanlah yg dibuat repot. Beberapa orang sudah
oke mau berangkat, tapi satu hari sebelum keberangkatan, beberapa di
antara mereka membatalkan keberangkatannya. Bahkan ada yg membatalkan
hanya beberapa jam sebelum bis berangkat. Kita tahu belaka, kursi di bis
semua ada harganya, tak peduli kosong atau isi. Ini nyewa, bung, bukan
nembak di tengah jalan.



Siang sebelum berangkat, Ustad Acong mengabarkan, ada dua alumni yg mau
datang, tapi hanya sanggup bayar 200 ribu untuk 2 orang. Sebab kata
teman kita itu, ketua IKPP Jakarta yg baru, dengan semangat mengatakan
gratis. Wahh wahhh... Haree gene gratis...Ane ga bisa bayangkan kalo
benar2 gratis, pasti 10 bus juga ga muat nampung para alumni :(




Maka, kabar mudik gratis itulah yg diantaranya membuat kelimpungan
”panitia” (tidak ada panitia2an sebenarnya). Bahkan kesalahpahaman
sempat terjadi. Ada sms masuk ke ketua IKPP—dan itu disampaikan kala
kaki ini baru menginjak bumi Mbelan), bahwa ada beberapa (mungkin 7 orang)
yg kompak tak berangkat jika tidak gratis.



Kata ”kompak” itulah yg membuat sang ketua gundah: "Wah ini
namanya boikot". Ane bilang, nggaklah, boikot opo? "The show must go on,
dengan atau tanpa mereka," kata ane. Faktanya, tak satu pun di antara teman
yg mau naik bis gratis itu ada yg berangkat...



Kenapa muncul rumor gratis? Dalam rapat di rumah Mbak Ikun, beberapa
alumni diminta bantu membiayai perjalananan dan syukur2 kalo ada sisa
buat bantu Pabelan dan kas IKPP JKT. Mas Profesor Komar bantu, Dr Jamhari
bantu, Mbak Ikun bantu. Tapi tetap saja kurang (rincian ini biar Ustad
Acong atau Fajri atau Furqon aja yg ngejelasin--mereka ahlinya).


Sumbangan memang terkumpul, tapi ya gitu dech, gak cukup buat sewa bus.
Maka disepakatilah bahwa alumni yg ga miskin2 amat tetap bayar full
(Rp. 250. ribu), yg mau berangkat tapi duitnya kurang bisa "nego" sama
"panitia". Yg naik di tengah jalan (Cirebon dan Brebes) ga tau bayar
berapa (emang ane keneknya? :)



Dua malam sebelum berangkat, di markas bayangan IKPP Jkt (rumah
Ustad Acong), digelar rapan dadakan. Karena serba dadakan, pesertanya
cuma sikit (ustad aries, ustad Fajri, ane, dan ahlul Bait).


Di malam itu, selain inventarisasi manusia yg hendak berangkat, plus
itung2 berapa dana yg kurang, dibahas pula aturan main pemilihan ketua
IKPP Pusat. Di tengah rapat, terjadi kontak antara ustad Acong dan ustad
Arif Prajoko yg kebetulan sedang rapat di Mbelan. Intinya: Pabelan
kurang duit, kalo bisa Jakarta bantu2lah.Dalam percakapan itu, ustad Arif
Prajoko mengabarkan juga, IKPP Jakartalah yg akan memimpin Munas.


Maka malam itu dua agenda besar digelar: itung2 dana dan bahas aturan
main. Ane sempat usulkan agar jabatan ketua umum IKPP didampingi Sekjen.
Tanpa banyak babibubebi, usulan itu disepakati.Itu usulan spontan
saja, mengikuti naluri zoon politicon saja.


Kenapa sekjen? Dan apa yg terjadi di malam itu?


(bersambung)



Part II




IKPP Pusat periode sebelumnya hampir2 tak ada “suaranya”.
“Wujuduhu ka’adamihi,” kata ahli fikih.

Seperti hantu atau (maaf) kentut: IKPP Pusat ada, tapi tidak ada: mirip
organisasi tanpa bentuk (OTB) zaman Soeharto dululah kira2. Bedanya,
meski dulu tanpa bentuk, tapi keberadaannya dirasakan—paling
tidak—oleh penguasa. Nah, IKPP Pusat kemarin2 itu ya kira2 seperti ini: ada
tapi tidak ada, tidak ada tapi ada, kalo ada dianggap tidak ada, kalo
tidak ada ya ga apa-apa.



Meski organisasi ini tanpa suntikan dana seperak pun dari Pondok (mohon
koreksi kalo salah), tapi tentu kondisi demikian sangat tidak sehat
bagi seluruh stake holder pondok. Munas—entah siapa yg berani
mengusulkan ide brilian ini—harus digelar. Pucuk pimpinan mesti diganti. Roda
organisasi harus terus menggelinding maju. Maka, diperlukan seorang
tokoh atau yg merasa tokoh atau akan menjadi tokoh atau gayanya kayak
sudah tokoh yg bisa menahkodai kapal IKPP Pusat agar tak karam di tengah
gelombang perubahan zaman, apatisme (beberapa) alumni terhadap persoalan
Pondok, dan wa bil khusus dinamika internal Pondok, santri, dan para
alumni itu sendiri.



Mengingat beratnya beban yg harus dipikul oleh sang ketua, maka ketua
umum IKPP Pusat yg baru harus didampingi Sekjen. Ditemani secangkir kopi
plus-plus (ya plus susu, ya plus gula), dan sepiring gorengan pinggir
jalan, berbagai kriteria calon Ketum dan Sekjen pun diperdebatkan.
Kepulan asap Sampoerna Mild plus Gudang Gadam filter makin membuat panas
markas IKPP DKI bayangan—meski hujan sempat mengguyur 30-an menit.



Intinya kita—Ustad Aries, Cak Acong, ane, dan Om Fajri, sepakat satu
hal: sang ketua harus punya jaringan yg kuat, luas, dan (ini yg
penting) bisa dimanfaatkan bagi kemajuan alumni dan Pabelan. Sejalan dengan
spirit mahfudzot (belakangan ane tahu, itu hadis Nabi) yg pernah kita
pelajari bareng---khoirunnasi anfa’uhum linnas—kelebihan apa pun yg
dimiliki alumni harus bisa dimanfaatkan untuk “sebesar-besar
kemaslahatan” alumni2 dan Pabelan itu sendiri. Buat apa pinter2 dan punya
jaringan ini itu kalo tak merembes ke bawah (trickle down effect) dan ke
samping (trickle side effect)? Apa enaknya menikmati segala macam hal
(popularitas, intelektualitas, duit bertas-tas) jika itu hanya untuk diri
sendiri dan anak istrinya sementara keluarga besar yg lain (alumni)
banyak yg tertinggal di “buritan peradaban”—minjam istilah Buya
Syafi’i?

Karena itu, kita sepakat, sang kandidat harus punya waktu dan mau
bekerja—syukur2 gak miskin2 amat atau nyamar miskin hingga soal pulsa dan
bensin tak mengganggu jalannya roda organisasi.



Selama ini kita tahulah, ada alumni yg punya selling point dan jaringan
luas—bahkan hingga ke mancanegara—tapi tak punya waktu untuk
mengurus IKPP. Ada juga alumni yg sebenarnya punya dua2nya tapi tak mau
duduk di kursi Ketum. Nah ini-nih, ane ga tahu apakah ada alumni yg ga
punya jaringan, ga punya selling point, tapi punya banyak waktu (karena
jobless) untuk IKPP pusat, dan konyolnya ngebet jadi Ketum IKPP Pusat? :)



Aturan main dibuat agar orang yg masuk dalam kategori terakhir itu tak
muncul di arena Munas (waduh bahaya deh kalo muncul). Tentu saja kita
pengen yg--meski gak ideal2 amat--paling tidak mendekati harapan kita
semua: punya jaringan dan nilai jual, punya waktu dan mau bekerja.

Tapi bagaimana bisa? Pie carane?

(Bersambung)



Part III

Mengingat kriteria2 ini cukup berat dan sulit ditemukan dalam satu orang, maka diperlukan kehadiran seorang Sekjen yg bisa membantu mengeksekusi ide2 dan manuver2 yg akan dilakukan Pak Ketum. Problem terbesar alumni yg hidup di Jabodetabek ane kira adalah punya ini-itu, tapi gak punya waktu, atau sebenarnya punya waktu—meski sikit—tapi ga mau. Nah, lho….


Dari sinilah, ane sodorkan usulan formasi Sekjen untuk mendampingi Pak Ketum. Sependek ingatan ane, ga ada yg keberatan usul ini—meski di struktur sebelumnya tak ada istilah Sekjen. Dalam pikiran ane, Sekjen jauh lebih penting ketimbang wakil ketua. Ini bukan ban serep,yg muncul hanya jika Ketum berhalangan seperti banyak terjadi di ormas atau orsospol kita.


Namun ketika Ketum dan Sekjen ane usulkan satu paket, muncul keberatan dari salah satu peserta rapat dadakan itu—Ustad Acong. Alasannya, kalo satu paket maka kita—peserta Munas dari seluruh Indonesia itu—seperti beli kucing dalam karung. Mereka gak tahu track record masing-masing paket (lihat saja pilihan katanya, khas politisi Senayan, kan?!, padahal yg ngomong ini pengusaha cetakan lho:).


Ane bilang, tentu dengan guyonan khas Mbelan, mosok sih kita gak tahu latar belakang mereka? Bukankah kita satu keluarga? Bukankah segala pernak-pernik rekam jejak para alumni hampir tak secuil pun luput dari jangkauan radar mata dan telinga kita?

Singkat cerita, usul satu paket pun disepakati, tak lama setelah tawaran indo mie rebus datang … “Nda-Nda (maksudnya Bunda—panggilan pasutri yg dua2 made in Mbelan asli ini, bukan Panda), mereka mau makan mie nih, aku mau nemani mereka,” kata Kak Acong. “Walah, nggaya, wong kita yg mau temani kamu makan, kok,” sahut ustad Aries.


Sembari menikmati indo mie rebus hasil racikan Kak Tita, peserta rapat menyepakati dua hal penting: (1), Ketum dan Sekjen; (2) paket Ketum-Sekjen.

Tapi persoalan lain muncul.


Karena alumni Pabelan berasal dari berbagai daerah, maka muncul masalah: bagaimana jika Ketum dan Sekjen berasal dari daerah berbeda? Bukankah ini akan mengganggu konsolidasi, koordinasi, sinkronisasi, komunikasi, dan si-si lainnya?


Nah, usul pun datang: paket itu harus satu wilayah. Konsolidasi akan jauh lebih mudah jika keduanya berasal dari satu wilayah. Teknologi memang sudah maju, tapi pertemuan fisik tak pernah bisa dikalahkan oleh teknologi apa pun. Coba deh, apa enaknya pacaran jarak jauh :) ?


Dalam perspektif inilah, Ketum dan Sekjen, selain satu paket, juga diusulkan harus satu wilayah, dan sekretariatnya pun harus mengikuti domisili ketua dan sekjen terpilih. Soal sekretariat ini juga menerbitkan masalah lain. Sebab, kata Ustad Aries, ada yg menghendaki sekretariatnya di wilayah Kedu (mgkin Pabelan yg dimaksud mereka). Ane waktu itu bilang, pengalaman selama ini menunjukkan, gak akan efektif kalo sekretariatnya di Pabelan atau Kedu.


Ada kemungkinan sederet usulan ini akan ditentang peserta Munas lain. Tapi percayalah, every thing will be ok..Ane dah punya senjata untuk menundukkan alasan yg mungkin muncul. Yg paling seksi untuk diperdebatkan peserta Munas nanti ane kira adalah ini: Soal paket ketua dan sekjen yg harus satu wilayah. Argumen ane untuk menjawab2 keberatan yg mgkin muncul adalah: ketua dan sekjen satu wilayah, tapi pengurus2nya harus berasal dari daerah2 lain (Yogya-Solo dan sekitarnya, Semarang dan sekitarnya, Bandung dan sekitarnya, misalnya). Fair, kan!? Ini power sharing ala Mbelan yg sikit2 juga terinspirasi dari politisi kita di Senayan.

Akhirnya semua kita sepakat. Rapat malam itu benar2 cepat, tak bertele2 dan muter2 kayak mahasiswa semester I atau santri baru yg baru selesai latihan muhadhoroh.

Tapi, siapakah calon yg akan kita usung?

(Bersambung)



Part IV
Ketika sampai pada figur, muncul masalah serius. Ada suara2—entah benar entah hanya rumor--bahwa teman2 Bandung menjagokan Kak Soleh Hasan (orangnya khusu’ dan dedikasinya terhadap Pabelan/alumni tak pantas diragukan). Jika Kak Soleh Hasan diduetkan sama Kak Dindin Solahudin (ini ustad Hadis ane dulu, di kelas I B4 bareng Raja Ari), kandidat dari Jakarta bisa ngos2an. Kedua sosok itu oke bangetlah. (Belakangan terbukti paket ini hanya gosip).

Padahal kita2 sepakat, Ketum dan Sekjen diupayakan dari Jakarta. Dalam acara Halal Bihalal (iki istilah opo rek?), di rumah Tuan Guru Bachtiar, menurut Kak Aries & Kak Acong, Tuan Guru Jamhari ketika ditanya (entah siapa yg nanya) kesediaannya mimpin IKPP Pusat, tak mengiyakan tawaran ini, tapi juga tak menolak. Dalam kosmologi orang2 Jawa, menurut ane, ini berarti oke2 saja. Hanya sayang, waktu Munas, Tuan guru ini tak bisa datang karena sedang berada di Jepang (?). Padahal, kalo kandidat tak ada di arena Munas, bisa2 kalah atau ditentang peserta Munas lain.

Karena ini politik (hhmm), maka strategi harus disiapkan. Di aturan main itulah semua kemungkinan bisa lahir. Maka kita sepakat membuat aturan main supaya ketidakhadiran kandidat—siapa pun dia—dalam Munas menjadi absah dan tak menghalangi hak org tersebut untuk dipilih. Untuk meyakinkan kesediaan calon bersangkutan, sebelum dijagokan, harus ditanya kesediannya dulu, misalnya melalui telepon langsung—ini usulan Ustad Acong. Dan, semua kita sepakat. Bungkus. Ane ambil sebatang rokok lalu menghisapnya, bulll, puas.
Tapi ustad Aries bilang, utusan dari Kalimantan gak setuju kalo PNS/birokrat yg jadi ketua umum. Alasannya, katanya, gak bisa kerja. Ane kala itu bilang, “Alasan itu KPU banget dan cenderung diskriminatif” . Mafhum mukhalafah-nya, alasan itu mengasumsikan kalangan swasta paling jago kerja. Padahal, logika itu sama sekali tak benar. Maka bagi ane, kelak jika alasan serupa muncul di Munas, dan gak ada yg interupsi memprotesnya, ane bertekad angkat tangan minta waktu untuk menggugat aturan diskriminatif itu.
Untuk sementara kita sepakat—di antaranya mengikuti apa yg konon berkembang dalam acara Halal Bihalal—Tuan Guru Jamharilah yg akan kita usung buat jadi ketua umum IKPP Pusat. Lalu, siapakah gerangan yg bsia menterjemahkan gagasan2 besar tuan guru ini?
Posisi Sekjen yang sentral—setidaknya begitulah yg ada dalam kepala kita—menyulitkan kita memilih atau tepatnya menominasikan orang yg tepat. Problemnya ya itu tadi: mau dan punya waktu. Ketika Ustad Acong menunjuk—entah serius entah bercanda—ustad Aries untuk mendampingi Tuan Guru Jamhari, yg bersangkutan bilang kira2 begini: “Aku tuh kebanyakan jabatan, dari pengurus RT sampai Badminton.” Dan tawa pun berceceran.
Di Jakarta & sekitarnya memang banyak nama yg layak mimpin IKPP. Ada Ustad Nuruddin, Ustad Santoso, Ustad Aries,Mbak Ikun---untuk menyebut beberapa senior yg kerap terlibat dalam kegiatan2 IKPP DKI. Tapi mereka kini telah menjadi anggota dewan syura atau penasihat IKPP Jakarta. Dan menasihati anggota IKPP Jakarta—apalagi ketua IKPP DKI yg baru--tak kalah sulitnya mengatur IKPP Pusat, yg jangkauan wilayah kerjanya melebihi sinyal Fleksi atau Esia. Biarlah mereka berada di posisi itu dulu.
Maka muncullah nama baru, Ustad Agus Sholeh. Ada pro-kontra memang, tapi ya itu tadi, semua dapat dengan mudah diselesaikan, lengkap dengan guyonan. Sebatang rokok kembali diisap para ahlil hisab… Pusss…puas.
Di tengah perbincangan, Ustad Aries meminta Ustad Acong untuk “mengamankan” Zahari. “Kadang anak ini liar,” katanya. Maksudnya tentu saja, kalo punya keinginan atau pendapat atau usul, dia akan memperjuangkannya habis2an (ngotot, maksudnya).
“Tapi gue gak bisa. Kalo gue yg amankan, bisa2 malah ikut emosi,” begitu kata Ustad Acong. Ia malah menunjuk ane untuk mengamankannya.” Dia tuh bisa,” kata Ustad Acong sambil menarik rokok dari bungkus. Ane cuma nyengir aja.
Gorengan sudah ludes, tak ada tanda2 kopi akan ditambah, indomie rebus pun sudah wassalam bermenit2 lalu. Ane pamit pulang, jarum jam sudah hampir menunjuk pukul sembilan malam. Ustad Acong sempat menahan kepulangan ane, tapi ane bilang: “Kalo gue ga pulang sekarang, kerjaan kita besok gak kelar.”
“Yo wis mulio,” katanya. Dan cusss, ane melawan kegelapan malam, menuju Pamulang.
(Bersambung)



Part V

Jumat, 7 November

Ini hari keberangkatan. Hari itu ane off, gak ngantor ke Senayan. Menjelang siang, datang sms dari seorang kawan. “Tempatku banjir, saya ga jadi berangkat. Maaf,” kata kawan kita itu.” Wong sama air aja kok takut, pura2 gak tau ajalah,’ jawab ane.
Singkatnya, pukul setengah empat lebih sikit, setelah cipika-cipiki sama anak2 dan istri, ane tancap gas Revo ke depan Masjid UIN. Cuaca begitu muram. Bis ternyata sudah menunggu, tapi beberapa peserta belum datang. Sejurus kemudian hujan turun, lebat pula. Beberapa kawan terjebak macet, maklumlah Jakarta, ga hujan aja macet, apalagi hujan.

Sembari nunggu peserta itulah terjadi percakapan singkat di atas bus antara Ustad Agus Soleh, Ustad Aries, Ustad Acong. Ane sih cuma denger aja. Intinya: Ustad Agus Soleh sepertinya keberatan kalau duduk di kursi Sekjen. Sementara kalo paketnya dibalik, hasilnya juga akan kontraproduktif. Kala itu ane menangkap kesan, bahkan pun untuk kursi Ketum, Ustad Agus Soleh sepertinya enggan.

Begitulah... Kami terkesima, sambil nyengir kuda. Tak pernah terbayangkan dalam benak kami akan begini kejadiannya. Memang hal yg luput dan tak terpikirkan dalam rapat persiapan penyusunan aturan main (AD/ART) kemarin adalah ini: ketum dan sekjen bisa bekerja sama.

Para peserta sudah mulai lengkap. Mbak Ikun muncul, sambil senyam-senyum. Ane pikir dia mau ikut, ternyata cuma melepas kepergian…. Ustad Furqon memimpin doa keberangkatan. Ternyata ustad kita ini hafal juga doa sebelum bepergian :)
Wuusss, bus pun melenggang, jam menunjukkan pukul lima sore kurang sikit.

Posisi tempat duduk di bis nyaris menggambarkan secara sempurna posisi ekonomi-sosial- umur (bisa dibolak-balik, tergantung konteks) peserta. Yg tua (maksud ane, senior) duduk di kursi depan. Ustad Tohirun dan Ustad Jamal duduk persis di belakang sopir. Kayaknya mereka pengen sampai Pabelan duluan deh:). Di kursi sebelahnya ada Budhe--Diah Rofiqoh, dia memang minta di depan, entah apa maksudnya, mungkin biar pandangan luas. Ane gak tau siapa yg duduk di sampingnya, yg jelas perempuan juga. Di belakang dan sampingnya ada Kak Is, Mpok Pia, Mpoknya Pok Pia, Mbak Dewi, teteh (entah siapa namanya), Ustad Asok sama istrinya, belakang sikit Mbak Tita, lalu Ustad Agus Soleh, ustad Aries, Ustad Acong, demikian seterusnya ane ga ingat lagi. Ane sendiri duduk di belakang kursi Ustad Agus, samping Ustad Acong, meski akhirnya setelah sampai Subang, ane pindah ke belakang, bergabung bersama para alumni dhuafa, ehh maksud ane para alumni yg lebih muda.

Wah, skenario awal berantakan, pikir ane. Duet yg kita gadang2 terancam layu sblm dilaunching. Pembicaraan terhenti. Guyonan khas Mbelan dan orang2 pinggiranlah yg akhirnya muncul: “Paket kita adalah Acong dan Jamhari”. Demikianlah, Ustad Acong memecah kebisuan. Tawa meledak, untunglah bisnya gak ikut kebakaran. “Bukan dibalik, Jamhari-Acong. Ingat yaa,” tambah Ustad Aries. Tawa makin kenceng, sekencang bis yg melaju di jalan tol.

Pembagian air mineral, lontong dan tempe plus tahu goreng dimulai. Tak ada rebutan kayak di Pabelan dulu, apalagi korupsi tahu. Semua tertib…

Bis mulai meninggalkan kawasan UIN dan sekitarnya. Para peserta asyik ngobrol sendiri2.

Entah apa yg mereka obrolin, entah apa yg ada di pikiran mereka. Emang gue pikirin :)
Bus sudah memasuki tol Cikampek---jalanan kadang macet. Dan di kilometer sekian, bus tiba-tiba minggir. Rupanya ada seorang ustadzah (Mbak Fahimah, kalo gak salah) yg ikut. Setelah naik, pak sopir tancap gas. Cuss…

Agak pelan jalannya memang. Beberapa saat kemudian, Bus berhenti di sebuah rumah makan Sunda, sebelum Sukamandi. Semua turun sholat, makan. Terjadi kesalahpahaman antara imam dan makmum.. Di rakaat ketiga, beberapa makmum tetap duduk, sementara sang imam, Ustad Asok Ibrahim, langsung berdiri. “Subhanallah,” Subhanallah,” ucap beberapa makmun mengingatkan imam bahwa ia lupa, tapi sang imam tetap aja berdiri. Ane ikut aja apa maunya imam.

Rupanya sang imam sedang sholat Isak, sementara beberapa makmum berniat sholat Magrib. Sang Imam ternyata sudah sholah Maghrib di Bis, sementara beberapa yg lain belum. Lucu memang, para ahli fiqih pasti bingung menghukumi kasus macam ini. Selesai sholat, ane ulang lagi sholatnya: magrib baru isak, tentu jama’ qashar seperti ajaran fiqih yg ane anut. Sholat yg tadi bonuslah….

Selepas sholat, acara makan-memakan. Di jamuan makan yg menunya kurang maknyuss (karena dimasak pagi) itulah ane, Ustad Acong, dan Ustad Aries ngobrol ngalor-ngidul. Tiba-tiba pertanyaan datang, “Pie Ji, sopo pakete,” kata Ustad Acong kepada Ustad Aries.

“Kita lihatlah nanti di Munas,” kata Haji Aries. Ada keresahan di antara kami, memang. Tapi sudahlah, apa yg akan terjadi, terjadilah.

Belum habis dua batang rokok, bus sudah akan segera diberangkatkan, padahal kopi susu belum juga habis ditelan. Semua kita masuk bus, dan wusss, bus melenggang menabrak angin malam yg jahat itu.

Malam itu begitu dingin, memang. AC-nya cukup untuk membuat orang sakit flu atau batuk2. Maklum ini bis eksekutif. Sejak menikah tiga setengah tahun silam, ane gak pernah naik bis malam lagi kalau pulang ke Klaten. Ane lebih suka kereta atau pesawat. Jadi, suasananya agak panglinglah. Suara2 rombongan dan rombonganwati mulai tenggelam. Rupanya mereka sudah tidur. Mimpi apa mereka ya?

Di Cirebon dua orang teman sudah menunggu di tempat berbeda. Yg pertama Yanti, kedua Sobirin alias Bowo. Sdh lama gak ketemu anak dua ini. Sejak 1992, ane gak lihat Yanti lagi. Bowo, mgkin sekitar 4 tahun baru ketemu lagi, malam itu, di bis itu—setelah empat tahunan silam ane sempat mampir ke rumahnya, di Cirebon sana. Ngobrollah kami berdua… Banyak hal, tentu. Dari soal anak sampai siapa di antara teman kita yg belum nikah.

Sesampai di daerah Brebes, bus berhenti lagi. Ada yg nunggu dan mau gabung rupanya di sana. Dialah Ustad Agus Wahid. Ane sendiri baru kenal malam itu. Ahaa, ada pula jahe susu dan gorengan. Kirain Ustad Agus tadi mau jualan di bis, ternyata jahe susu dan gorengan itu sengaja dibuat untuk kita2, gratis pula :). “Jasu-Jasu,” kata Ustad Aries. (Jasu=Jahe susu). “Enak tenan,” kata salah satu peserta. “Enaklah, lha wong gratis,” kata yg lain.

Kita semua makan. Kita semua minum. Dan bulll….
(Bersambung)



Part VI


Tidurlah kita semua.

Bus akhirnya berhenti di sekitar Semarang. Azan subuh belum lama didengungkan. Kita turun, duduk2 sebentar sambil nunggu toilet kosong, ambil wudhu, sholat. Para ahlil hisab tak menyia-nyiakan kesempatan singkat ini untuk mengurangi isi bungkus rokoknya, atau rokok temannya. Pusss, bulll…. Tak lama berselang, bis berangkat lagi. Yg mau tidur, tidur, yg mau ngobrol, ngobrol. Pak Sopir ga peduli, gas harus terus diinjak, dan cusss meluncurlah kita ke Pabelan.

Akhirnya sampai jugalah kita daerah Magelang. Agak lambat memang. Di pintu masuk Batikan, di samping plang Pondok Pabelan, terpampang spanduk: “Selamat Datang Partisipan Peluncuran Buku Kiai Hamam dan Pondok Pabelan.”

Ternyata teman2 dari Bandung sudah lebih dulu datang, juga Jogya dan sekitarnya. Kami bersalaman, yg perempuan cipika-cipiki- -sesama mereka tentu. Jam mendekati angka delapan kala kaki kami menginjak bumi Mbelan.

Ane ketemu dengan para asatid yg dulu tampak begitu sangar :) dan berwibawa. Kami dulu sering bergetar dan deg-degan jika dipanggil—padahal cuma manggil doang :) atau papasan di jalan. Ada Ustad Cecep Suheli, Ustad Dede Suherman, Ustad Makmun Hanafiyah, Ustad Dindin Sholahudin, Ustad Salim HM, Ustad Miran QR. Mereka kini tak lagi tampak sangar :) di mata ane. Namun masih seperti dulu: berwibawa.

Wah, 20 tahun lebih ane gak jumpa mereka. Lama sekali, ya! Ada juga Ustad Soleh Hasan, dan masya Allah, Ustad Tarwoco pun ada rupanya. Kumis dan wajahnya masih seperti dulu, nyaris tak berubah. Dialah mujanib ane, yg pernah ngejar ane sembari marah besar karena masuk kamar gak pakai sandal. Dia juga pernah ngajar kursus sore: ‘Imla’. Rupanya ingatannya masih kuat: dia nggak lupa sama ane.

Duh Gusti, berkahilah hidup para asatidz ane ini, baik yg pernah mengajar ane secara langsung atau tidak….Jika mereka masih dhuafa secara ekonomi, cukupkan dengan rezeki-Mu, jika mereka ada yg belum punya momongan, segera karunia mereka. Bahagiakan hatinya, berkahilah hidupnya….

Zahari, ketum IKPP DKI yg baru, tapi belum dilantik itu, datang menghampiri ane. Tanpa beralaskan sandal, wong Aceh yg pintar bahasa Jawa ini bilang, “Lama kali bisnya.” “Biar lambat asal selamatlah. Ini bukan bus reguler, lay, tapi bus pariwisata,” jawab ane.

Perbincangan singkat sambil berdiri di depan asrama baru (dulu kelas bambu, di sinilah kita tidur bareng) samping gedung presiden itu mau gak mau menyinggung juga soal “anak-anak yg mau boikot.” Dengan gayanya yg khas, Pak Ketua IKPP DKI ini ngomong berapi2 soal anak-anak ini. Ane dengerin aje…

Lalu ane mandi, makan dan oh my God, lauk tahu yg dulu biasa kita makan kala sarapan itu, kini rasanya gak seperti dulu lagi. Mungkin karena lidah ane sudah mencicipi banyak sekali jenis masakan, mgkin pula kokinya kurang masukin salah satu bumbu, mungkin santannya kurang banyak. Embuhlah…

Di tengah sarapan pagi itu, muncul Ongah alias Ustad Muhibudin. Ia datang dari jauh, Pekanbaru. Kami bersalaman, tanpa peluk2an, tentu. Body-nya kini tampak lebih gemuk, bicaranya lebih lembut, tenang. Tiga tahun sudah kami gak bertemu.

Setelah sarapan, pergilan kita ke depun gedung Perpustakaan— di sini dulu kita biasa maen bola atau maen volly, biar gampang dilihat santri putri yg suka duduk berjejer di depan asrama Kalpataru. Di tempat ini telah berjejer-rapi ratusan kursi buat para undangan launching buku dan para santri. Di samping kiri tempat para santri putra, tengah undangan (termasuk para alumni), sebelah kanan, undangan kaum hawa (termasuk alumniwati), dan persis di depan Perpustakaan, para santri putri.

Para undangan VVIP mulai berdatangan, ada rombongan pak menteri perhubungan, rektor UIN Jogya, Pak Ajib, Buya Syafii, Kiai Mahrus Amien, Kiai Dawam Anwar, dan tentu saja ketiga pimpinan pondok, plus Ustad Radjasa, Ustad Habib Chirzin, dan sebagainya.
MC—seorang santriwati—beruluk salam. Ane ngambil tempat duduk agak tengah, di samping ane ada seorang alumni atau ustad yg ane gak kenal, di depan ane masih ada dua kursi kosong, di belakang ane ada Ustad Aries, Ustad Zahari, sebelahnya lagi ada ustad Bayu Santoso, dan samping persis ane ada ustad Romdhon alias Roy dan Ustad Bowo Sobirin.

Apa yg menarik dalam sambutan pimpinan Pondok dan Pak Menteri Perhubungan?
(Bersambung)



Part VII


Sambutan dari Pimpinan Pondok diwakili oleh Almukarrom Ustad Achmad Mustofa. Ada dua hal penting yg—menurut ane—pantas dikenang dan layak disimpan di hati para alumni. Yg pertama, pernyataannya bahwa bagi almarhum Kiai Hamam, Pondok Pabelan adalah hal penting—atau mungkin yg terpenting—dalam hidupnya.


Ane terus terang terkesima mendengar ini. Pernyataan yg mungkin dianggap biasa2 itu begitu menyengat hati ane. Mungkin karena ane mendengarnya sepenuh hati, dengan hati, tak dengan telinga. Inilah kali pertama—dan tak pernah terpikirkan sebelumnya—sebuah pernyataan tentang Kiai Hamam dan Pondok Pabelan paling menggetarkan yg pernah ane dengar langsung.

Betapa tidak, dengan memperlakukan Pondok Pabelan sebagai hal terpenting dalam hidupnya itulah, Kiai Hamam mengerahkan segala daya dan upaya sekuat-kuatnya untuk merintis, membangun, dan membesarkan Pabelan. Dan itu diniatkannya sebagai ibadah!

(Ini teladan penting bagi kita2 semua. Siapa pun yg coba merintis lembaga pendidikan-- bisa pula bisnis—harus menganggap penting hal yg tengah dibangunnya itu). Sikap setengah hati pasti akan menuai kegagalan.

Dan hasilnya sudah kita ketahui bersama. Pabelan (pernah) menjadi salah satu pesantren terpenting di kolong langit Indonesia, tempat di mana banyak sekali inspirasi teronggok. Ia bagai lampu neon yg dikerubuti laron2 dari berbagai penjuru mata angin untuk mencecap sinar-sinarnya. Sayang memang, pamor dan reputasi Pabelan meluncur ke titik nadir beberapa tahun sebelum Kiai mangkat, dan sialnya masih berlanjut hingga kini.

Pertanyaannya, apakah Pabelan kini juga menjadi hal terpenting dalam hidup generasi penerus Pondok Pabelan? Jika mereka memperlakukan Pabelan sebagai hal terpenting dalam hidup mereka, sudahkah mereka mengerahkan segala daya seperti diteladankan Kiai Hamam?

Menurut ane, pernyataan Almukarrom Ustad Achmad itu seperti hendak ditujukan kepada para pimpinan pondok—lebih dari siapa pun—termasuk tentu saja kepada dirinya. Dan dalam konteks itu pula, pernyataan Almukarrom akan jauh lebih bermakna. Jika tidak diletakkan dalam perspektif ini, maka pernyataan Almukarrom hanya sekadar romantisme masa lalu atau pengagungan terhadap Kiai Hamam yg kehilangan relevansinya bagi perbaikan pesantren di masa depan.

Yg kedua, Almukarrom, seperti hendak menjawab kritik banyak orang (alumni, khususnya) tentang berbagai perubahan yg terjadi di Pabelan, mengutip qaidah ushuliyah yg kerap dipakai kalangan nahdliyin (Almukhafadzatu ‘ala al-qodimi shalih, wal akhdu bil jadidil ashlah: Menjaga hal-hal lama yg baik, dan mengambil hal-hal baru yg lebih baik).

Seperti kita tahu bersama, memang banyak perubahan setelah wafatnya Kiai Hamam. Yg paling mencolok tentu saja adalah pembangunan aneka gedung2 baru, sembari menumbangkan atau mengubah desain ruang atau bangunan atau kolam atau masjid lama. Bagi mereka yg bertahun2 tak singgah ke Pabelan, pastilah mereka akan pangling.
Dan perubahan juga merambah di ranah kebijakan, cara penerapan kedisiplinan, perubahan berbagai mata pelajaran KMI, dan seterusnya.

Menarik untuk dicermati lebih jauh, perubahan apa saja yg terjadi dan menjadi kebijakan resmi pimpinan pondok serta implikasi bagi kualitas dan kuantitas santri (kalo waktu memungkinkan, kita2 perlu nginap di sana selama 2 minggu untuk meneliti ini, siapa mau, hayo??)

Sambutan berikutnya dari Pak Menteri Perhubungan, Jusman Syafi’i Jamal. Dalam sambutannya yg amat memikat itu, pak menteri bilang bahwa kedekatannya dengan Kiai Hamam dan Pabelan sudah terjalin sejak ia masih menjadi aktivis mahasiswa. Tak heran jika ia hafal kegemaran Kiai Hamam—menonton film, mendengar musik, atau melahap tongseng.

Pada 1991, demikianlah pak menteri berkisah—beberapa kali ia tersedak, seperti menahan tangis--ia bertemu Kiai Hamam. Tanpa disadari keduanya, ini adalah pertemuan terakhir mereka. Pikiran ane sempat melayang jauh, ke era 1990-an. Di manakah waktu itu ane berada? Apa yg ane lakukan di Pabelan?

Dari Bandung, begitulah ia bercerita, ia naik bis, turun di Batikan, dan jalan kaki ke Mbelan setelah sebelumnya ia sholat subuh. Di tengah jalan yg masih gelap itu, ia berpapasan dengan Kiai Hamam. Kiai menyuruh dia masuk ke mobil Volvo Kiai. Kiai Hamam menyopir sendiri mobilnya, dan Jusman duduk manis persis di sebelah Kiai Hamam.

“Jusman, ini Volvo kiai, bukan Volvo menteri,” begitulah kata kiai seperti memecah kekikuan, tentu sambil guyon.. Kala itu mobil Volvo 740 (maafin ye kalo salah sebut serinya) warna silver yg biasa nangkring di antara koperasi dan ruang tamu kiai memang hanya dipakai oleh para menteri. Dan menurut Kiai Hamam, hanya Kiai Pabelan yang bisa naik volvo.

Yg jauh lebih penting untuk dikenang tentu saja adalah: Kiai memperlakukan benda mewah (untuk ukuran masa2 itu) amat bersahaja, mobil itu tak pernah diselimuti kain pelindung, hingga air hujan, debu jalanan yg kerap bercampur (maaf) eok kuda, dan kadang kotoran burung bebas menyentuh barang mahal itu. Ia dianggap seperti bukan barang mewah. Memang tak ada garasi di rumahnya, di Pabelan sana.

Dan beruntung, jauh sebelum jadi menteri, Pak Menteri Perhubungan pernah merasakan enaknya naik Volvo—tunggangan yg kini juga kerap dipakai dan pernah dijadikan mobil dinas para menteri kemana-mana.


Apa yg menarik dalam perbincangan mereka berdua? Apa kegemaran kiai Hamam? Bagaimana almarhum memperlakukan Pak Jusman?

(Bersambung)




PART VIII

Dalam perjalanan singkat dari Pabelan ke Magelang (dulu almarhum secara jenaka menyebutnya “Makhhelang”,) sekitar 20 menit itu, Kiai Hamam, kata Jusman, memutar lagu: tepatnya barangkali adalah ia memperdengarkan musik untuk menyambut tamunya. Ini adalah salah satu sikap nyentrik kiai yg ane yakin tak semua kiai bisa atau terpikir untuk melakukannya- -bahkan kiai yg mendaku diri dan pesantrennya modern sekalipun. Kiai kita ini memang mooyy: progresif, nyentrik.


Memori musikal ane dari “masa yg baru tumbuh” sontak mencuat. Semula ane menduga musik kegemaran kiai dan yg disetel di mobil adalah salah satu dari ini: Beethoven, Mozart, Louis Armstrong, Nat King Cole, atau Frank Sinatra, tapi ternyata keliru. Bukan apa2, ane sendiri kini kerap mengantar tidur bidadari kecil dan dua malaikat kembar ane dengan Beethoven atau Mozart atau kalau mereka sudah tidur ane ganti Beatles. Waktu seperti berhenti berputar kala mendengar alunan2 musik ini. Daun seperti enggan jatuh kalau mendengarnya.

Namun ternyata lagu2 yg disetel kiai tak satu pun dari genre musik yg ane sebut di atas. Tapi lagu Ummi Kaltsum—sebuah nama yg memang kerap disebut kiai dalam khutbah2nya. Tentu saja pilihan terhadap lagu ini bukan tanpa dasar, bukan tanpa alasan.

Kita akan melihatnya barang sebentar di bagian bawah catatan ini.

Film yg disetel kala mereka ada di Magelang—ini kediaman kedua kiai--bukanlah God Father atau Silence of the Lamb yg membuat kita merinding dan bergetar itu. Dua film ini memang menjadi film favorit beberapa santri-santrinya, tepatnya film favorit ane :).
Lantas film apa sih yg ditonton mereka? Dan kenapa “harus” film itu?

Kiai Hamam ternyata memutar film berjudul Lion of the Dessert. Film ini sependek ingatan ane blm pernah disebut kiai di depan santri2nya. Setidaknya kala ane nyantri di Mbelan sana, pada 1986-1993 silam. Entah ingatan ane yg cupet, atau memang Kiai Hamam belum pernah menyebutnya. Ane kira yg terakhirlah yg benar :)

Ketika selera dan orientasi film santri2nya (masa-masa itu) masih berkutat pada film2 action macam Kungfu Master, Rambo, Shaolin Temple, dan film2 Jacky Chan lain, juga tentu saja Dance with Wolf, atau film2 picisan macam Basic Insting atau Ghost, selera film kiai ternyata jauh melampaui itu.

Pak Menteri rupanya masih ingat benar cerita film ini. Kini ia seperti berteka-teki atau menerka-nerka apa maksud kiai memperdengarkan Ummi Kalstum dan menyetel Lion of the Dessert. Film yg dibintangi Anthony Quinn—di film yang dirilis pada tahun 1981 itu ia memerankan Omar Mukhtar--berkisah tentang etos kepahlawanan yg mungkin dimaksudkan sebagai inspirasi bagi Pak Jusman untuk tak lelah berjuang, dan tak mudah menyerah.

Kita tahu belaka godaan terbesar para aktivis yg tengah berjuang melawan kezaliman adalah kerap ditikam kesepian yg sangat. Dalam masa-masa ini biasanya virus putus asa gampang menghinggap, untuk kemudian membunuhnya, pelan-pelan.

Pada tahun 1993-1998, ketika ane “tersesat” di jalan (an) yg benar bersama teman2 HMI MPO, perasaan “sepi” dan “jengah” memang kerap nyungsep ke sudut hati. Kala itu, selain kuliah yg kerap menyebalkan (mengulang-ulang apa yg pernah ane pelajari di Mbelan, aktivitas rutin yg ane lakukan adalah: demonstrasi. Sebuah jalan sunyi untuk mengkompensasi kebuntuan persoalan negeri.

Di tahun2 itu, demonstrasi tidak dilakukan secara massif (berjamaah) seperti terjadi pada masa2 sesudah Orde Baru hingga demonstrasi yg per definisi adalah menuntut atau menentang suatu hal lebih mirip karnaval atau jalan kaki bareng. Tak ada heroisme di sana.

Demo biasanya digelar hanya beberapa gelintir orang. Suatu ketika, di depan Kejaksaan Agung, tak jauh dari Blok M Mall, ane dan para aktivis HMI MPO berunjuk rasa. Tak lama setelah berorasi, dan membentangkan pamflet kertas karton mengecam perselingkuhan penguasa-pengusaha dalam kasus Eddy Tanzil, dua mobil polisi datang menghalau para demonstran. Mereka berloncatan mengejar dan memukuli kami2, membabi-buta. Mereka terlalu kuat untuk dilawan memang. Maka jurus paling ampuh untuk menaklukkan mereka adalah: ambil langkah seribu. Dan ane, bersama dua teman lain, berlarian menuju Blok M Mall. Entah yg lain kabur kemana. Yg pasti semua aman. Beberapa hari kemudian kami bertemu lagi, di jalanan, di kantor pemerintah yg lain. Demo.

Kala itu, perbedaan pendapat kerap diselesaikan dengan kuasa, bedil, atau penjara.
Jika pada masa2 ane kuliah saja Soeharto masih begitu kuat, apalagi kala Pak Menteri kuliah: taring Soeharto pasti masih sangat kuat, dan Jusman, seorang aktivis mahasiswa di ITB yg pernah dipenjarakan pemerintahan Orde Baru, seperti tengah berada di titik itu. Kiai Hamam sepertinya mafhum, pikiran Jusman perlu dicerahkan, hatinya perlu disentuh. Dan almarhum menjalankan fungsi sosial dan spiritualnya itu dengan sangat baik.

Dendang lagu padang pasir dan suara merdu yg dilantunkan Ummu Kalstum umumnya berkisah soal cinta tanah air (nasionalisme) , religiusitas, dan tentu saja, cinta.
Apa hubungan antara Jusman, Ummu Kalstum, dan Kiai Hamam?

(Bersambung)



PART IX
Ane mafhum sekarang mengapa Kiai Hamam amat menyukai lengkingan suara Diva padang pasir paling legendaris ini. Ane juga ngeh kini mengapa Kiai Hamam tak memutarkan lagu Queen/Fredy Mercury yg menyebut2 “bismillah” dalam satu lagunya.
Jamak diketahui, Ummu Kulstum (Pak Menteri menyebutnya Ummu Kaltsum), adalah “pemersatu” bangsa Arab yg memang gemar berseteru itu. Ada ungkapan terkenal yg bagi telinga sebagian orang tampak ganjil, tapi juga lucu: “Orang Arab akan berselisih pendapat dalam segala hal, tetapi tak untuk satu perkara: Ummi Kultsum”. Wahhh….
Orang2 Arab biasa ribut soal perbatasan, (harga) minyak, embargo, Sunni-Syi’ah, revolusi Iran, Israel, Amerika, dan perkara dunia yg hina-dina lainnya. Tapi kala telinga mereka disodorkan lagu2 Ummi Kulstum, hati mereka luluh. Mereka seperti terbius oleh lengkingan suara dahsyat Ummi Kulstum. Merinding mereka mendengarnya. Sikap keras kepala yg umumnya dimiliki orang2 Arab langsung lumer-mer. Dahsyat memang.
Tak heran jika kini meski ia telah mangkat, lagu2nya—yg berjumlah 280 itu--masih kerap disetel di radio-radio di Timur Tengah dan kaset2nya masih laris diburu orang. Maklumlah, Mesir tampaknya hanya akan melahirkan satu Ummi Kultsum: Seorang bintang yang dalam dirinya tersimpan dua sifat Tuhan, “al-kamal wal jamal”--kesempurnaan dan kecantikan sekaligus. Dua hal yg cukup membuat para penyanyi lain iri. Makin benci mereka! Meski kini telah ada bintang2 baru, tapi Ummi Kulstum tetap yg terbaik.
Ane akan menafsirkannya secara bebas dan meletakkannya dalam satu konteks khusus: Kiai Hamam tengah memompa semangat juang Jusman yg kala itu hampir2 kempes. Seperti seorang bapak yang dengan sabar mengusap rambut anaknya yg kalah maen bola atau gak naik kelas. Begitulah Kiai Hamam mengelus-elus jiwa Jusman dengan lagu2, film, dan nasihat2 inspiratifnya. Baik karakter lagu2 Ummi Kulsum atau film yg mereka tonton memang paling pas untuk men-charge isi baterei jiwa dan pikiran Jusman agar sinyalnya tak kedodoran.
Syahdan, demikian sejarah berkisah, ketika Mesir kalah perang dan bertekuk lutut atas Israel pada 1967, Ummi Kultsum didaulat nyanyi untuk mendongkrak spirit juang para tentara Mesir yg rontok (istilah militernya: mengalami demoralisasi) . Semangat juang para pejuang Mesir mampu dihidupkan kembali oleh lagu2 Ummi Kulstum hingga membuat pejuang Mesir mampu mengusir tentara Israel dari Sinai pada pertempuran 6 Oktober 1973. Saat sepi mendera, kala putus asa hendak singgah, Ummu Kulstum mampu mengusirnya. Luar biasa.

Ummu Kulstum memang dahsyat. Lagu2-nya seakan abadi. Ia bagai mantra yg sanggup membuat hidup barang yg mati. Ia bagai air yg mampu mendinginkan kepala dan hati orang2 Arab yg terkenal keras bagai batu itu.
Dan hati dan kepala Pak Jusman, yg asli Indonesia itu, yg tentu saja tak sekeras orang2 Arab, ane kira juga seperti itu: lebih mudah didinginkan, lebih mudah ditundukkan. Dahsyat memang.

Ane pikir pimpinan pondok sekarang perlu membuat satu jadwal khusus menonton konser Ummu Kulstum untuk menyiram kepala, jiwa, dan hati para santri, juga hati, jiwa, dan kepala mereka sendiri. Siapa tahu ada gunanya, siapa tahu ada manfaatnya. Diskusi dan wacana, rapat dan tatap muka sudah sering digelar. Sesekali perlu juga mendengar, tepatnya menikmati, tarikan suara Ummu Kulstum.


(Bersambung)



Part X

Satu keheranan lain sempat terlontar dari mulut Pak Jusman. Kiai Hamam, demikianlah ia coba menerawang ke masa silam, mengingat-ingat serpihan kenangan bersama Kiai Hamam, menyodorkan padanya sebuah buku.

Tapi ia seperti kurang berkenan atau melihat keganjilan kala buku yg disorongkan kepadanya tidak seperti yg ia harap. Alih-alih buku tebal dan “berat”, yg “selevel” dengan posisinya sebagai mahasiswa ITB. Ia tak seperti teman2nya yg lain, yg dipinjamin atau diberi buku yg lebih tebal, Pak Jusman justru diberi buku Etiket yg tipis itu.


“Mungkin karena saya dianggap santri/orang yg tak paham sopan santun,” kata Pak Jusman sambil menahan senyum. Para hadirin tergelak, tawa membahana.

Mungkin buku Etiket yg dimaksud adalah buku bersampul pink (?) yg kerap dijadikan buku rujukan utama kala Kiai Hamam menasihati santri-santrinya dulu. Isinya memang seputar ini: solah bowo, tingkah laku, dan muna-muni. Semua tentang sikap hidup, attitude, dan pembentukan karakter, yg memang tampak ringan, tapi sungguh dahsyat dampaknya, dan minta ampun sulitnya kala kita hendak mempraktikkannya di alam nyata.

Bukan kepintaran yg akan terus dikenang orang memang. Bukan pula gelar berderet yg disandang di depan atau di belakang nama seseorang. Yg akan terus dikenang, dan akan lestari abadi adalah watak, karakter, sikap hidup pada diri dan orang lain.

Kala Bung Karno—ini salah satu idola Kiai Hamam, setidaknya namanya sering disebut dalam khutbah2nya. Lihat saja bagaimana Kiai menggumamkan kalimat2 si Bung Besar ini,”Ini dadaku, mana dadamu” dan kita tertawa dulu—berhasil menggondol gelar insinyur dari ITB, sang Rektor, Klopper, mewanti-wanti: “Ir. Sukarno, ijazah ini dapat robek dan hancur menjadi abu pada satu saat. Ia tidak kekal. Ingatlah, satu-satunya kekuatan yang bisa hidup terus dan kekal adalah karakter seseorang. Ia akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati.”

Benar memang, karakter itu merupakan kekuatan yg akan terus hidup, meski ia telah pergi selamanya. Sedangkan selembar ijazah yg kerap diagung-agungkan orang suatu saat bisa terbakar, robek atau hilang ditelan tsunami atau dimakan banjir atau dilalap api.

Mafhum kita sekarang mengapa Kiai Hamam memberinya buku Etiket, bukan buku tebal bak bantal bayi itu. Di buku tipis itu terangkum kebajikan dan kebijakan dari Timur dan Barat sekaligus.

Ada hal eksplisit yg secara terang menggambarkan concern kiai pada anak2 muda macam Pak Jusman: Buku. Dengan meminjamkan atau memberikan buku maka Kiai Hamam seperti membentangkan cakrawala kehidupan kepadanya.

Banyak tokoh besar dalam sejarah republik yg besar pertama-tama bukan karena bangku sekolah. Lihat Adam Malik, wapres kita (periode 1978-1983) dulu itu. Ia hanya lulusan sekolah dasar. Tapi kariernya di dunia politik bisa mendaki sampai puncak dan wawasannya tak kalah dengan orang2 sekolahan. Lihat pula I.J. Kasimo, Haji Agus Salim, Supomo, Ki Hadjar Dewantara, M. Yamin, A.A. Maramis, Gafar Pringgodigdo, Arnold Mononutu, Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusuma Sumantri. Atau Bung Hatta, Sjahrir, dan generasi belakangan seperti Soedjatmiko atau Gus Dur. Buku dan karakter yg kuatlah yg melambungkan nama2 mereka, juga tentu saja dedikasinya pada bangsa.


Apa yg dilakukan Kiai Hamam pada Jusman ane kira mirip dengan apa yg dilakukan tokoh nasional HOS Tjokroaminoto--pendiri Syarikat Islam--pada Bung Karno. Saat Bung Karno indekos (kiai dulu melafalkannya “indekhhooss”, dan kita tertawa mendengarnya) di rumah Tjokro di Surabaya, saat si Bung belajar di Hogere Burger School, Tjokro kerap memberinya buku2 pengetahuan untuk memperluas cakrawala pemikirannya. Tjokro yg konon juga alumni pesantren itu, sepertinya tahu, Sukarno kelak akan menjadi “orang”. Kepalanya harus diisi.

"Di dalam dunia pemikiranku, demikian Sukarno pernah berkata, “aku pun berbicara dengan Gladstone dari Britannia ditambah dengan Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan Gerakan Buruh Inggris; aku berhadapan dengan Mazzini, Cavour, dan Garibaldi dari Italia. Aku berhadapan dengan Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin dari Rusia. Aku juga bisa mengobrol dengan Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand, dan Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sejarah Perancis."

Namun, buku saja tidak cukup. Kala berdialog dengan banyak pemikir besar dalam sejarah kemanusiaan, hati dan jiwa Bung Karno tersengat oleh ucapan pemikir dari India, Swami Vivekananda. "Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan. Gunakan pengetahuanmu untuk diamalkan." Ia terpekur, dan segera ingin menumpahkan segala isi kepalanya ke ranah praktis, di kancah perjuangan.

“Jusman,” kata Kiai Hamam dengan suara yg khas,”saya ini menderita diabetes. Dokter menyarankan saya untuk tidak makan daging. Tapi karena sekarang ada kamu, maka mari kita makan kegemaran kita.”

Begitulah Kiai Hamam memperlakukan tamunya, sangat spesial, sangat khusus. Mereka menyantap tongseng berdua, di Magelang sana.

Tongseng di daerah ini memang terkenal maknyuss. Paduan bumbunya seperti ilmu eksakta. Dagingnya pas dikunyah. Lidah kita bergoyang dibuatnya. Ngangeni.

Tak seorang pun dari keduanya tahu bahwa ini adalah perjamuan terakhir (the last supper) Pak Jusman dengan Kiai Pabelan. Dan sesungguhnya ikatan psikologis antara Pak Jusman dan (Kiai) Pabelan tak akan terhapus meski sang kiai telah wafat.

Dan belasan tahun kemudian, takdir menghantarkan Pak Jusman duduk di kursi Menteri Perhubungan, setelah sebelumnya ia seperti putus asa karena kuliahnya gak kelar2, dan menyampaikan keinginannya untuk keluar dari ITB kepada Kiai Hamam.

“Kamu harus menyelesaikan kuliahmu,” demikian nasihat Kiai ketika mendengar rencana Pak Jusman drop out dari ITB.


“Jika kamu berhenti, berarti menyerah, kalah,” tambah Kiai Hamam seolah tidak ingin memberinya kesempatan untuk menjawab.

“Bukankah kiai menganggap ijazah sebagai sesuatu yg tidak penting,” sergah Pak Jusman, tak mau kalah.

“Benar, tapi kalau kamu berani memulai, kamu juga harus berani mengakhiri,” jawab Kiai Hamam, tangkas. Kiai Hamam memang piawai menundukkan argumen lawan bicara, siapa saja. Meski ia orangtua dan maha guru, tapi nasihatnya jauh dari kesan menggurui atau sok tua.

Kita dulu juga kerap mendengar nasihat macam ini dalam khutbah2nya: “Anak-anakku,” demikianlah sapaan-khas kiai pada santrinya, “manusia itu dibagi empat: orang yg ga berani memulai, orang yg berani memulai tapi tak berani mengakhiri, orang yg berani memulai, berani mengakhiri tapi hasilnya tak bagus, dan terakhir orang yg berani memulai dan berani mengakhiri dengan hasil bagus.

Pada akhirnya setelah Pak Jusman meminum dari cangkir pahit kehidupan, ia memasrahkan semuanya pada kehendak Tuhan.

Sulit membayangkan jika basuhan jiwa dan sentuhan ruhani ini tak disampaikan Kiai Hamam dan tidak dipatuhi Jusman muda. Sekadar analisis post factum: seandainya Pak Jusman tidak menyelesaikan kuliah pada 1983, barangkali kariernya di dunia penerbangan tak akan semoncer sekarang. SBY mungkin tak akan memilihnya menjadi orang nomor satu di Departemen Perhubungan. Namanya mungkin akan tenggelam dilibas gelombang zaman.

Itulah kenapa Pak Jusman tak akan pernah melupakan Kiai Pabelan dan Pesantren yg didirikannya. Itulah kenapa Pabelan seperti terus memanggilnya.

Pak Jusman, yg hanya beberapa tahun nyantri kalong dan bersahabat dengan Kiai Hamam, bisa menjadi menteri. Adakah alumni2 Pabelan lain yg menamatkan belajarnya dan menjadi santri bertahun-tahun yg kelak bernasib sama? Wallahu a’lam.

Hubungan psikologis-historis kedua sosok ini memang begitu kuat. Roda zaman tak mampu melumerkan atau memutusnya. Ketika Ustad Nadjib dan Ustad Fajar bertandang ke kantor Pak Menteri di Jakarta guna meminta kesediaannya untuk hadir dalam acara launching buku, ia tak menampiknya. Ia seperti hendak mencicil “utang2”-nya pada Kiai Hamam dan Pabelan. Pelan-pelan. Satu demi satu.

Di mata Pak Jusman, Kiai Pabelan adalah orangtuanya, maha gurunya, kiainya, dan last but not least, teman diskusi yg tidak menyebalkan. Jika Kiai Hamam masih ada, dan tahu Jusman menjabat menteri, barangkali nasihat yg akan diberikan kepadanya adalah: ”Pak Menteri, jangan sampai dipanggil KPK, ya!


Tuhan memang tak pernah salah mempertemukan hamba-hamba-Nya. Kapan saja. Siapa saja. Di mana saja.


(Bersambung)

Label:

Jumat, November 21, 2008

AKSI DRUM BAND


Diantara rangkaian acara peluncuran buku Kyai
yang digelar 8 November kemaren,
salah satunya adalah DEVILE Persembahan Marching Band.
Meski Drum Band ini tergolong sederhana
(jika dibandingkan dengan grup lainnya di luar Pondok),
namun semangat dan kreatifitasnya patut diacungkan jempol.
Dalam penampilannya yang disaksikan Bapak Menteri kemaren,
semua yang hadir dibuat terpaku..
Biasanya, sebuah Drum Band hanya menampilkan alunan musik doang.
Kali ini beda, kelompok Drumb Band
yang anggotanya terdiri santri putri cantik ini,
kemaren, selain unjuk kebolehan memainkan musik
dengan lagu "Bunda", juga menampilkan penyanyinya sekalian
lengkap dalam satu paket persembahan...
Latifah dan Ayu membuat atraksi kecil,
persembahan tuk Bapak Menteri..
sesaat sebelum memberikan buku
agar Beliau berkenan menerima buku
sebagai kenang-kenangan dari Pondok,
juga sebagai permohonan ..
agar beliau berkenan membubuhkan tanda tangan
di bagian depan buku yang telah disiapkan..
Alunan Penyanyi Marching Band:

Ku buka album biru
penuh debu dan kusam
Ku pandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda

Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku.....

Tangan halus dan suci
Telah mendekap tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
rela diberikan...

Kata mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu ditimang....

Oh Bunda
ada dan tiada
dirimu kan selalu ada
di dalam hatiku.....

Lagu ini ditujukan bagi Pondok kita tercinta
karena Pondok adalah IBU kita... /f

Label:

Pentas Teater Sahid Aris Budiono





(Assalamualaikum Mas Aris dan semua pecinta blog angera...
Walau gerimis terus menerus mengguyur Kota Pekanbaru Jumat malam 14 November 2008 lalu, saya tetap berusaha menghadiri dan menonton pertunjukan teater Lab Sahid Jakarta yang mentas di Pekanbaru. Terus terang saja, kedatangan saya karena undangan SMS yang saya terima, teater tersebut pimpinan Mas Aris Budiono. Ditambah lagi Mas Aris langsung telpon saya apakah saya sudah mendapat undangan pementasan tersebut. Wah...tambah nggak enak deh kalau
ngga nonton. Wong sesekali datang ke Pekanbaru, kok, nggak ditonton gitu lho, apalagi pimpinannya dari alumni Pabelan. Ya, ikatan emosional itu selalu ada, makanya saya bela-belain nonton.
Saya nggak mau sendiri. Lalu saya undang teman-teman alumni Pabelan yang ada di Pekanbaru, Sawal dan meminta Sawal mengundang yang lainnya. Pada prinsipnya semua oke, tapi karena hujan yang tak berhenti dan cenderung semakin deras, banyak teman-teman yang batal. Hanya Sawal dan saya yang bisa hadir. Sengaja Miftah dan Meimun, Uus, nggak saya beritahu. Saya pikir pasti mereka nggak bakalan bisa. Selain hujan, tempat mereka agak jauh dari Taman Budaya.
Sesuai dengan permintaan Mas Aris, penampilan tersebut minta dikritisi atau semacamnya. Inilah dia tulisan tersebut yang dibuat teman saya wartawan Riau Pos . Semoga Mas Aris dan semuanya bisa menikmatinya).

Tubuh Itu Terlempar ke Ruang Hampa
* Pementasan Lab Teater Syahid Jakarta

Tubuh-tubuh bergerak kesana kemari, cepat, mekanis seperti gerak mesin. Bergetar seiring dengan lajunya muntahan larik-larik puisi
dalam dentuman musik disco yang memekakkan gendang telinga.

FRUSTASI, trauma, 'sinting' dalam kungkungan kehidupan yang glamor. Paling tidak, itulah kesan yang lahir ketika Lab Teater Syahid Jakarta mementaskan karyanya bertajuk Kubangan, Jumat (14/11) lalu, di Taman Budaya Riau.
Tubuh-tubuh yang bergetar tak henti itu dalam kondisi sakit yang akut bak pengidap penyakit parkinson. Trauma masa lalu,
carut-marut zaman kini dan ketidakjelasan tentang masa depan, menelurkan sistem beku yang membuat penjara dalam dirinya. Tubuh itu menjadi panik dalam merespon deras perubahan yang terus berlangsung. Tak ada pilihan, kecuali melakukan penyesuaian atas percepatan zaman yang terjadi.
Ingatan pahit masa lalu bermunculan seperti laron yang mengerubungi lampu neon dalam gulita. Namun tubuh itu, justru terlempar ke ruang personal dan menyeretnya pula ke ruang publik yang meriah lagi hampa. Ada kebencian yang menetaskan dendam untuk menapaki kerusuhan dan kekerasan. Sedang kedamaian yang diharap-harapkan justru semakin menjauh, nyaris tak terlihat.
Gambaran ini, dimaknai dengan bahasa simbol-simbol. Setiap tubuh, setiap kepala, setiap sikap yang bergetar di atas panggung yang ditata dengan semi panggung, larut dalam kepanikannya masing-masing. Saling curiga, tidak percaya yang dilontarkan dalam waktu bersamaan, cukup membuat penikmat sibuk mencari dan berusaha menemukan keinginan sang sutradara.
Kisah masa lalu yang tarik ke atas panggung oleh Bambang Prihadi selaku sutradara, berawal dari sebuah keresahan. Cerita dirangkai dengan membaca kejadian sekitar reformasi. Sangat banyak persoalan yang tidak terselesaikan. Jangankan membersihkan karat yang menjamur di pilar reformasi, untuk mengikis karat barupun tak mampu. Kompleksitas persoalan yang mendesak-desak akhirnya menciptakan jiwa-jiwa yang stagnan (jalan di tempat).
Stagnasi itu menjadi karya para spekulan, manipulator dan koruptor untuk merekayasa pasar kapitalis yang menawarkan kenikmatan inderawi. Alhasil, tubuh massa menjadi produk yang diperjualbelikan. Menjadi barang dagangan yang mengikuti trend kekinian yang laku di pasar bebas. Padahal kondisi mental itu masih gagap dengan cara berfikir yang lugu.
Pementasan berdurasi 45 menit itu cukup memikat hati dan rasa penasaran. Kenapa tidak, sejak awal tubuh-tubuh yang dimainkan delapan aktor/aktris tersebut tak kunjung diam. Getaran tubuh dan dialog yang menyatu memberikan nuansa baru bagi dunia pertunjukan teater di Riau. Meski upaya semacam itu, juga sudah dilakukan satu/dua komunitas, disini.
''Karya ini berawal dari sebuah puisi yang penah saya tulis sebelumnya. Lalu saya tawarkan kepada kawan-kawan lahirlah perdebatan yang dilanjutkan dengan proses latihan. Semua tubuh bergerak cepat, mekanis dan kondisi itu pula, sangat menyakitkan,'' tutur Bambang usai pementasan.
Selain melemparkan wacana berikut menawarkan harapan, pertunjukan itu mendapat apresiasi dari penikmat teater Kota Bertuah Pekanbaru yang meramaikan Gedung Olah Seni (GOS) Taman Budaya Riau, hingga larut malam. Bambang sendiri, menutup cerita dengan gambaran kepolosan dan ketelanjangan. Sebab mereka menyadari untuk menemukan formula ampuh menyelesaikan persoalan adalah dengan menelanjangi diri terlebih dahulu.
Tidak ada penokohan yang menonjol seperti karya panggung yang
menggunakan naskah-naskah seperti karya William Shakespeare, Anton Chekov ataupun Molier. Bukan aktor-aktor ciptaan Nano Riantiarno yang menguatkan cerita lewat tokoh sentral dan tokoh
pembantu. Bambang hanya menginginkan semua orang bicara tentang dirinya dan lingkungannya tanpa menonjolkan keakuannya. Ditambah lagi, dalog-dialog juga diciptakan dengan gaya anak muda yang lugas dan tegas.
Tidak hanya itu, pertukaran dekor atau setting tidak dilakukan dengan cara black out. Baik pelakon maupun kru, menukar dekor di depan penonton yang tampak tidak terganggu sama sekali. Bahkan pertukaran itu menjadi adegan pengikat antara satu dengan lainnya.
Musik dan ligthing juga menjadi lebih dominan sebab Bambang juga mengajak orang untuk menikmati suasana yang dilahirkannya. Hanya saja, kerap lampu dan musik hilang begitu saja tanpa dihantar sama sekali. Tapi tak satupun, penonton yang hadir meninggalkan tempat duduknya hingga sesi diskusi yang berlangsung selama satu jam berakhir.***

---------------------------------------------------------------------------------------
Nuri,
terus terang aku kaget banget kau posting pementasan
lab teater syahid di riau ke blog angera. tadinya aku pikir
gak ada hubungan, tapi ternyata teman2 ikpp di riau juga
coba dimobilisasi untuk nonoton, meski hujan jadi kendala.
aku jadi agak gak enak ati, kuatir dikira numpang 'ngaksi'.
ngomong2 ttg teater syahid, sebetulnya adalah grup teater
di lingkungan kampus uin ciputat, yang sejarahnya tak bisa
dilepaskan dari peran beberapa alumni pabelan: ada
muhamad hatta dan dewi arfiani yang pernah aktif di akhir
tahun 80an, di samping aku sendiri. bahkan solihul hadi
dulu juga pernah terlibat dalam pementasan.
keterlibatan teman2 alumni dalam kegiatan teater khususnya
dan kesenian pada umumnya, di kampus ciputat, sebenarnya
bisa dirunut ke belakang: mereka sudah aktif berkesenian sejak
di pondok, yang diwadahi oleh teater kereta (untuk santri putra)
dan sanggar buana citra (untuk santri putri).
saat ini, ada beberapa teman2 dari angkatan 2000an yang
menekuni bidang teater, seperti gatot prabowo yang jebolan
ikj jurusan teater (aku dulu juga jebolan ikj alias institut keagamaan
jakarta). beberapa waktu yang lalu, gatot dan beberapa teman
alumni bahkan sempat mengadakan pelatihan teater untuk para
santri di pabelan.
nuri,
terima kasih banyak untuk support dan apresiasinya
pada pementasan teater syahid di riau. keberhasilan pementasan
ini juga tak lepas dari dukungan penuh dari rekan muhibuddin (onga)
dan keluarga besarnya, sehingga teman-teman tidak kelaparan.
aku bersyukur karena telah terjalin sinergi yang sangat baik antar
alumni (keluarga besar ikpp). semoga ini menjadi awal yang baik
untuk sebuah kerjasama lain di masa2 mendatang.
jabat erat untuk teman2 di riau,
aries budiono

Kak Aries, maaf surat ini baru saya buka di email angera, dan sengaja saya posting, biar bisa jadi info bagi teman-teman yang lain. Tks (Lily)

Label: